Pemuda di Pekalongan itu emang unik. Alih-alih nongkrong di alun-alun, mereka milih nongkrong di gerbang tol Kota Pekalongan. Gerbang tol, Lur!
Alun-alun menjadi landmark utama setiap kota ataupun kabupaten di Indonesia. Kalau pagi, alun-alun biasanya ramai dengan mereka yang sedang jogging ataupun cari sarapan. Ketika siang, alun-alun mungkin sedikit lengang. Tapi begitu sore menjelang, alun-alun kembali ramai jadi tempat nongkrong tua dan muda.
Di Kota Tegal, misalnya. Sejak sore hingga malam hari, alun-alunnya tak pernah sepi. Apalagi kalau malam minggu. Beuh, ramenya nggak umum. Itu alun-alun kondisi biasa, ya. Maksud saya, lagi nggak ada event apa pun. Kalau ada event, jangan ditanya ramainya kaya apa. Sesek burek, Lur.
Saya akhirnya mikir kalau alun-alun di kota lain pun akan demikian. Tapi ternyata saya salah besar. Saat ke Pekalongan beberapa waktu lalu, saya menemukan fenomena yang cukup unik. Anak-anak muda Pekalongan bukan nongkrong di alun-alun, tapi di jalan masuk pintu masuk tol. Iya, jalan masuk pintu tol!
Keunikan gerbang tol kota Pekalongan
Bagi kalian yang belum pernah melintas di gerbang tol kota Pekalongan, mungkin agak susah membayangkan konsep nongkrong di jalan masuk pintu tol. Kok bisa? Bukannya jalan masuk pintu tol ini hanya bisa dilewati oleh mobil yang mau melaju ke jalan tol? Tapi, semua itu tidak mustahil ketika yang kita bicarakan adalah jalan pintu masuk tol kota Pekalongan.
Jalan pintu masuk tol Kota Pekalongan memang unik. Pertama, soal jarak antara gerbang tol dan jalan utamanya yang cukup jauh, yaitu sekitar 2 KM, bahkan mungkin 3 KM. Padahal, biasanya jalan menuju gerbang tol tidak sepanjang itu.
Keunikan lainnya, sepanjang dua KM itu, jalanan menuju gerbang tol ini menyatu dengan jalan desa. Jadi, di kanan kiri jalan tol yang mulus itu masih ada jalur kecil, sekitar 1,5 meter untuk lewat motor warga. Nah, di samping jalur motor itu, ada trotoar. Trotoar inilah yang dimanfaatkan pedagang untuk berjualan kopi dan aneka camilan.
Ngopi sambil menikmati pemandangan
Menariknya, hampir semua pedagang sudah menyiapkan kursi-kursi kecil untuk duduk pembeli. Kursi tersebut ditata menghadap ke arah sawah. Yes, betul, sawah. Itulah keunikan lain dari jalan masuk menuju gerbang tol Kota Pekalongan. Jadi, anak-anak muda yang nongkrong di sana bisa ngopi sambil memandangi hamparan sawah yang luas dan langit yang berubah warna pelan-pelan.
Kebetulan, saya keluar dari gerbang tol Kota Pekalongan sekitar jam setengah 6. Dan yah, saya melihat banyak sekali anak muda yang sedang nongkrong di sana. Ada yang datang berdua, ada yang nongkrong rame-rame. Beberapa kelihatan lagi asik ngerokok, yang lain ada yang sibuk foto-foto. Latar langit sore itu memang indah. Cocok banget untuk foto-foto, cosplay jadi anak senja.
Alun-alun Pekalongan kurang cocok untuk nongkrong
Ramainya anak muda yang nongkrong di jalan masuk menuju gerbang tol ini ternyata tidak terjadi di alun-alunnya. Ketika saya mampir ke alun-alun Kota Pekalongan, sejauh mata memandang jarang ada anak muda tongkrongan. Kebanyakan yang datang adalah pasangan suami istri dengan anaknya. Mereka sedang cari makan malam sambil mencoba beberapa arena permainan yang ada di area alun-alun.
Beruntung, tak butuh waktu lama saya langsung dapat jawaban kenapa alun-alun kota Pekalongan ini kurang cocok untuk nongkrong. Jawabannya simpel saja: Pengamennya banyak! Buset, saya baru ‘grok’ pesan pizza di abang-abang gerobakan, ehh, pizzanya belum matang, sudah disamperin 3 pengamen. Waini, pantas saja cah enoman Pekalongan malas nongkrong di alun-alun.
Masalah klasik tiap alun-alun, tapi…
Sebetulnya, pengamen yang beroperasi di alun-alun itu bukan hal yang baru. Bisa dipastikan di manapun alun-alunnya, pasti ada pengamen. Di alun-alun kota Tegal juga gitu, kok. Banyak pengamen. Dengan kata lain, hal tersebut masalah klasik. Tapi, pengamen di alun-alun Kota Pekalongan ini cenderung… apa, ya? Berisik.
Iya, saya tahu pengamen itu ya berisik. Kan mereka nyanyi sambil bawa alat musik. Kalau diem-dieman namanya bukan pengamen, tapi Limbad.
Maksud saya soal berisik ini adalah, sesama pengamen di alun-alun Kota Pekalongan ini seolah banter-banteran, alias berlomba-lomba keras-kerasan suara. Jadi, dari POV orang yang lagi duduk di alun-alun, mereka tuh bisa mendengar suara pengamen dari sisi kanan, kiri, depan dan belakang. Asli, berisik banget. Bikin nggak betah dan pengen buru-buru cabut.
Butuh ruang tenang
Pada akhirnya, jalan menuju gerbang tol memang bukan tempat yang ideal untuk nongkrong. Tapi setidaknya, di sana seseorang bisa menemukan ketenangan. Ketenangan yang lahir dari secangkir kopi, hembusan angin sore dan pandangan yang luas karena melihat hamparan sawah dan langit senja.
Hidup ini sudah terlalu ramai. Ramai di kantor, di jalan, di rumah, bahkan di kepala sendiri. Jadi kalau di penghujung hari masih harus berhadapan dengan keramaian macam pengamen di alun-alun Kota Pekalongan, ya ampun… mending sekalian aja lembur di kantor nggak sih?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Andai Pekalongan Punya Banyak Tempat Nongkrong Seperti Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















