Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Haruskah Menjadi Nasionalis agar Humanis?

Idham Raharfian oleh Idham Raharfian
22 Agustus 2019
A A
nasionalis

nasionalis

Share on FacebookShare on Twitter

Tanggal 17 Agustus lalu, Kota Paris dan sekitarnya diguyur hujan yang sangat awet dari pagi hingga petang. Sebagai mahasiswa rantau, cuaca tersebut tak menyurutkan niat saya untuk datang ke perayaan HUT Indonesia di Wisma Duta KBRI, (jujur) apalagi kalau bukan demi sepiring nasi uduk, rendang, dan sambal, hehehe.

Sampai stasiun metro, saya bertemu teman saya, Dinda, bersama pacarnya, Nico. Kami pun berjalan menuju Wisma Duta yang berjarak cukup jauh sambil ditemani rintik hujan. Kami saling mengobrol seputar hari kemerdekaan Indonesia hingga Dinda melontarkan pertanyaan menarik ke pacarnya. Pertanyaannya kira-kira, “Kamu sebagai orang Prancis merasa nasionalis nggak, sih? Merasa bangga nggak sama negaramu?”

Nico terlihat tersenyum sambil mengangguk ragu. “Mungkin kami menjadi nasionalis pada momen-momen tertentu saja, ya, seperti kompetisi-kompetisi sepak bola, misalnya,” jelasnya. Pertanyaan tersebut pun merembet ke obrolan fakta-fakta nasionalisme lainnya.

Dinda dan saya lantas bernostalgia tentang kewajiban upacara hari Senin semasa sekolah dulu, sedangkan Nico tak memiliki memori semacam itu. Saya juga jadi teringat sewaktu masih sekolah dulu, di tiap kelas atau berbagai auditorium, ruang seminar, dsb., selalu terpampang foto presiden-wakil presiden beserta lambang negara di tengahnya yang digantung pada sisi atas depan ruang. 

Sementara selama hampir satu tahun di Prancis, saya belum pernah menjumpai foto Presiden Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Edouard Philippe yang dipajang di dalam kampus atau bahkan kantor pemerintahan sekalipun.

Obrolan tersebut membuka paradigma bahwa konsep nasionalisme memang tidak homogen di seluruh negara. Hal ini selaras dengan hasil lembaga survei Gallup tahun 2017 lalu bahwa tidak seluruh masyarakat di tiap negara ingin berjuang untuk negaranya.

Menariknya, masyarakat dengan keinginan paling tinggi untuk berjuang berada di negara-negara wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (83%), sedangkan keinginan paling rendah (25%) merupakan negara-negara Eropa Barat. Sedangkan ditinjau dari faktor agama, masyarakat Muslim (78%) menduduki peringkat pertama yang ingin berjuang untuk negaranya.

Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 70% masyarakat Indonesia mau berjuang untuk negaranya. Jumlah ini sangat besar. Angka ini menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan fakta bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia sedari kecil dibesarkan untuk menjadi seorang nasionalis dan cinta Indonesia.

Baca Juga:

Susanti, Sudah Nggak Usah Balik ke Indonesia, kalau Mau Balik, Sehabis Pemilu 2029 Aja

Surat Terbuka buat para Tukang Serobot Antrean: Kalian Nggak Punya Malu Atau Nggak Punya Otak, sih?

Awal masuk SD sudah disodori pelajaran PKn. Satu persatu murid maju ke depan untuk menghafalkan kelima sila Pancasila beserta lambang-lambangnya. Di beberapa kesempatan mereka menggerombol sambil mencoba melantunkan lagu-lagu nasional. Memasuki jenjang SMP-SMA, mereka diminta menghafalkan Pembukaan UUD 1945 tak terkecuali teks Proklamasi.

Pada bangku perkuliahan, kita juga masih bertemu mata kuliah Kewarganegaraan. Hingga seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pun—apapun profesinya—turut diselipkan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Bahkan, wacananya, bentuk soal serupa juga akan disematkan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) tahun depan.

Segala bentuk upaya itu tidak dipungkiri ialah bentuk standardisasi untuk menyeragamkan konsep nasionalisme. Niat dari upaya ini tentu baik bila bertujuan untuk membentuk masyarakat yang harmonis dan utuh. Akan tetapi, apakah cara yang dilakukan selama ini terbilang efektif?

Sibuk Kelihatan Nasionalis Sampai Lupa Jadi Humanis

Intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya baru-baru ini yang berbuntut pada kerusuhan setidaknya menjadi contoh bagaimana praktek memanusiakan manusia di Indonesia nyatanya masih susah terwujud.

Nasionalisme seolah masih diukur dari sekedar gelora menjaga keutuhan secara geografis dan ideologis/konstitusional saja. Slogan “NKRI Harga Mati” dalam konteks kasus Papua menjadi saksi bahwa rasa-rasanya menjaga keutuhan geografis lebih penting ketimbang menjaga keutuhan individu-individunya. Ibarat seperti seseorang yang tetap tersenyum walau hatinya ambyar~

Gagasan nasionalisme juga tampak masih terbatas pada ajakan masyarakat untuk mengejar angan-angan atas sebuah kemenangan dan kekuasaan konkret serta upaya menebar citra prestisius di mata internasional yang, celakanya, bisa mengarah ke pandangan nasionalisme yang berlebihan atau dikenal dengan blind-nationalism.

