Ingin sekali rasanya saya berkomentar mengenai apa saja yang bisa sedang Jogja alami sebagai perubahan yang tidak seharusnya. Melihat apa yang sedang gonjang-ganjing saat ini. Terutama bangunan kuno yang sudah mendarah daging sebagai ikon Jogja, Tugu Pal Putih.
Namun, tenang saja. Saya tidak hendak memprotes sana-sini mengenai dana yang dipakai untuk proyek tahunan tersebut. Juga tidak akan memprotes bagaimana ikon ini seakan wajib adanya diperbaiki tiap tahunnya, mengingat masih banyak hal yang bisa dan seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah dan berguna untuk kelangsungan kehidupan Jogja.
Saya hanya akan melirik satu hal, polusi visual kabel utilitas yang menurut berbagai sumber yang saya dapat dari internet, sudah sejak lama dikeluhkan berbagai pihak di Jogja. Pun usaha dari pemerintah yang akhirnya berhasil menghalau morat-marit malang melintangnya kabel di sekitaran Tugu Pal Putih beberapa saat lalu. Sudah sepantasnya apresiasi diberikan kepada pemerintah yang dalam hal ini diwakilkan pemenang dan penggarap tender. Kabel-kabel yang mengganggu pemandangan Instagram-able dan estetika tugu kebesaran Jogja itu, akhirnya bisa dibenamkan ke dalam tanah.
Semua orang bergembira. Bukan hanya wisatawan yang semringah karena foto mereka sudah tidak ada lagi garis pemotong akibat kabel malang melintang di kanan kiri tugu. Akun-akun yang selalu memposting berbagai hal mengenai istimewanya Jogja juga tidak kalah girang. Postingan mereka mengenai hasil kerja proyek revitalisasi Tugu Pal Putih ini memberikan isyarat bahwa tugas besar telah terlaksana dengan sempurna. Mission accomplished.
Saya ikut senang dong dengan pencapaian ini, awalnya. Lalu saya mencermati apa yang terjadi sebenarnya. Apa yang seharusnya dilakukan sebagai ekses dari sesuatu hal tidak baik yang bertahan selama puluhan tahun lalu tercerabut diganti pemandangan baru yang lebih baik.
Jadi begini, setiap bentuk pembangunan berbagai kawasan didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ada yang tingkatannya nasional, provinsi, sampai yang tingkatan paling rendah terdapat di kelurahan-kelurahan dan desa-desa. Intinya, semua kerangka pembangunan yang merujuk pada visi pembangunan skala nasional itu ujung-ujungnya dikembalikan kepada masing-masing daerah. Terlihat jelas sekali bahwa otonomi menjadi motor penggerak pembangunan di wilayah-wilayah terendah di bawah tingkatan nasional dan provinsi. Maka sekiranya tanggung jawab juga ada di pundak para pemangku kebijakan di tingkat tersebut.
Kebijakan RTRW skala kota dan kabupaten inilah sebenarnya yang jadi acuan. Maka, ketika terjadi silang sengkarut terkait kabel utilitas di sekitaran Tugu Pal Putih dan atau lokasi lain di Jogja sebelum kemudian ditertibkan, sudah sepantasnya kita menelusuri siapa yang memulai adanya proyek besar yang menyebabkan sengkarut kabel terjadi di Tugu Pal Putih. Sudah seharusnya kita menaruh curiga kepada pemda/pemkot yang sejak bertahun-tahun lalu seperti tidak punya kuasa untuk penertiban itu. Beda jika memang mereka justru yang punya andil terciptanya kekacauan kabel-kabel itu. Eh.
Namun, ada satu hal lain yang menggerogoti kepala saya sejak tahu bahwa Tugu Pal Putih sudah bersih dari kabel. Saya bertanya satu hal dalam hati, apa iya, pembersihan area Tugu Pal Putih dari kabel-kabel itu adalah hal yang benar dilakukan? Mengingat Jogja ini berdiri atas sebuah keistimewaan yang no debat. Jangan-jangan, pembersihan kabel-kabel di sekitaran tugu itu justru akan perlahan menghilangkan status Jogja sebagai kota yang istimewa?Atau jangan-jangan malah akan menghilangkan keberadaan wisatawan yang dibuka lagi akses masuknya sejak beberapa bulan yang lalu, ramenya nggak karu-karuan, dan tetap tidak ada, minimal lockdown lokal melihat kasus positif Covid-19 makin menjadi?
Saya berpikir, jangan-jangan sengkarut kabel utilitas yang membelit hampir semua kawasan di Jogja ini sebenarnya adalah cita-cita luhur dari para pemangku kebijakan. Tidak sadarkah kita bahwa jangan-jangan kita justru salah dengan mencoba menghilangkan kabel-kabel di sekitaran Tugu dan tempat-tempat lain dan malah menghilangkan estetika yang telah terjalin di kota Jogja sejak puluhan tahun yang lalu.
Kita juga bisa melihatnya dari perspektif Jogja sebagai kota seni dan telah melahirkan berbagai tokoh besar dalam dunia seni. Mereka pasti mengamini bahwa ketidakteraturan juga merupakan sesuatu yang bersifat seni. Dan itu sudah seni tingkat tinggi. Seni yang sangat abstrak. Tentu saja estetikanya sudah sundul langit tanpa harus dibikin begini atau begitu lagi. Termasuk tidak butuh proyek-proyekan revitalisasi, di Tugu Pal Putih dan di tempat-tempat lain di penjuru Jogja.
Saya nanti mungkin akan sangat merindukan Tugu yang penuh dengan kabel sana-sini. Mengingat itu adalah sesuatu yang ada sejak pertama kali berkunjung ke kota ini bertahun-tahun lalu. Hal yang paling membekas dalam ingatan saya adalah kesemrawutan kabel di seantero kota pelajar yang istimewanya tiada tanding tiada banding ini. Bahkan saya menyimpulkan bahwa keistimewaan Jogja justru berangkat dari silang sengkarut kabel di hampir semua wilayah di kota Jogja.
Maka dari itu, ada baiknya, kesemrawutan kabel yang melilit Jogja ini dibiarkan saja.
BACA JUGA Tugu Jogja: Destinasi Wisata serta Destinasi Proyek Tahunan yang Minim Kreativitas dan tulisan Taufik lainnya.