Beberapa hari yang lalu, video tutorial bela diri berseliweran di beranda YouTube saya. Sebagai mantan karateka sabuk coklat, saya tertarik untuk melihat demonstrasi dari kedua orang tersebut. Situasi yang dihadapi adalah bagaimana mempertahankan diri ketika Anda ditodong pisau oleh seseorang. Instruktur menjadi korban yang ditodong, sedangkan peraga kedua menjadi penodong. Instruktur menjelaskan bagaimana Anda bisa memelintir tangan pelaku kemudian dengan mudah mengambil pisau dan membalik keadaan.
Saya langsung tepok jidat. Bukan menyesalkan tekniknya, tetapi saya menyesalkan penyederhanaan situasi. Walaupun saya dulu juga dilatih bela diri melawan todongan pisau dan pistol, sensei saya selalu berpesan untuk tidak pernah mempraktikkannya di dunia nyata. Tidak ada namanya latihan bela diri untuk melawan orang bersenjata! Pilihannya hanya ada dua, beri yang dia minta atau lari sambil minta tolong.
Begini duduk masalahnya. Tutorial bela diri adalah video settingan yang tidak mungkin mereplika kejadian nyata. Kedua pemeran dalam video sudah sepakat untuk melakukan pemeragaan. Keduanya saling kenal dan memiliki tujuan sama yaitu mendapatkan cuan dari videonya. Artinya, pembelajaran apa pun yang ditampakkan dalam video tidak ada artinya bagi penonton.
Bagi penonton awam, kita hanya menikmati alur videonya yang membangkitkan fantasi untuk mempertahankan diri melawan penjahat. Video semakin menarik karena ternyata mengambil pisau penodong sangatlah mudah. Lalu apa yang kita petik dari peragaan itu? Tidak ada, kita hanya swipe ke video selanjutnya. Bagi pemerhati bela diri yang awam, peragaan itu bisa dianggap sebagai ilmu otodidak. Di sinilah video ini dapat membahayakan nyawa seseorang. Sebelum mencoba merebut pisau penjahat, sebaiknya kita memikirkan ulang konsekuensi berikut:
Pertama, tertusuk.
Kedua, tertusuk.
Ketiga, tertusuk.
Keempat, baru sadar kalau penjahat bisa menusuk lebih dari satu kali.
Kelima, game over.
Tidak hanya faktor settingan yang memanipulasi penonton, faktor hormon adrenalin juga harus diperhatikan. Walaupun Anda berlatih sebanyak mungkin untuk menguasai satu gerakan dari tutorial bela diri, Anda tidak bisa melakukannya jika tidak terbiasa dengan situasi di dunia nyata. Faktor adrenalin akan selalu ada mengingat nyawa sedang menjadi taruhan.
Keraguan lain juga bersumber dari diri sendiri yang tidak pernah melakukan kekerasan. Coba ingat, kapan terakhir kali Anda terlibat pertarungan fisik yang mengancam nyawa Anda? Oleh karena itulah kita cenderung enggan untuk melukai seseorang. Pikiran pun karut marut, tangan menjadi berat, kaki lemas, keringat dingin bercucuran, dan perasaan gugup menyeruak ketika dinginnya bilah pisau menyapa pori-pori kulit di balik tipisnya kain kaos. Betapa terkejutnya Anda, ternyata pelaku menodong dari belakang, tidak dari depan seperti yang Anda lihat di video!
Baiklah, anggap saja saya terlalu meremehkan kemampuan bela diri Anda. Intinya Anda memutuskan untuk bertarung dan berhasil menghabisi si penodong dengan pisaunya. Apa konsekuensinya? Sepolos pertanyaan itu, jawabannya adalah kita tidak akan pernah tau konsekuensi apa yang didapatkan.
Bisa saja kawanan si penodong sedang memantau gerak-gerik Anda dan merencanakan balas dendam. Hal ini sangat sulit diprediksi karena bisa saja targetnya bukan Anda, tetapi orang terdekat Anda. Selain itu, konsekuensi hukum juga dapat memberatkan jika terdakwa pasal tertentu atas kekerasan yang Anda lakukan. Mengingat realitas pengadilan yang tidak selalu mengenal keadilan, tentu kondisi ini bisa menimpa Anda. Saya rasa lebih baik Anda memberikan beberapa ratus ribu kepada penodong daripada mempertaruhkan hal-hal di atas.
Lalu apa gunanya saya dulu belajar bela diri jika kondisi seperti ini saya justru harus menyerah? Intinya bela diri tidak hanya otot, tetapi juga otak. Menyerahlah jika keadaan tidak memihak kepada Anda. Jangan sembrono dengan nyawa karena kehidupan nyata tidak bisa diperagakan seperti latihan.
Sumber Gambar: Pixabay