Perihal corona, ibu saya memang yang paling gercep (gerak cepat). Ibu selalu mengikuti dan memantau perkembangan penyebaran covid-19 ini. Ia memantau penyebaran virus corona tidak hanya di daerah Kalimantan Timur saja, tapi juga seluruh penyebarannya di Indonesia bahkan di dunia.
Gabungan antara pemahamannya yang cukup mendalam dan modal bicara yang sangat baik (didapat dari pekerjaannya sebagai guru) membuatnya seolah jadi pakar virus corona dan cocok dijadikan juru bicara terkait hal ini. Saya berani jamin, gagasan ibu tentang pencegahan dan penanganan virus corona ini cukup bisa ditandingkan.
Ibu selalu update. Ia memantau penyebaran virus ini dari semua media sosial yang ia punya: Facebook dan WhatsApp. Melalui timeline Facebook dan grup WhatsApp yang ia ikuti, ia banyak tahu tentang hal ini. Mulai dari berapa jumlah pasien corona, daerah-daerah yang rawan, bahkan sampai tahu dokter-dokter yang menanganinya. Tidak hanya itu, ia juga mendalami ilmu yang bersinggungan dengan corona. Mulai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh, ciri-ciri pengidap corona, dan tentu saja dalil agama yang sekiranya bisa digunakan untuk berargumen tentang corona.
Semenjak ibu bekerja dari rumah, ibu jadi lebih peduli dengan kebersihan dan kesehatan. Ibu saya yang sekarang jadi sensitif dengan kata kotor. Ia selalu bersih-bersih rumah yang menurut saya sih sebetulnya sudah bersih. Handsanitizer dan masker sekarang selalu siap sedia di rumah. Setiap saya melakukan pekerjaan, ia selalu mengingatkan untuk cuci tangan. Sampai-sampai saya kesal dengan perubahan sikap ibu ini.
Kadang saya nggak begitu percaya dengan omongan ibu. Ya, tahu sendirilah bagaimana boomer kalau menyikapi suatu hal: Mereka bakal ngotot banget dalam berargurmen. Apalagi kadang sumber yang didapat tidak begitu bisa dipercaya. Apalagi di Facebook dan grup WhatsApp juga banyak penyebaran berita hoaks atau berita yang nggak bisa dipastikan kebenarannya.
Jadi dalam menyikapi sikap ibu, saya lebih banyak mendengarkan ketimbang melaksanakan. Ya, antara bimbang dan ragu-ragu. Antara percaya dan nggak percaya. Terkadang kalau nggak ngerjain, saya takut durhaka terus kena corona beneran. Hayooo, loh, bingung, kan?
Itu baru dari aspek kebersihan dan kesehatan, masih ada aspek yang lain: Keagamaan. Ibu jadi rajin wudu, rajin salat wajib maupun sunah, dan semangat mengaji. Ibu bilang, “Mati nggak ada yang tahu, Le. Bisa aja besok, bisa aja ntar, apalagi banyak virus corona kayak gini. Ibu takut meninggal dalam keadaan berdosa.” Semenjak itu, saya tersentuh dan terpengaruh dengan perkataan ibu. Saya pun jadi tambah (sedikit) rajin untuk masalah ibadah.
Ibu memang cukup banyak berubah semenjak virus corona menyebar. Ia mendadak jadi pakar corona sekaligus ustazah yang hafal dan paham hadis-hadis. Sebenarnya tidak ada masalah dengan perubahan drastis pada ibu. Justru hal ini jadi lebih baik. Akan tetapi, setiap perubahan butuh penyesuaian. Termasuk perubahan seperti ini. Mungkin, saya belum siap berubah jadi pribadi yang lebih sehat, bersih, dan saleh. Saya lebih nyaman dengan hal yang sedang-sedang saja.
Tapi yang jelas, semua yang dilakukan ibu adalah yang terbaik untuk kami sekeluarga. Jadi, saya harus mulai membiasakan diri menerima ibu yang sekarang. Ibu saya yang pakar virus corona sekaligus ustazah yang hafal dan paham hadis-hadis.
BACA JUGA Selain Jahat, Orang yang Ngasih Stigma ke Perawat sebagai Pembawa Virus Juga Goblok atau tulisan Nafiis Anshaari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.