Sebagai seorang perantau, hampir setiap akhir pekan saya pulang ke rumah di Desa Dharma Camplong, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura. Harusnya, momen pulang kampung itu selalu menyenangkan karena bisa bertemu keluarga. Tapi jujur saja, belakangan rasa senang itu bercampur kesal. Kenapa? Karena kondisi desa saya rasanya begitu-begitu saja, tidak ada perubahan yang berarti.
Padahal tahun 2025 ini anggaran dana Desa Dharma Camplong sebesar Rp1,3 miliar. Angka yang tidak kecil. Tapi kenyataannya, pembangunan hampir tidak terlihat. Bahkan untuk jalan saja, sepertinya satu sentimeter pun belum ada yang diperbaiki.
Jalan desa yang rusak membuat perjalanan pulang jadi penderitaan tersendiri. Motor lebih cepat rusak, badan pegal-pegal karena harus melewati jalan yang penuh lubang. Kadang saya juga merasa malu saat mengajak teman ke rumah. Komentar yang sering saya dengar, “Kok jalan ke rumahmu parah banget, ya?” Alhasil mereka jadi ogah main lagi.
Ironisnya, masalah jalan hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah. Kalau mau jujur, ada setidaknya enam dosa besar pemerintah Desa Dharma Camplong Sampang Madura yang sampai hari ini membuat warga hanya bisa mengelus dada.
#1 Jalan rusak di Desa Dharma Camplong Sampang Madura tak kunjung diperbaiki
Jalan adalah nadi ekonomi desa. Petani, pedagang, anak sekolah, semua butuh akses yang baik. Tapi kondisi jalan di Desa Dharma Camplong jauh dari layak. Lubang di mana-mana, sebagian bahkan sudah seperti kubangan. Padahal dana desa bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Kalau jalan saja diabaikan, bagaimana mungkin desa bisa maju?
#2 Balai Desa Dharma Camplong mangkrak, jadi semak belukar
Desa Dharma Camplong di Sampang Madura punya balai desa. Tetapi ironisnya tak pernah difungsikan. Akhirnya bangunannya perlahan rusak, cat mengelupas, bahkan ditumbuhi tanaman liar.
Padahal menurut aturan Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, aset desa harus dijaga, digunakan, dan dirawat untuk kepentingan pelayanan publik. Balai desa adalah pusat kegiatan warga—musyawarah, pelayanan administrasi, kegiatan sosial. Tapi kalau dibiarkan mangkrak, bukankah ini bentuk pemborosan dan pengabaian?
#3 Transparansi dana desa yang samar dan intimidatif
Papan informasi APBDes di Desa Dharma Camplong Sampang Madura jarang atau bahkan hampir tidak pernah ditempel di tempat-tempat yang bisa dibaca oleh masyarakat desa. Kalau transparansi saja masih samar begini bagaimana bisa realisasi di lapangan sesuai?
Lebih parah lagi, masyarakat yang kritis bertanya justru dianggap musuh. Ada yang bahkan mendapat intimidasi. Ini jelas melanggar semangat UU Desa No. 6 Tahun 2014, yang menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Dana desa itu uang rakyat, bukan milik pribadi perangkat.
#4 Bantuan sosial di Desa Dharma Camplong tidak merata
Di Dharma Camplong, masih banyak warga miskin yang luput dari bantuan. Ironisnya, justru ada warga yang lebih mampu mendapat jatah.
Pola distribusi semacam ini menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi jika ada dugaan bantuan dipakai sebagai “alat politik” untuk mendekati kelompok tertentu. Padahal inti dari bantuan sosial adalah keadilan, bahwa yang lemah harus lebih dulu ditopang.
#5 Pungli dalam pelayanan publik
Mengurus KTP, surat tanah, atau dokumen lain sering tidak lepas dari praktik “uang pelicin”. Ada semacam tarif tidak resmi: bayar sekian, urusan cepat beres. Kalau tidak, proses bisa berlarut-larut. Seolah-olah Desa Dharma Camplong Sampang Madura ini menjalankan prinsip “siapa bayar, dia yang dilayani.” Padahal kepala desa dan perangkat seharusnya melayani rakyat, bukan membebani mereka.
#6 Gaya hidup kontras: rakyat susah, kepala desa mewah
Yang paling menusuk hati adalah gaya hidup kepala desa dan perangkatnya yang tampak semakin makmur. Ada yang membangun rumah baru, membeli mobil, atau membeli barang-barang mewah lain. Pertanyaan wajar muncul: dari mana semua itu? Apalagi kalau dibandingkan dengan gaji kepala desa.
Menurut aturan, gaji kepala desa adalah Rp2,4 juta per bulan (setara dengan 120% gaji PNS golongan II/a). Dengan gaji sebesar itu, mustahil rasanya bisa hidup mewah tanpa tambahan “pendapatan” lain.
Enam dosa ini bukan sekadar cerita bisik-bisik warung kopi, tapi realitas yang warga rasakan setiap hari. Dana desa Rp1,3 miliar seharusnya jadi berkah, tapi di tangan yang salah justru jadi sumber kekecewaan. Jalan rusak, balai desa mangkrak, transparansi minim, bantuan sosial tidak adil, pungli merajalela, sementara gaya hidup aparat desa semakin mentereng.
Sebagai warga, saya hanya bisa berharap ada perubahan nyata. Desa Dharma Camplong di Sampang Madura tidak butuh jargon, tidak butuh pencitraan. Yang dibutuhkan adalah pelayanan yang jujur, pembangunan yang nyata, dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Kalau tidak, maka dana desa sebesar apa pun hanya akan jadi angka di atas kertas, sementara warga tetap hidup dalam keterbelakangan.
Penulis: Aliful Muhlis
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















