Sebagai pengguna Spotify non-premium selama dua tahun terakhir, saya sudah sangat terbiasa mendengarkan banyak iklan di sela-sela mendengarkan lagu. Maklum, pada Spotify non-premium, lagu yang bisa kita skip maksimal hanya enam. Jika ingin lebih dari itu, harus secara sukarela dan ikhlas mendengarkan berbagai iklan di Spotify.
Kebanyakan sih, iklan di Spotify itu tentang promosi single terbaru dari para musisi dan informasi bagaimana cara berlangganan Spotify premium. Mau gimana lagi, namanya juga gratisan. Harus terima konsekuensinya. Kalau mau tanpa iklan, harus beralih ke Spotify premium yang jelas berbayar.
Kendati demikian, sampai dengan saat ini, saya masih nyaman dan bertahan menggunakan Spotify non-premium meski harus rela mendengarkan beragam iklannya. Lantaran, bagi saya, meski kebanyakan hanya mengandalkan suara (tanpa visual berupa video) iklan di Spotify itu unik, informatif, dan realistis. Nggak mengganggu walaupun didengar berkali-kali.
Ada, sih, iklan yang bentuknya video, tapi tampilannya hanya orang yang lagi joget-joget, lalu ada wording di sebelah kirinya, “Dapatkan premium. Ikuti tren. Dapatkan fitur lewati. Lewati lagu apa saja.” Selain tepat sasaran, penyampaiannya sangat sederhana dan mudah dimengerti. Nggak neko-neko.
Selain persuasif, wording-nya terbilang menarik. Banyak pengandaian yang sering kali bikin saya bergumam dalam hati, “Lah, bisa begitu.”, “Lah, lucu juga, nih.”, “Ah, bisa aja.”
Gimana, ya. Iklannya terdengar to the point, betul-betul tepat sasaran, dan menyesuaikan kebutuhan para pengguna Spotify, khususnya yang non-premium. Baik dalam mempromosikan berlangganan Spotify premium satu hari maupun yang per tiga bulan, sama-sama dikemas secara menarik dan apik.
Durasi pada setiap iklan di Spotify pun terbilang singkat dan nggak bertele-tele. Rata-rata sekitar 30 detik. Paling lama pun hanya sekitar satu menit. Hal ini bisa divalidasi pada aplikasi Spotify secara langsung ketika kalian belum berlangganan versi premium atau dicek melalui akun YouTube Spotify Ads.
Hal menarik lainnya adalah kalimat, “Dengarkan gratis atau upgrade ke premium.” lalu dilanjutkan dengan beberapa gambaran mengenai kualitas suara yang jernih, bisa download sekaligus mendengarkan lagu pada saat offline, yang hampir selalu ada pada setiap iklan Spotify. Sangat persuasif, tapi nggak bikin risih.
Asli. Banyak iklan di Spotify yang kekinian, penuh warna, bahkan beberapa di antaranya sangat jenaka. Nggak heran jika pada kuartal ketiga tahun 2020 ini, melansir dari Tirto, pelanggan Spotify naik menjadi 320 juta orang atau mencapai 29 persen. Selain itu, pelanggan berbayar Spotify juga naik menjadi 27 persen atau sekitar 144 juta. Rasanya, hal tersebut juga tidak bisa dipisahkan dari pembuatan iklan yang sangat jeli dan tepat sasaran.
Saya pikir, cara yang dilakukan oleh Spotify tentang bagaimana mempromosikan produk premiumnya, bisa diadaptasi juga oleh aplikasi lain. Penjelasan soal keuntungan saat mengaktifkan versi premium, dibuat secara ringkas, informatif, dan persuasif. Namun, tidak ada paksaan.
Bisa juga deskripsikan dalam bentuk perbandingan seperti yang sudah dilakukan oleh Spotify, di pesawat, dalam perjalanan, walaupun nggak ada sinyal internet pun nggak masalah kalau mau mendengarkan lagu apa pun yang disukai. Semuanya bisa diakses dengan Spotify premium.
Tentu saja penjelasan seperti ini akan sangat mudah diterima oleh siapa pun yang punya hobi mendengarkan musik dalam setiap kegiatannya. Juga memancing ketertarikan dengan harga yang sebanding. Tak terkecuali saya, yang pada akhirnya tergiur juga untuk mengaktifkan Spotify versi premium.
Rasanya nggak berlebihan jika saya berpikir bahwa para pelanggan, untuk produk apa pun, butuh iklan yang lain daripada sebelumnya. Paling tidak, adaptasi seperti iklan yang sudah dibuat oleh Spotify betul-betul sangat mungkin dilakukan. Sederhana. Nggak bertele-tele. Tepat sasaran. Walaupun hanya berupa suara dan sedikit penegasan melalui wording yang efektif. Hasilnya? Pengguna Spotify pun meningkat signifikan.
Soal memberi kesan menyenangkan kepada semua orang yang melihat sekaligus mendengar, iklan di Spotify sangat saya jagokan. Apa yang ditampilkan sering kali bikin kagum. Berbeda dengan iklan di platform lain yang cenderung lama dan membosankan. Alih-alih bikin nyaman, pelanggan justru dibuat kesal. Untuk itulah saya tidak ragu menempatkan iklan-iklan di Spotify baik iklan produk premium maupun produk lain sebagai iklan terbaik yang pernah saya dengar. Saya rasa ini nggak berlebihan. Copywriter dan tim yag mengeksekusi iklannya pasti penuh persiapan matang dan evaluasi berulang-ulang.
BACA JUGA Andai SpongeBob Jadi Seorang HRD yang Menolak ‘Orang Dalam’ di Suatu Perusahaan dan artikel Seto Wicaksono lainnya.