Mengadakan festival nggak masuk akal sedang jadi tren di kalangan pemerintah daerah. Mau pemkot, pemkab, sampai pemprov sedang berebut menelurkan ide ra mashok. Salah satunya adalah ide festival tawuran. Saya pikir, ini ide dari Jogja untuk mengatasi klitih. Tapi, kok malah Pemkot Jakarta Selatan (Jaksel) yang membuat festival yang idenya patah bawah seperti ini?
Secara singkat, Festival Tawuran ini wacana dari Wali Kota Jaksel Munjirin dan PLT Wakil Wali Kota Ali Murtadho. “Kemarin muncul wacana nih, Pak Wali Kota coba kemas tawuran itu bisa menjadi destinasi wisata, sehingga yang mau kami sentuh kalbunya masyarakat. Intinya tawuran itu sudah tidak terjadi lagi,” kata Ali saat dikonfirmasi, seperti yang dilansir kompas.com
Perhelatan yang dikemas sebagai festival budaya ini diharapkan bisa mengalihkan tawuran sebagai kreativitas. Ali sendiri mengatakan akan ada acara mural dan saling lempar cat. Bahkan ada wacana saling lempar tomat sebagai pengganti batu saat festival tawuran. Harapannya adalah tawuran bisa menjadi destinasi wisata baru.
Kali ini saya tidak bisa mengkritik seperti biasa. Harus buka kamus bahasa Jaksel agar relate dengan cara komunikasi warga dan (mungkin) pemerintah setempat.
Honestly, ide ini adalah bukti Pemkot Jaksel salah paham terhadap tawuran. Just like pemerintah Jogja saat dihadapkan pada klitih. Somehow Pemkot Jaksel bisa memandang tawuran hanyalah kegabutan pemuda semata. Mereka seperti gagal memetakan akar tawuran, which is tidak relevan dengan solusi yang ditawarkan dengan festival tawuran ini.
If we look closely, tawuran di Jaksel ini melibatkan pelajar dan pemuda dari kampung berbeda. Pelaku dan provokator menggunakan isu sentimen antarkampung. Entah saling ejek, saling senggol saat ada event musik, atau dendam masa lalu. Penyerangan kampung lawan sering menjadi awal dari tawuran di Jaksel. IMHO, sumber masalah tawuran Jaksel bisa dilihat dari karakter tersebut.
Ada mental Chauvinis dari tawuran ini. Ada semangat untuk menjaga pride kampung yang dibawa pelaku tawuran. Apa pun sumber masalah yang mendasari, somehow para pemuda ini have a reason untuk baku hantam. Karena yang dibawa mereka adalah harga diri kampung dan mereka sendiri.
Mayoritas (atau hampir semua) pelaku adalah pemuda. So kita bisa melihat ada kultur toxic masculinity yang menjadi energi saat tawuran. Mental “gue cowok, gue nggak boleh jiper kalau ditantang” turn into keberanian untuk saling sabet senjata tajam. Feeling guilty ketika dipandang kurang laki membuat para pelaku rela bermain nyawa.
Dari alasan ini, somehow Pemkot Jaksel menelurkan ide festival tawuran. Festival macam ini jelas tidak akan berhasil menekan tawuran. Para pelaku akan memandang remeh festival yang idenya saja not relevant with them. Mental Chauvinis, overproud, dan toxic masculinity bertentangan dengan event yang membuat mereka terlihat konyol dan cupu.
Even festival tawuran bisa jadi sumber tawuran lain. Karena pride kampung dan personal issue bisa terlukai dalam rangkaian acara. Saling ejek saat saling lempar cat bisa berakhir baku hantam. Saling senggol saat menghadiri festival bisa menimbulkan provokasi. Just take a look on berbagai dangdutan untuk memahami potensi bahaya dari festival ini.
At last, festival tawuran tidak menjawab akar masalah pemuda ini. Chauvinisme tidak selesai dengan acara budaya. Overproud dengan golongan tidak pudar dengan mural. Toxic masculinity tidak usai dengan saling lempar cat atau tomat. Jika model festival seperti ini bisa menjawab, sudah dari dulu Pemkot London mengadakan festival tawuran untuk hooligans!
Maybe ketika melihat wacana dari pemerintah ini, para pelaku tawuran hanya menjawab, “Lo itu nggak diajak!”
Actually contoh nyata menyelesaikan gesekan dan tawuran seperti ini sudah di depan mata: Perdamaian antarkelompok suporter pasca Tragedi Kanjuruhan. Common issue dan kesadaran kolektif adalah kekuatan untuk mereduksi konflik. Tidak ada agenda kebudayaan dan destinasi wisata. Semua pure dari kesadaran bahwa ada common issue yang perlu dijawab dengan persatuan dan perdamaian ini. Ingat ya, it takes two to tango. Entah damai atau ribut.
Tapi, tidak ada salahnya mengapresiasi festival tawuran ini. Idenya out of the box, bahkan di luar masalah tawuran sebenarnya. Tujuannya mulia, meskipun offside. Dan potensi ekonomi yang ditawarkan juga tidak ada salahnya. Tapi, jika festival ini bisa meredakan tawuran yang tertanam belasan bahkan puluhan tahun, jujurly saya pesimis!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Klitih Adalah Soal Kesenangan, Orang Tua Membosankan Mana Paham