Hastag #HarunaOut masih trending dan menjadi omongan banyak orang hingga hari ini. Semua bermula dari podcast yang mengundang sosok anggota exco dari PSSI itu. Di tengah gonjang-ganjing PSSI, perjuangan Timnas, dan semangat korsa para rakyat Indonesia selaku fans sepak bola, muncul sebuah petuah bijak dari seorang Om Haruna Soemitro. Salah satu petuah yang blio sampaikan adalah soal proses dan hasil. Bahwa proses itu tak penting, kalau ujung-ujungnya nggak juara.
Yang penting menang, kira-kira begitu petuah elok yang blio sampaikan. Tentu banyak reaksi miring yang muncul. Banyak komentar dan tanggapan bernada negatif pada Pak Haruna Soemitro. Saya rasa masyarakat tak perlu seperti itu. Dasarnya manusia plus enam dua ini suka sekali baperan. Kita harus memahami bahwa sosok sehebat blio ini wajar saja berkomentar begitu. Blio ini adalah lelananging jagat di dunia sepak bola Indonesia, dan kita harus mempercayai kemampuan blio.
Blio adalah pusat tata surya yang memberi kehidupan pada semesta sepak bola. Sosok hebat yang pokoknya paling tahu soal sepak bola. Pemain, pelatih, suporter, peneliti, pengamat, bukanlah tandingan kehebatan blio. Begitu juga saat blio berpendapat bahwa match fixing tak perlu diberantas, tapi harus dipahami dahulu. Cerdas banget, kan?
Sek sek tak ngguyu sek, “Match fixing bukan sesuatu yang harus diberantas.” Awkwkwkwkwkwkwk.
Blio ini memang yang paling ngerti. Anggota komite eksekutif, je. Orang yang paling sat set sak Indonesia. Kalau match fixing dibilang nggak ada, ya berarti nggak ada. Para ahli sepak bola di Indonesia itu tak ada gunanya di hadapan blio. Selagi kita punya sosok sekeren blio, pendapat orang lain tak perlu kita percayai. Tapi, kita juga harus ingat, bahwa percaya itu satu hal, dan kebenaran itu hal yang lain lagi.
Saya juga menyayangkan atas apa yang terjadi dalam sanubari blio. Ekspektasi blio harus dihancurkan begitu saja. Timnas tak berhasil menjuarai AFF, dan blio kecewa. Semua perjuangan pemain dan pelatih, dianggap tak penting. Ya karena itu tadi, yang penting hasil, bukan proses. Buat orang sehebat blio, perubahan ke arah yang lebih baik itu tak berarti kalau tetap kalah. Ingat, ini soal nasionalisme dan harga diri. Dan blio yang bertanggung jawab pada marwah sepak bola Indonesia. Kemenangan itu yang paling utama, segala hal di balik itu memang tak berguna.
Sehingga, tak masalah jika faktor penunjang sepak bola tak dibangun dan diperhatikan dengan baik sejak dahulu. Buat apa bikin sarana prasarana, pendidikan atlet usia dini, kompetisi yang sehat, perlindungan hak para atlet, semua itu bukan hal penting, yang penting juara. Kalau perlu, para pemain tak usah latihan lagi, buang-buang waktu. Tak usah ada turnamen lagi, apalagi melatih bibit baru. Jika perlu, robohkan semua stadion dan bubarkan semua klub, karena semua itu adalah bagian dari proses. Harus sat set, tak usah berproses.
Yang sering kita lupa adalah, yang instan-instan pun tetap perlu proses panjang untuk disebut instan. Masak mi instan tak sekadar membalik telapak tangan. Perlu panci, air, api, dan semua itu juga perlu proses untuk menciptakannya. Bahkan, membuat mi instan juga ada prosesnya, tak sekedar jatuh dari langit.
Tapi, itu untuk manusia hina macam kita. Untuk maqom setinggi Om Haruna Soemitro, instan tanpa proses itu adalah keniscayaan.
Saya yakin, Om Haruna yang hebat ini, sudah memiliki jalan keluar untuk semua itu. Mungkin blio sudah punya serum penambah kekuatan seperti dalam film Shaolin Soccer. Tak perlu bersusah payah membangun mental, fisik, taktik, pasti Timnas langsung hebat secara instan. Bayangkan jika Evan Dimas bisa oper bola sambil terbang. Atau Witan yang mencetak gol dengan tendangan api. Apalagi kalau Asnawi bisa menggiring bola bak Steven Chow, Thailand pasti kalah lima puluh kosong. Tak usah oper-operan, Nadeo bisa bikin gol dari depan gawangnya sendiri, pokoknya serbainstan. Para atlet tak perlu melewati proses yang panjang, tinggal disuntik langsung lolos Piala Dunia. Seorang Messi dan Ronaldo pun bisa kencing di celana melihat kehebatan Timnas.
Saran saja, kalau naturalisasi pemain nggak boleh, kita bikin naturalisasi pengurus PSSI saja. Kita bisa minta Tuan Katagiri, orang yang dahulu menemukan bakat Tsubasa dan Hyuga, biar jadi pengurus PSSI yang baru. Saya takut Om Haruna capek, biar sepak bola diurus yang lain saja. Pada kenyataannya, daripada jadi pemain dan pelatih hanya dimaido, memang lebih enak jadi komite eksekutif PSSI. Ra risiko, Maszzeh…
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya