Jakarta nggak semudah itu ditaklukan, apalagi oleh fresh graduate dari Solo seperti teman saya.
Beberapa waktu terakhir Mojok mengangkat seputar lika-liku kerja di Jakarta. Salah satunya tulisan berjudul Nekat Merantau dari Jogja Cari Kerja di Jakarta, 6 Bulan Kirim 100 Lamaran Begitu Lolos Gedung Kantornya Ambruk. Saya jadi ingin menambahkan salah satu pengalaman teman saya. Iya, ini teman saya yang mengalaminya, tapi saya tahu betul kesulitannya karena sering mendengarkan curahan hatinya.
Banyak orang yang menganggap Jakarta adalah tempat mengubah nasib. Ibu kota negara itu memang menawarkan banyak kesempatan. Bahkan bagi orang-orang yang nggak punya banyak pengalaman seperti fresh graduate. Apalagi, gaji yang ditawarkan oleh kota metropolitan ini memang terlihat lebih besar dibanding daerah-daerah lain. Siapa yang tidak tergiur?
Teman saya adalah salah satu yang kepincut dengan daya pikat Jakarta. Dia seorang fresh graduate dari Solo yang akhirnya mencoba mengadu nasib di ibu kota. Teman saya berharap bisa menjadi salah satu orang dari daerah yang sukses di tanah perantauan. Sayangnya, dia tidak mempersiapkan siasat terkait gagap budaya alias culture shock yang begitu sulit diatasi.
Jakarta yang rumit, orang dan jalanannya
Sebagai seorang fresh graduate yang baru merantau ke ibu kota, dia merasa kalau orang-orang Jakarta itu galak. Padahal di benak saya, orang Solo juga banyak yang galak. Namun, menurut teman saya, galaknya berbeda. Segalak-galaknya orang Solo itu masih ramah dan sabar, sementara orang Jakarta tidak.
Hal itu dia amati ketika berada di lampu merah. Saking nggak sabar, pengendara biasanya dengan ugal-ugalan menerobos lampu merah. Hal serupa juga diamati ketika naik KRL. Padatnya KRL Solo-Jogja nggak ada apa-apa dibanding KRL Jakarta. Padatnya berbagai jalur KRL Jakarta benar-benar berbahaya dan membuat pusing.
Culture shock lain adalah jalanan Jakarta yang ruwet. Jauh lebih ruwet daripada jalanan Solo. Sebenarnya perkara jalan ini bisa diatasi dengan menggunakan Google Maps. Sayangnya, membaca Google Maps di jalanan Jakarta tidaklah mudah. Selain jalannya yang memang rumit, pengguna jalan lain nggak sabaran. Benar-benar berbahaya berkendara di Jakarta tanpa hafal rute-rutenya.
Gaji yang menggiurkan, tapi biaya hidup tinggi
Sekilas, tawaran gaji yang diberikan oleh kantor-kantor ibu kota memang menggiurkan. Bahkan, sekelas fresh graduate seperti teman saya bisa mendapat gaji hingga Rp3,5 juta. Kalau dibandingkan dengan fresh graduate Solo, angka tersebut tergolong fantastis.
Sayangnya, banyak yang lupa, biaya hidup di Jakarta tidak kalah tinggi. Mungkin angka tersebut bisa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dengan gaya hidup sederhana. Namun, akan berbeda cerita kalau seseorang sudah berkeluarga atau sandwich generation. Seseorang harus benar-benar putar otak untuk berhemat atau mendapat penghasilan sampingan.
Terlepas dari hal-hal di atas, pengalaman kerja di ibu kota memang bisa menjadi pelajaran hidup berharga. Jakarta benar-benar bisa menguji limit-limit hidup seseorang. Kalau pernah kerja di ibu kota, setidaknya seseorang bisa selamat di tempat kerja-tempat kerja lain.
Akan tetapi, kalau saya jadi teman saya, nggak akan mau mengalami pengalaman itu untuk kedua kali. Setelah dari ibu kota, mending cari pengalaman kerja di tempat lain yang lebih manusiawi. Kerja di Jakarta cukup dijadikan pengalaman saja sekali seumur hidup aja.
Penulis: Nurul Fauziah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Spot Terbaik Melihat Kesenjangan Kota Jakarta dari Ketinggian
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.