“Coba cek depan kantor.rumah, jangan-jangan ada tukang bakso yang bawa HT!” Omongan dan tulisan seperti ini sering sekali ditemui di linimasa akhir-akhir ini. Guyonan yang mengisyaratkan sebuah bahaya (sebenarnya) kadang menimpa orang-orang yang mempunyai sikap kritis, atau mereka yang membeberkan fakta-fakta tertentu. Guyonan seperti ini paling sering menimpa wartawan, kantor berita, atau pegiat-pegiat keadilan yang sedang menuliskan/mencuitkan sebuah fakta yang menyerang pihak penguasa. Biasanya sih seperti itu, dan masih banyak dijumpai di linimasa media sosial.
Tirto, Tempo, dan Indonesia Leaks adalah “korban” paling baru yang menerima guyonan-guyonan seperti ini. Dalam rilisnya, Tirto dan Tempo saling bekerja sama dengan Indonesia Leaks dalam mengungkap kasus “Buku Merah” yang pernah mencuat tahun 2017 tentang kasus korupsi. Ada benang merah antara kasus ini dengan kasus penyiraman Novel Baswedan yang juga tak kunjung terungkap. Tirto, Tempo, dan Indonesia Leaks merilis sebuah rekaman CCTV detik-detik perusakan “Buku Merah” yang dilakukan oknum kepolisian di KPK. Perusakan ini (penghilangan barang bukti) terkait dugaan adanya nama Kapolri Tito Karnavian dalam jeratan kasus korupsi ini.
Kabar ini langsung menjadi perhatian warganet. Banyak sekali yang bersimpati, memberi semangat, dan berdoa agar Tirto, Tempo, dan Indonesia Leaks baik-baik saja dan senantiasa dilindungi. Ya wajar lah, karena ini menyangkut nama besar di kepolisian, maka ancaman bahayanya juga nggak main-main. Tapi dari sekian banyak dukungan semangat warganet, masih saja ada yang bercanda soal intel yang menyamar sebagai pedagang.
“Udah ada tukang cilok yang bawa HT belum di depan kantor?” Guyonan model seperti ini masih bisa ditemui jika kita buka kolom komentar di semua media sosial Tempo atau Tirto. Ya mungkin niatnya bercanda atau gimana, tapi yang jelas guyonan seperti ini sama sekali nggak lucu!
Guyonan ini memang awalnya merupakan sebuah sindiran terhadap pengawasan media di era orde baru. Katanya, di era orde baru nggak jarang ada beberapa pedagang mencurigakan yang wara-wiri di sekitaran kantor berita. Usut punya usut, mereka ini ternyata adalah intel yang menyamar untuk mengawasi kantor berita tersebut. Biasanya ini terjadi setelah kantor berita tersebut merilis sebuah berita yang kurang menyenangkan bagi penguasa. Saat ini, guyonan ini ternyata masih dipakai dan banyak sekali yang sok asik dengan guyonan ini. Padahal sama sekali nggak lucu.
Tirto dan Tempo bukan sekali ini mendapat guyonan seperti itu. Kalau Tempo ya sudah makan asam garam lah dalam dunia jurnalistik, lha wong mereka pernah dibredel dulu. Tirto yang cenderung masih muda, sering sekali mendapat guyonan seperti ini. Ketika Tirto merilis beberapa pengakuan pelajar massa aksi September lalu, yang mengenai kebrutalan aparat terhadap pelajar massa aksi, guyonan-guyonan seperti ini berceceran di kolom komentar Tirto. Saya sih nggak nemu aja di mana lucunya guyonan seperti ini.
Saya juga nggak ngerti apa yang ada di kepala orang-orang yang masih saja bercanda seperti ini. Banyak sekali wartawan dan pegiat-pegiat keadilan yang rela menerobos garis bahaya hanya untuk menyampaikan dan memaparkan kebenaran. Ketika mereka seharusnya mendapat dukungan moril dan sebagainya, eh ini malah dapat guyonan seperti itu. Bukannya tertawa, yang ada malah semakin takut dan runtuh mentalnya.
Beberapa orang yang bekerja di media/kantor berita akhirnya angkat bicara mengenai guyonan ini. Mereka sepakat untuk melawan guyonan ini dan mengatakan kalau guyonan seperti ini nggak lucu. Bahkan cenderung membahayakan keselamatan wartawan, pegiat keadlian, dan kantor berita itu sendiri. Oke lah kalau niat awalnya bercanda, tapi kalau ini benar-benar terjadi, benar-benar ada intel yang menyamar dan membahayakan wartawan gimana? Gimana pertanggungjawabannya?
Ini menjadi penting karena beberapa pihak seperti wartawan atau pegiat-pegiat keadilan ini rawan sekali mengalami kriminalisasi. Wartawan juga nggak jarang mendapat perlakuan nggak mengenakkan ketika meliput berita, apalagi urusannya dengan aparat. Mulaiu dari dipukul, sampai dirampas alat kerjanya. Pegiat keadilan juga begitu. Nggak sedikit dari mereka yang akhirnya dipolisikan karena bersuara. Mereka-mereka ini seperti berjalan di batas hidup dan mati, demi sebuah keadilan. Jadi guyonan-guyonan tentang intel yang menyamar itu nggak lucu dan nggak asik. (*)
BACA JUGA Mari Periksa Maksud Tweet Budiman Sudjatmiko yang Bandingkan Awkarin dan Tri Mumpuni atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.