Jika dibandingkan dengan Prancis, selama ini di Indonesia demonstrasi dan kericuhan kerap dihasilkan dari hal-hal yang mempertanyakan ke-Indonesia-an seperti berbasis agama, rasial, kesukuan, atau identitas lainnya. Sedangkan di Prancis dalam kasus Rompi Kuning (Gilets Jaunes), misalnya, demonstrasi cenderung lebih berorientasi pada koreksi kebijakan pemerintah.

Ketika banyak anak-anak sekolah di Indonesia masih sibuk jadi selebgram, bermain Tik Tok, klithih, tawuran, sebagian anak-anak sekolah di Prancis mulai sibuk berduyun-duyun ke jalan mengikuti Climate Protest. Hak-hak individu menjadi semakin sensitif untuk dibicarakan dan menjadi diskursus utama untuk diperjuangkan bersama.

Saya yakin—yakin banget malah—ketika kita tidak hanya fokus pada cara menjadi nasionalis dan tunduk pada kepentingan negara semata, maka kita akan mulai peka terhadap lingkungan sekitar, memahami sesama, bersikap kritis, dan masyarakat akan memiliki peran sebagai aktor yang produktif terhadap pemerintah.

Menjadi nasionalis seharusnya tidak bersifat deduktif; menyimpulkan diri sebagai nasionalis lalu baru menyesuaikannya bagaimana kriteria yang kira-kira pas untuk menjadi orang Indonesia. Tidak pula sebatas formalitas dengan hanya menghafalkan Pancasila, menyanyikan berbagai lagu nasional, atau meraih nilai TWK nyaris sempurna.

Sebaliknya, menjadi humanis seharusnya menjadi syarat awal yang harus dipenui terlebih dahulu. Dimulai dengan sesederhana menerima keberadaan masyarakat dengan latar belakang identitas apapun, bukan hanya menyadari bahwa ada perbedaan. Artinya membangun kultur untuk melihat individu, siapapun itu, sebagai seorang manusia seutuhnya. Iya, seutuhnya.

Perspektif inilah yang nantinya akan melunturkan stigma-stigma yang menempel pada tiap identitas. Pada akhirnya, toh kita juga akan sadar bahwa semua sama-sama manusia di manapun berada, apapun kewarganegaraannya, rasnya, sukunya, dan agamanya; bahwa kita semua sama-sama ingin dihargai, diperhatikan, dan diperlakukan sebaik mungkin.

Kita akan menjadi lebih peka, sibuk berempati terhadap sesama, dan memperjuangkan hak-hak sesama atas dasar ketidakadilan alih-alih atas pengotak-kotakan kebangsaan, suku, atau agama semata.

Keutuhan negara kemudian dimaknai sebagai kondisi ketika hubungan masyarakatnya harmonis nan syahdu—oleh karenanya utuh—bukan dipaksa untuk utuh. Budaya seperti inilah yang dengan sendirinya akan menyimpulkan karakter nasionalisme sesuai tujuan dan cita-cita negara—bila memang ada. (*)

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Terakhir diperbarui pada 22 Agustus 2019 oleh

Tags: humanisnasionalisnasionalismePancasilawawasan kebangsaan
Idham Raharfian

Idham Raharfian

ArtikelTerkait

Walau Sempat Berseteru karena Warnanya Sama, Bendera Indonesia dan Monako Beda di Banyak Aspek terminal mojok.co

Walau Sempat Berseteru karena Warnanya Sama, Bendera Indonesia dan Monako Beda di Banyak Aspek

25 Februari 2021
bung karno

Ketika Bung Karno Bangkit dari Kubur lalu Menangis Melihat Bangsanya

27 Mei 2019
definisi pancasilais sejarah hari lahir pancasila 1 juni 1945 mojok.co

Pancasilais dan Tidak Pancasilais Itu Gimana Cara Ngukurnya sih?

11 September 2020
Surat Terbuka buat para Tukang Serobot Antrean: Kalian Nggak Punya Malu Atau Nggak Punya Otak, sih?

Surat Terbuka buat para Tukang Serobot Antrean: Kalian Nggak Punya Malu Atau Nggak Punya Otak, sih?

20 November 2023
nasionalisme, apa yang sudah kamu lakukan untuk negara

Nasionalisme Tidak Melulu Upacara dan Baris-berbaris Saja

20 Juli 2019
Sudah Betul Kalista Iskandar, Pancasila bukan untuk Dihafal, tapi untuk DiamalkanSudah Betul Kalista Iskandar, Pancasila bukan untuk Dihafal, tapi untuk Diamalkan

Sudah Betul Kalista Iskandar, Pancasila bukan untuk Dihafal, tapi untuk Diamalkan

10 Maret 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

30 November 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

Rekomendasi 8 Drama Korea yang Wajib Ditonton sebelum 2025 Berakhir

2 Desember 2025
QRIS Dianggap sebagai Puncak Peradaban Kaum Mager, tapi Sukses Bikin Pedagang Kecil Bingung

Surat untuk Pedagang yang Masih Minta Biaya Admin QRIS, Bertobatlah Kalian, Cari Untung Nggak Gini-gini Amat!

5 Desember 2025
Logika Aneh di Balik Es Teh Solo yang Bikin Kaget (Unsplash)

Logika Ekonomi yang Aneh di Balik Es Teh Solo, Membuat Pendatang dari Klaten Heran Sekaligus Bahagia

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.