Ketika mendengar kata debt collector, apa yang kalian pikirkan? Mungkin kalian akan membayangkan pria dengan tubuh kekar, wajah sangar, ucapan tegas, dan mungkin ditambah pakaian serba gelap. Selain itu, debt collector sangat erat dengan kesan galak. Itulah gambaran sebagian besar orang mengenai debt collector, termasuk saya sendiri setidaknya sampai beberapa bulan yang lalu sebelum saya terjun langsung dalam profesi dan dunia ini.
Saat itu saya memang sedang kebingungan mencari pekerjaan baru. Saya mengirimkan beberapa lamaran kerja ke berbagai perusahaan dengan berbagai posisi, kecuali posisi collector. Padahal waktu itu cukup banyak lowongan kerja untuk posisi tersebut, namun tak satu pun saya lamar. Bukan karena pilih-pilih, tapi karena saya sadar diri. Postur tubuh saya kurus, muka tidak sangar bahkan cenderung terlihat cupu, dan tidak bisa bersikap galak. Bagaimana mungkin orang seperti saya menjadi debt collector? Kalau saya daftar, mungkin saya akan ditertawakan saat interview. Kalaupun diterima, mungkin saya akan ditertawakan saat nagih.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Suatu hari saya dihubungi oleh supervisor dari sebuah perusahaan pembiayaan (orang biasa menyebutnya leasing), yang tempo hari pernah saya kirimkan lamaran kerja untuk posisi marketing. Saya diberi tahu kalau posisi marketing sudah penuh, namun masih dibutuhkan satu orang untuk tim collection. Saya ditawari untuk mengisi posisi tersebut dan datang untuk wawancara kerja. Setelah menimbang-nimbang, saya menerima tawaran tersebut daripada nganggur.
Saya akhirnya diterima sebagai staff remedial di perusahaan tersebut. Bagi yang belum tahu, remedial merupakan tim collector yang bertugas menangani nasabah yang keterlambatan pembayarannya lebih dari empat bulan. Intinya, kami adalah debt collector terakhir sebelum nasabah “dibuang” oleh perusahaan.
Edan, saya yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi debt collector justru ditugasi melakukan penagihan kepada nasabah yang sudah gagal ditagih oleh empat debt collector sebelumnya!
Tapi, mau bagaimana lagi, cari kerjaan susah, Bos!
Oleh karena saya belum berpengalaman, saya dipersilahkan untuk tandem dengan senior. Pada masa tandem ini saya mengikuti kegiatan senior saya ini selama bekerja, mulai dari di kantor hingga saat melakukan penagihan. Dari proses tandem inilah saya belajar banyak mengenai dunia penagihan. Tidak perlu bentak-bentak apalagi marah-marah. Cukup bicara sopan dengan nasabah, buat janji bayar, lalu ambil tagihannya pada waktu yang sudah dijanjikan. Akhirnya, saya siap menjadi debt collector profesional!
Tapi, ternyata, menagih tak semudah yang dilihat ketika tandem. Saat tiba waktu waktu untuk menagih sendiri, banyak hal yang sama sekali berbeda dan tak terbayangkan. Beberapa kendala yang saya alami saat bekerja, saya kira juga diakibatkan oleh diri saya yang, tidak sangar, dan tidak galak.
Ketika saya melakukan penagihan, seharusnya orang yang bersangkutan takut atau paling tidak risih, lalu berusaha untuk membayar. Namun, sering saya temui nasabah yang santai-santai saja. Ditagih masih bisa senyum-senyum, bahkan bercanda sama tetangganya. Disuruh bayar gak mau. Dibilangin cuma iya-iya aja. Wah, orang ini nyepelein saya! Udah nggak bisa sopan nih. Akhirnya saya galakin, eh dianya lebih galak! Nasib orang cupu, coba kalau tampang saya sangar, pasti dia gak berani.
Itu masih mending, meskipun tidak ada hasil, orang tersebut masih mau berbicara dengan saya. Beberapa kali saya kunjungan ke rumah nasabah, baru ngomong satu dua kalimat, orangnya pergi begitu saja. Lah kan saya jadi bingung, ditunggu nggak tau sampai kapan, kalo pergi gimana nanti laporan sama atasan.
Kedua nasabah tersebut masih memiliki sisi positif, mengakui punya angsuran yang belum lunas. Tipe nasabah ketiga ini sungguh lebih menyebalkan, pantasnya disomasi saja. Nasabah tipe ini tidak mengakui ada kredit atas namanya yang belum dilunasi. Berbagai macam alasan mereka gunakan, yang paling sering adalah mengaku sudah bayar angsuran sama kolektor yang lain. Alasan seperti ini sangat membahayakan solidaritas sesama kolektor. Jika terkecoh, sesama kolektor bisa bertengkar dan saling tuduh. Makanya ada pesan buat saya: jangan mudah percaya sama nasabah.
Dari kesekian macam nasabah menyebalkan, yang satu ini menurut saya paling paling menyebalkan. Nasabah cengeng. Nasabah tipe ini kalau ditagih bukannya bayar, malah curhat, lalu nangis. Kalau sudah begini, sudah susah untuk membuat nasabah ini bayar. Paling saya langsung pamit.
Eh baru sampai halaman rumah, saya dengar dia ketawa. Sepandai-pandai collector menagih, lebih pandai nasabah bertipu daya.
BACA JUGA Penjelasan Tatakan Mangkuk Dawet Jabung Ponorogo Tak Boleh Dipakai Pembeli