Barangkali kita semua sepakat bahwa bekerja di bidang apa pun, pasti punya tingkat kesulitan, target, dan konsekuensi masing-masing. Bekerja di ruang lingkup HRD, jadi salah satu contoh nyata di antaranya. Jika kalian berpikir bahwa bekerja di ruang lingkup HRD itu nyaman dan bisa petantang-petenteng, saya bisa mem-validasi bahwa hal tersebut sangatlah keliru.
Ada beberapa faktor yang menyertai. Pertama, HRD dan beberapa divisi terkait, menjadi representasi perusahaan. Cerminan perusahaan. Maka, gerak-gerik kalian akan selalu disorot. Oleh manajemen di perusahaan, oleh rekanan bisnis, para kandidat yang mengikuti proses interview, termasuk karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
Kedua, sejatinya, HRD adalah jembatan antara perusahaan dan karyawan. Maka, sudah sebaiknya membagi pemikiran antara hal yang penting dan baik bagi perusahaan sekaligus kebaikan bagi para karyawan itu sendiri. Khusus untuk poin kedua ini, sayangnya, nggak selalu berjalan mulus sesuai harapan dan teori yang ada.
Ada kalanya, sebagian karyawan berpikir bahwa peraturan yang dibuat oleh HRD dan jajarannya terlalu menguntungkan perusahaan. Padahal, hal tersebut sudah melalui pertimbangan yang cukup matang antara pekembangan bisnis perusahaan, benefit bagi para karyawan, dan rencana jangka panjang yang akan diwujudkan di waktu mendatang.
Sebagian karyawan ada yang memahami, sebagian lainnya tidak. Dan yang menjadi sasaran utama sering kali adalah para HRD yang bertugas. Padahal, keputusan yang dibuat oleh para HRD tidak ujug-ujug dibuat sendiri. Sekali lagi, ini sudah melalui diskusi yang matang dengan manajemen, melalui persetujuan atasan, dan ada perhitungan lain yang terkadang hanya bisa didiskusikan oleh pihak internal saja—semacam dapur perusahaan.
Semakin lama bekerja di ruang lingkup ini, saya makin terbiasa dengan realitas bahwa HRD bisa menjadi kesayangan karyawan. Namun, di waktu yang bersamaan, juga dibenci oleh sebagian karyawan lainnya. Meski yang mereka benci sebenarnya adalah peraturannya, tapi tetap saja HRD yang terkena imbasnya.
Sebetulnya, nggak apa-apa juga, sih. Manusiawi. Pasalnya, peraturan yang dibuat, terkadang, memang tidak untuk menyenangkan semua karyawan di perusahaan.
Agar hal ini tidak bias profesi, saya sempat berdialog langsung dengan banyak karyawan atau rekan kerja. Bagi mereka, indikator HRD yang menyenangkan sebetulnya sederhana saja.
Pertama, fair dalam memperlakukan karyawan dan nggak tebang pilih, sesuai dengan aturan perusahaan. Kedua, nggak perlu galak untuk diingat atau mendapatkan perhatian. Ketiga, nggak ada gap dengan karyawan. Okelah, harus tetap profesional, tapi jaraknya jangan dirasa kejauhan banget, gitu. Keempat, kalau lagi dibutuhin dan dihubungi, jangan sok sibuk atau nggak respons WhatsApp. Sebab, menurut pengakuan mereka, sebagai karyawan, nggak akan sampai iseng juga menghubungi HRD kalau memang nggak genting-genting amat. Jika karyawan sudah menghubungi pihak HRD, hampir selalu ada hal mengenai pekerjaan yang pengin disampaikan atau ditanyakan.
Sebaliknya, mereka yang menyebalkan sekaligus berpotensi nggak disukai karyawan, kebalikan dari keempat poin tersebut. Mereka yang terlalu cuek dengan karyawan, nggak ramah, dan jika ada masalah bukannya ditelusuri dan melihat dari berbagai sisi, malah judging.
Beberapa poin yang sudah disebutkan oleh rekan kerja tersebut, menjadi relfeksi bagi saya untuk bisa lebih profesional lagi dalam bekerja. Barangkali, hal ini juga bisa menjadi masukan yang sangat berharga bagi banyak HRD di luar sana.
Ya, gimana ya. Kayaknya image HRD yang galak dan terlalu menjaga jarak dengan para (calon) karyawan sudah mulai usang. Setidaknya, ini mengupayakan pembenahan agar bisa menyesuaikan keadaan terkini. Bukan berarti malah menjadi HRD yang lembek dan mudah terpengaruh. Ada batas yang saya pikir cukup jelas antara bias dan profesionalitas.
Maksud saya, apa nggak capek bekerja di ruang lingkup HRD dan selalu dianggap galak, menjaga jarak dengan karyawan, dan (pada titik yang paling ekstrim) malah dibenci oleh karyawan sendiri?
Siapa tahu, hal ini juga bisa menjadi insight, bekal, dan diaplikasikan di waktu mendatang oleh kalian yang pengin banget berkarier di ruang lingkup HRD. Bahwa menjadi HRD, harus siap menjadi kesayangan dan di waktu bersamaan juga punya potensi tidak disukai oleh sebagian karyawan.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Audian Laili