Seorang teman dekat saya pernah bercerita tentang kakak perempuannya sambil meneteskan air mata kesedihan. Jadi, kakak perempuannya ini sudah berkepala tiga dan hampir mendekati kepala empat. Namun, si kakak ini tak kunjung menikah dan selalu menolak tiap kali akan dikenalkan pada seorang lelaki. Hal ini ternyata membuat kedua orang tua teman saya ini tertekan karena ulah si kakak yang dianggap susah dibilangin, sehingga keluarganya kerap mendapat cibiran dari tetangga dan kerabat.
Kala itu saya hanya mendengarkan, sambil mencari benang merah cerita itu. Ternyata oh ternyata, si kakak perempuan teman saya ini dulunya pernah dekat dengan seseorang dan sudah sampai tahap pertunangan. Namun, sayangnya si tunangan ini justru menghilang tanpa kabar dan berita. Semenjak saat itu, si kakak kemudian menutup hatinya pada setiap lelaki.
Hal inilah yang membuat satu keluarganya itu sedih. Mereka menganggap bahwa si kakak ini sudah membuat malu keluarga karena tak jadi menikah dan juga label perawan tua cukup meresahkan pihak keluarga. Sudah berulang kali, si kakak ini berusaha kabur dari rumah. Lantaran inilah, teman saya sampai nangis karena merasa kakaknya itu banyak ulah dan dianggap sulit untuk diarahkan.
“Apa susahnya sih tinggal kenalan sama cowok lain, orang yang dikenalin ini juga cowok baik-baik dan mapan!” keluh teman saya.
Kalau saya jadi kakak teman saya ini, mungkin saya juga bakal melakukan hal yang sama. Kabur dari rumah dan pergi jauh dari keluarga untuk beberapa waktu. Sungguh membayangkan kehidupan si kakak yang dikelilingi oleh keluarga yang menekannya di saat dia sendiri tengah terluka parah jiwanya seperti itu, tentu bukan perkara yang mudah. Pihak keluarga menganggap bahwa mereka adalah korban dan si kakak ini merupakan pelaku yang sudah membuat keluarganya itu menanggung malu karena jadi bahan gunjingan orang. Padahal tanpa mereka sadari, korban sesungguhnya dari cerita itu yah si kakak ini.
Dia sudah ditinggal kabur tanpa kabar oleh tunangannya. Seseorang yang tentu sangat dia sayangi dan percayai. Ini bukan perkara sepele loh, ya. Ghosting kayak gini tuh punya efek samping yang cukup besar bagi kesehatan mental seseorang. Menurut saya, wajar jika si kakak ini berlaku seperti itu. Kadang tanpa orang sadari, korban ghosting seperti ini akan memiliki rasa insecure yang begitu besar. Mereka selalu menganggap bahwa dirinya mungkin nggak pantas untuk mencintai atau dicintai seseorang, sehingga seseorang yang pernah mencintai dan dicintai saja bisa sampai tega pergi meninggalkannya. Mereka kemudian merasa bahwa dirinya tidak berharga.
Dia juga tentu memiliki krisis kepercayaan pada orang setelah ditinggalkan begitu saja. Tidak mudah bagi orang yang sudah diabaikan atau ditinggalkan oleh orang yang pernah dia percayai begitu, lantas bisa kembali percaya pada orang lain. Tentu mereka memiliki ketakutan yang besar untuk memulai hubungan yang baru.
Teman dekat saya pernah pacaran selama sebelas tahun. Namun tahun lalu, si cowoknya ini tiba-tiba menikah begitu saja setelah menghilang beberapa bulan tanpa kabar. Padahal status keduanya belum putus sama sekali. Saya tentu tak tahu seremuk apa perasaan teman saya ini, tapi sebagai seseorang yang mengamati perjalanan cinta mereka dari awal dulu, saya saja sampai ikutan nangis dan kecewa berat dengan pacarnya itu. Diam-diam saya juga ikutan mengumpat.
Banyak orang yang menyarankan pada teman saya ini, “Ya elah nggak perlu galau gitu. Cowok nggak cuma satu di dunia ini. Kamu cantik, kok, nanti juga bisa dapat yang lebih baik dari dia.”
Oho, tidak semudah itu, Maemunah. Korban ghosting seperti ini kebanyakan memiliki trauma yang tidak semudah itu ditaklukkan dengan mencari pengganti yang baru. Jika luka itu belum benar-benar disembuhkan, menurut saya memulai hubungan baru pun tentu tidak akan membuat hidupnya baik-baik saja. Itu hanya sebuah penundaan luka yang nantinya mau tak mau luka itu tetap akan keluar di kemudian hari tanpa mereka sadari.
Jadi, menurut saya sih, sebelum memulai hubungan baru, luka di masa lalu itu memang seharusnya sudah kita selesaikan dan sembuhkan dulu. Jangan pernah membebani luka kita pada pasangan baru kita kelak.
Kita bayangkan sajalah, misal kita kenalan dengan orang baru. Dia sudah sering chat-chatan begitu akrab dan perhatian sekali pada kita. Lalu suatu hari ketemuan untuk kali pertama, tapi setelah pertemuan itu dia menghilang tanpa kabar dan tidak pernah mengirim chat se-intens dulu. Bagaimana rasanya coba? Tentu kita bakalan overthinking, kan? Kita jadi bertanya-tanya apa yang salah pada diri kita. Apa kurang cantik? Apa bukan tipenya? Apa nggak sopan? Nah, ini saja baru orang asing yang masuk sejenak di hidup kita, lantas bagaimana dengan yang sudah menjalani hubungan lama dan sudah sampai tahap pertunangan seperti itu. Tentu rasa insecure-nya sudah parah separah parahnya.
Akan tetapi, bukan berarti luka pada korban ghosting ini tidak bisa disembuhkan. Kata orang, waktu akan menyembuhkan segala luka. Namun menurut saya, kalau kita tidak mau mengobati luka itu maka selamanya luka itu tetap akan ada di dalam diri kita sih. Penting sekali peran keluarga, sahabat, atau orang terdekat yang memberi support pada korban ghosting tersebut. Jangan sampai, justru orang terdekatlah yang malah menambahi beban pikiran dan tekanan psikis korban.
Pelaku ghosting itu menurut saya sungguh tidak memanusiakan manusia sekali. Pecundang! Kalau misal nggak suka atau sudah nggak cinta, ada baiknya bicara terus terang. Selesaikan dulu urusannya sebelum kabur. Jangan malah buat anak orang mabuk overthinking setiap hari. Hadeeeh~
BACA JUGA Fenomena HRD Ghosting dan Cara Menghindarinya dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.