Salah satu masalah klasik yang terjadi di bulan Ramadan adalah persoalan sampah yang seakan tiada habisnya. Setiap tahun kenaikan sampah di Indonesia paling signifikan terjadi pada saat bulan Ramadan. Tradisi takjil dan buka puasa bersama merupakan pemicu dari kenaikan sampah yang selalu terjadi. Terutama sampah sisa makanan dan sampah plastik.
Selain itu, masyarakat memang cenderung lebih konsumtif selama Ramadan. Bayangkan saja selama kurang lebih 12 jam tubuh tidak terisi apa pun. Lantas membayangkan berbagai makanan yang akan dikonsumsi saat azan maghrib berkumandang, membuat hasrat berbelanja (makanan) menjadi tak terbendung.
“Kayaknya takjil sama es kelapa muda enak, nih. Sama kolak juga enak. Tambah gorengan dan sosis bakar sekalian, ah.”
Pikiran-pikiran seperti itu sudah pasti memenuhi kepala saat kita dihadapkan dengan berbagai macam pilihan menu makanan. Dan yang pasti dalam kondisi sedang mengantongi uang. Kemudian pada saat buka puasa, baru makan takjilnya saja sudah merasa kekenyangan. Memang pada dasarnya, tubuh kita tidak butuh makanan sebanyak itu.
Yah, tapi begitulah sifat manusia, hasrat sering kali lebih besar dari kebutuhannya. Semangat Ramadan untuk mengatrol ibadah sering terbelokkan menjadi semangat untuk mengejar barang-barang konsumsi, terutama makanan. Dan menyebabkan banyak orang cenderung ‘lapar mata’ saat Ramadan.
Mulai dari es buah, kolak, sampai gorengan menjadi hidangan takjil yang memang identik di bulan Ramadan. Sementara itu, agenda buka puasa bersama juga terus berdatangan, dari teman kerja, reuni sekolah, atau sembari bakti sosial. Belum lagi mahasiswa dengan sederet organisasi dan komunitas yang diikutinya. Buka puasa bersama di tiap organisasi seakan merupakan suatu kegiatan wajib di bulan Ramadan. Sehingga tidak dapat dimungkiri bahwa takjil dan buka bersama sudah menjadi tradisi turun temurun.
Selain itu sejumlah tempat-tempat yang mendadak menjadi pasar Ramadan juga menjadi salah satu pemicunya. Dan pedagang-pedagang kaki lima yang sangat mudah ditemui di banyak ruas jalan pada jam-jam menjelang buka puasa. Hal tersebut membuka peluang volume sampah yang meningkat saat Ramadan tiba. Pada tahun 2019 misalnya, sampah di Jakarta bertambah 864 ton bahkan di hari pertama Ramadan.
Jika dilihat dari dampak lingkungannya, sampah makanan sangat berbahaya karena menghasilkan gas metana yang dilepas ke atmosfer. Gas ini dapat menyebabkan efek rumah kaca dan ledakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Bayangkan saja 864 ton dikalikan 30 hari. Hasilnya kurang lebih 25 ribu ton sampah yang meningkat di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah selama bulan Ramadan. Belum lagi sampah yang dihasilkan oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dan kondisi tersebut bermula dari kita yang menyisakan makanan, dengan alasan apa pun.
Padahal dalam Islam, salah satu esensi terbesar berpuasa adalah pengendalian diri. Pengendalian diri dalam hal makanan sebenarnya tidak semata terkait dengan persoalan perut saja. Menarik apa yang dikemukakan oleh dokter Umar Faruq Abdallah, seorang cendekiawan muslim. Menurutnya, kemampuan kita dalam mengontrol makanan dan minuman akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kita terhadap kontrol diri yang lainnya. Banyak nasihat dan pendapat lain yang juga senada dengan dokter Umar Faruq ini.
Walau memang menerapkan perilaku tersebut tidak semudah yang dikatakan. Saya sendiri yang sering kali berusaha menahan hawa nafsu dari makanan yang menggoda di pinggir-pinggir jalan itu, akhirnya tetap saja tergoda dan barbar saat membeli makanan. Padahal di satu sisi, saya tahu bahwa saya tidak butuh sebanyak itu.
Dan satu-satunya cara yang membuat saya tidak tergiur untuk mengonsumsi makanan berlebih saat buka puasa adalah pada saat krisis keuangan. Yo nek nggak nduwe duwek, nggak iso tuku opo-opo, Lur. (Ya kalau tidak punya uang, tidak bisa beli apa-apa, Lur).
Kondisi finansial memang sangat memengaruhi hasrat konsumtif manusia. Dan kondisi pas-pasan tersebut kemudian sering membuat kita memutar otak untuk memenuhi kebutuhan dengan membeli makanan secukupnya saja. Iya, kayak lagunya Hindia itu, loh. Secukupnyaaa~
Hal ini juga bakal membuat kita lebih menghargai makanan yang sudah tersedia. Sehingga kita akan makan sampai habis dan tidak ada makanan yang tersisa. Selain sebagai penyelamat kondisi finansial, makan sampai habis dan makan secukupnya juga merupakan solusi pribadi pada penyelamatan bumi kita yang semakin rapuh ini.
Walaupun pada dasarnya, perilaku tercela semacam buang-buang makanan itu juga harus dihindari tidak hanya di bulan Ramadan. Namun, setiap harinya di luar bulan Ramadan.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.