Jangan Lakukan 4 Hal Ini Saat Kuliah S2, Sudah Bukan Waktunya Lagi

Jangan Lakukan 4 Hal Ini Saat Kuliah S2, Sudah Bukan Waktunya Lagi

Jangan Lakukan 4 Hal Ini Saat Kuliah S2, Sudah Bukan Waktunya Lagi (unsplash.com)

Ketika memutuskan untuk lanjut kuliah S2, banyak orang beranggapan bahwa kehidupan akademik akan lebih serius dan dewasa. Saya pun berpikiran sama. Kuliah S2 berarti sudah bukan waktunya main-main lagi seperti masa-masa S1 dulu. Kamu harus bisa berdiskusi dengan dosen maupun rekan-rekan sekelas terkait subjek yang kamu ambil. Berat ya? Ya sudah, pikir-pikir lagi kalau mau naik ke level ini.

Akan tetapi saat menjadi mahasiswa magister, saya menemukan beberapa orang yang masih kayak mahasiswa S1. Mereka belum bisa move on dari kebiasaan lama. Hal ini biasanya terjadi pada fresh graduate yang memutuskan langsung lanjut S2. Atau, sudah lama lulus dari S1, tapi karakter orangnya memang begitu.

Saya nggak melarang jika ada yang berbuat demikian. Namanya juga manusia. Tapi tolong diingat kembali, kamu sedang kuliah di jenjang pascasarjana. Beda dengan masa S1 dulu.

Berikut saya spill 4 hal yang sebaiknya nggak dilakukan saat kuliah S2. Ini berdasarkan pengalaman saya, ya.

#1 Kuliah S2 tapi masih jadi mahasiswa deadliner

Kebiasaan mengerjakan tugas sistem kebut semalam alias SKS sudah bukan hal yang aneh lagi. Jujur saja, saat kuliah S1 dulu, saya nggak jarang menerapkan ini. Kebanyakan main dan berkegiatan di kampus, PR kelas terlupakan. Apalagi dulu belum ada ChatGPT yang bisa ditanya-tanya buat diskusi, rasanya mumet maksimal menyelesaikan tugas mepet deadline. Nggak ada yang “bantuin”.

Nah, buat mahasiswa deadliner, mohon tinggalkan rutinitas tersebut saat kuliah di jenjang S2. Soalnya di jenjang ini kamu nggak hanya dituntut untuk pintar menulis, tapi juga membenahi manajemen waktu. Tugas-tugas di masa S2 pun lebih rumit dan bukan sekadar menjawab pertanyaan beranak atau menulis esai berdasarkan pengalaman pribadi. Kamu akan dipertemukan dengan segudang presentasi makalah ilmiah dengan berbagai konsep dan teori. Setiap hari.

Coba bayangkan, mampu nggak kamu menyelesaikan jenis tugas seperti itu hanya dalam 1 malam? Saya sih nggak sanggup.

#2 Tidak punya arah riset sedari awal kuliah S2

Sebelum kuliah S2, kamu pasti sudah ada bayangan dong mau meneliti apa nantinya untuk tesis. Patut diingat bahwa skripsi berbeda dengan tesis, mulai dari cara penulisan sampai konsep dan teori yang dipakai.

Waktu baru menjadi mahasiswa S1, saya nggak punya bayangan mau menulis skripsi apa nantinya. Kuliah yang rajin dan ikut organisasi adalah hal utama bagi saya. Urusan tugas akhir belakangan.

Ternyata, waktu memutuskan lanjut kuliah S2, saya nggak bisa datang dengan “tangan kosong” seperti waktu S1 dulu. Sebaiknya kita punya rencana mau menulis apa untuk tesis nanti. Minimal sudah mengantongi objek yang akan diteliti.

Hal ini akan memudahkan penyusunan tulisan tesis yang kompleks itu. Semester pertama saja sudah disuguhi mata kuliah Metode Penelitian. Waktu baru mulai kuliah, saya bahkan ditagih dosen terkait judul proposal penelitian. Nah, kalau kamu melanjutkan studi tapi belum punya arah riset tesis, saya yakin kamu bakal keteteran nantinya.

#3 Numpang nama di tugas kelompok

Salah satu hal yang bikin keki di kampus adalah mahasiswa yang cuma numpang nama di tugas kelompok. Mau jenjang apa pun, pasti ada saja kebiasaannya: nama ada tapi kontribusi nggak ada. Kalau terjadi di level magister, saya pastikan kamu bakal jadi musuh bersama. Namanya juga kerja kelompok, mengerjakannya ya bareng-bareng dan kolaborasi lah. Bebannya dibagi rata sesuai jumlah orang dalam satu kelompok.

Tugas kuliah mahasiswa S2 itu lebih rumit, lho. Ya artikel ilmiah, presentasi, sampai proposal penelitian lapangan. Kasihan teman lain jika harus menggarap tugas yang bukan bagiannya.

Saya pernah merasakan pengalaman serupa. Jumlah anggota dalam satu kelompok ada banyak, tapi yang aktif hanya beberapa. Mau nggak mau semua nama mahasiswa harus dicantumkan. Penginnya sih mereka yang nggak kerja diabaikan.

Jadi, tolong sebisa mungkin hilangkan kebiasaan numpang nama ini, ya. Ingatlah bahwa kamu adalah mahasiswa S2 yang pemikirannya lebih dewasa. Bukan lagi mahasiswa S1 yang lebih banyak ngopinya daripada belajar.

#4 Membandingkan nilai, takut banget ada kompetitor

Pamer IP waktu S1 itu dianggap ambisius, tapi kalau kuliah S2 malah terasa absurd. Kalau S1 wajar saja bangga karena baru semester awal nilainya kebanyakan A. Takut ada saingan, akhirnya bertanya sana-sini berapa IP yang didapat. Saya pun melakukan hal demikian saat duduk di bangku sarjana. Sempat kecewa karena ada yang indeks prestasinya mendekati angka 4. Amazing!

Sayangnya, tabiat ini nggak cocok lagi diterapkan mahasiswa S2. Sudah bukan waktunya lagi mahasiswa berkompetisi masalah nilai. Mau dapat A semua atau warna-warni, ya terima saja. Toh menjalani proses kuliah S2 itu bukan sekadar tinggi-tinggian IP, tapi lebih kepada bagaimana kamu berpikir kritis serta mampu mengembangkan gagasan.

Eh, tapi masih ada kok mahasiswa S2 yang kepoin IP semua teman sekelas menjelang akhir semester. Itu yang terjadi di kampus saya dulu. Bahkan saya sampai dijapri beberapa teman sekelas cuma buat tanya perihal nilai. Lalu berakhir dengan adu nasib dan berbagi kesedihan. Halo, Mas, Mbak, kita sudah bukan S1 lagi, sudah bukan saatnya membandingkan nilai kayak gitu.

Itulah 4 hal yang (kalau bisa) seharusnya tidak dilakukan saat kamu kuliah S2. Ini berdasarkan pengalaman saya, lho, ya. Ada yang mau menambahkan?

Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kuliah S2 Beda dengan S1, Mahasiswa Jangan Kebanyakan Caper, Sudah Bukan Umur dan Tempatnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version