Semoga setelah membaca artikel ini orang-orang yang menganggap kuliah di jurusan bahasa sama aja kayak les bahasa bisa segera bertobat.
Topik jurusan kuliah rasanya selalu nggak ada matinya, terutama ketika sedang kumpul keluarga. Beberapa waktu lalu juga sempat ramai postingan di Twitter yang menyebutkan urutan 10 jurusan perkuliahan yang akan dibutuhkan di masa depan. Nggak heran, dari 10 jurusan yang disebutkan, nggak ada satu pun yang berhubungan dengan ilmu kebahasaan.
Selain menerima stigma “di masa depan urusan bahasa tinggal pakai mesin penerjemah”, mahasiswa jurusan bahasa juga sering kali diremehkan karena katanya kalau ingin belajar bahasa cukup ikut les bahasa. Jadi, nggak perlu sampai menghabiskan duit dan masa muda di bangku perkuliahan.
Ehem, sebagai seorang sarjana sastra, izinkan saya mematahkan stigma sesat ini, saudara-saudara.
Daftar Isi
Jurusan bahasa dan les bahas sama-sama belajar esensi berbahasa
Bingung nggak tuh? Oke, jadi sebagian besar kesalahpahaman yang dimiliki oleh orang-orang adalah poin nomor satu ini.
Pertama, saya akan menjelaskan dulu apa yang disebut “esensi berbahasa” ini. Esensi ini adalah empat pilar utama seseorang dalam menggunakan sebuah bahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Nah, banyak orang-orang yang beranggapan bahwa untuk menggunakan suatu bahasa secara fasih, cukup dengan menguasai empat keahlian ini saja.
Hmmm… nggak salah sih, toh memang jurusan bahasa dan les bahasa memelajari empat hal ini. Namun tentu saja mahasiswa jurusan bahasa akan dibekali dengan ilmu yang lebih mendalam dan spesifik.
Bahasa tidak sekadar dipakai, tapi dipelajari hingga unsur yang paling kecil
Inilah keunggulan jurusan bahasa dibandingkan les bahasa. Mahasiswa di jurusan bahasa mempelajari unsur kebahasaan sampai ke bagian terkecilnya.
Nggak hanya pembelajaran bahasa sehari-hari, kami juga belajar mengenai tata bahasa, fonologi, filologi, morfologi, sintaksis, dan bidang-bidang lain yang pasti jarang didengar oleh orang awam. Kami dibekali teori dan pengetahuan yang lebih mendalam yang akan berguna untuk pemakaian yang berfokus dan spesifik pada kebahasaan/literasi/sastra.
Pengetahuan budaya dan sejarah menjadi bekal wajib mahasiswa jurusan bahasa
Bagi mahasiswa jurusan bahasa, budaya dan sejarah sudah menjadi paket lengkap yang nggak bisa dipisahkan ketika memelajari sebuah bahasa. Bahasa erat kaitannya dengan masyarakat, jadi konteks mengenai budaya dan sejarah sangat penting.
Biasanya di kampus, mahasiswa jurusan bahasa akan memelajari segala seluk-beluk negara yang menjadi sumber bahasa penutur aslinya. Contohnya, kalau seseorang menempuh pendidikan Sastra Jepang, tentu dia juga akan belajar mengenai esensi berbagai perayaan tradisional warga Jepang beserta sejarah negaranya (zaman Edo, perang dunia, dll). Iya, yang dipelajari lebih dari sekedar anime dan musik-musik kawaii (walaupun ini termasuk salah satu dari budaya yang dipelajari, hehehe).
Semasa kuliah, pelajaran favorit saya adalah sejarah China modern. Saya suka sekali mempelajari dinamika negara China dengan negara-negara adidaya lain seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat. Selain sejarah modern, saya juga menggemari mata kuliah sastra China klasik. Di mata kuliah ini, mahasiswa mempelajari berbagai macam puisi dan buku-buku kuno karya sastrawan sebelum masa Dinasti Qing. Nah, hal-hal seperti ini jelas nggak akan didapatkan di tempat kursus mana pun.
Ada pembelajaran yang lebih spesifik dalam bidang-bidang tertentu
Ini juga menjadi kelebihan utama berkuliah jurusan bahasa yang sayangnya nggak terlalu diketahui orang-orang. Kami juga dibekali pembelajaran bahasa yang spesifik sesuai dengan berbagai bidang yang ada di lapangan kerja nyata.
Misalnya, ada mata kuliah khusus untuk belajar mengenai menerjemahkan dokumen atau menjadi intrepreter. Ada mata kuliah bisnis yang mengajarkan berbagai istilah-istilah dan tata bahasa yang harus dipakai dalam setting bisnis. Ada juga bahasa media massa, yang terkadang mengharuskan mahasiswa untuk melakukan role-play menjadi presenter, pembawa acara, atau penyiar radio. Dan ada juga mata kuliah yang khusus mempelajari bahasa di bidang pariwisata atau bahasa di bidang pendidikan.
Gimana? Empat poin di atas sudah cukup tho untuk menjelaskan kalau ada perbedaan signifikan mengenai belajar bahasa di tempat les dan di bangku kuliah?
Iya betul, memang output-nya sama-sama bisa berbicara dan menggunakan bahasa asing tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tapi tentu bobot dan pengetahuan yang dimiliki oleh lulusan kuliah jauh berbeda daripada yang hanya ikut les. Harapan saya, semoga setelah ini suara-suara sesat yang suka bilang “Buat apa buang-buang waktu kuliah empat tahun kalau les aja bisa?” itu semakin lama semakin hilang ditelan bumi.
Penulis: Eunike Dewanggasani W. S.
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jurusan Bahasa dan Sastra yang Selalu “Ditodong”, Lalu Dipinggirkan.