Keluhan mengenai minimnya penerangan jalan di Gunungkidul akhir-akhir ini semakin santer terdengar di media sosial. Rintihan itu nggak hanya datang dari warga lokal, tetapi juga para wisatawan luar daerah yang harus pulang malam setelah menikmati matahari tenggelam di pantai selatan.
Sebagai orang yang buruh di Kota Jogja dan sering pulang malam, saya juga resah dengan kondisi ini. Saya tahu persis situasi ketika berkendara di jalan gelap gulita. Dengan diliputi rasa waswas dan takut, para pengendara biasanya memacu kendaraannya jauh lebih cepat. Kondisi ini tentu nggak hanya bikin suasana hati nggak nyaman, tapi juga memperbesar risiko kecelakaan.
Laporan dari warga sekitar sebenarnya cukup sering dilayangkan. Tapi, pihak Dishub dan Pemkab kompak selalu berdalih minim anggaran. Padahal pendapatan daerah tahun 2023 naik lho, tapi kenapa, ya, setiap tahun alasannya itu-itu saja? Serius nanya, ini beneran minim anggaran atau memang mager saja mengurus kebutuhan warga, ya?
Daftar Isi
Pengendara bertaruh nyawa di malam hari
Gunungkidul sudah genap berusia 193 tahun, tapi masalah penerangan jalan umum (PJU) sampai sekarang tak kunjung rampung. Banyak sekali jalur vital di Gunungkidul kalau malam hari benar-benar gelap, segelap hati Pemkab yang terus membiarkan masalah ini berlarut-larut.
Menurut Dishub yang saya kutip dari Kumparan, saat ini wilayah Gunungkidul hanya memiliki sekitar 2.000 unit penerangan jalan. Padahal menurutnya, daerah ini membutuhkan 10.000 unit di ruas jalan kabupaten. Artinya, alat penerangan jalan di Gunungkidul saat ini kurang dari 50 persen.
Salah satu jalur utama Gunungkidul-Kota Jogja yang sampai sekarang tetap dibiarkan gelap-gulita di malam hari adalah kawasan Hutan Bunder Tahura, Playen. Nggak hanya minim penerangan, di kawasan ini juga banyak ditemukan kabel-kabel semrawut yang nyaris menyentuh tanah.
Semua orang tahu, dengan tidak adanya penerangan jalan, tentu sangat membahayakan pengendara di malam hari. Sebab, di tengah kondisi gelap, biasanya para pengendara akan memacu kendaraannya lebih cepat, sehingga berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan.
Pertanyaannya, kenapa hal-hal dasar semacam ini sampai sekarang belum juga diurus? Negara lain sudah mengirimkan astronot terbang ke Mars lho, Pak, mosok Pemkab Gunungkidul menyediakan lampu jalan saja nggak becus. Ngene kok jare mau bikin resort and beach club standar internasional. Hesh, ra mashok!
Pembangunan hanya terpusat di kota
Selain Hutan Bunder, ada beberapa jalan yang sering dikeluhkan pengendara Gunungkidul. Mulai dari kawasan Pathuk, Jalan Semanu-Wonosari, sepanjang JJLS Rongkop-Girsubo, Jalan Ngawen-Klaten, hingga jalur wisata pantai selatan. Padahal kita tahu beberapa jalur tersebut menjadi akses utama wisatawan dan warga Gunungkidul saat hendak keluar kota.
Di saat wilayah pinggiran dan perbatasan sangat membutuhkan PJU, Pemkab dan pihak-pihak terkait justru memprioritaskan pembangunan di area Kota Wonosari saja. Padahal kalau dilihat-lihat, ibu kota kabupaten ini secara fasilitas sudah (lumayan) memadai dibanding kecamatan lain di Bumi Handayani. Ini bisa dilihat dari pembangunan nggak guna kayak Taman Tobong Gamping dan revitalisasi Alun-Alun Wonosari yang penuh gemerlap cahaya lampu.
Pembangunan yang hanya terpusat di kota inilah yang acap dikeluhkan oleh warga pelosok Gunungkidul. Nggak hanya soal penerangan jalan, beberapa fasilitas umum seperti layanan kesehatan dan pendidikan yang mumpuni juga hanya ada di Kota Wonosari. Makanya anggaran untuk memperbaiki sarana-prasarana hanya terserap di pusat dan menyebabkan pembangunan, khususnya penerangan jalan, kurang merata.
Pemkab Gunungkidul nggak paham skala prioritas
Saya rasa Pemkab Gunungkidul kurang peka dan nggak paham dengan prioritas. Alih-alih memperbaiki alat penerangan jalan umum di jalur-jalur krusial yang jelas amat sangat dibutuhkan warga, malah sibuk mengembangkan proyek-proyek mubazir kayak revitalisasi alun-alun dan taman kota dengan tujuan agar menarik wisatawan luar daerah dan persiapan menuju wisata internasional.
Melihat kondisi jalan di Gunungkidul yang masih peteng ndedet seperti sekarang, rasa-rasanya masih terlalu dini jika Pemkab bicara soal meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui wisata berbasis internasional. Yah, gimana mau sejahtera kalau buruh pulang malam seperti saya harus bertaruh nyawa karena minim penerangan jalan?
Jadi, sebelum bicara ndakik-ndakik perkara pengembangan wisata dan taman-taman ikonik itu, bukankah lebih baik memperbaiki alat penerangan jalan umum terlebih dahulu? Katanya keselamatan dan kenyamanan warga harus (selalu) diutamakan, kenapa hal-hal dasar kayak gini justru terabaikan?
Ironis memang. Di tengah maraknya pembangunan hotel-hotel di Gunungkidul yang penuh gemerlap cahaya lampu, warga harus bertaruh nyawa ketika berkendara di malam hari.
Pada akhirnya, lagi dan lagi warga Gunungkidul disuruh mandiri dengan cara iuran membuat lampu penerangan jalan di depan rumah. Kalau sudah begini, apa sebenarnya keuntungan (((pesta demokrasi))) yang diadakan lima tahun sekali itu? Mosok iya cuma keributan?
Sungguh melelahkan.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hati-hati Beli Rumah di Gunungkidul, Banyak Developer Bodong!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.