Saat ini musimnya batas-batasan, ya? Semuanya serba dibatasin gitu. Sudahnya menyoal sensor di TV oleh KPI yang patut diacungi jempol yang katanya komisi tersebut juga mau jadi wasit di Netflix. Sudahnya juga pembatasan internet di Papua kemarin.
Baru-baru ini, info update yang saya baca dari Tirto.id menyoal mundurnya PB Djarum sebagai pelaksana audisi seolah menjadi pelengkap bahwa saat ini musimnya pembatasan. Bahkan saat hajat memilih pendidikan yang kita mau nyatanya sudah dibatasi dengan sistem zonasi. Menarik sekali jika suatu saat yang namanya cinta juga harus dibatasi. hadeh
Menyoal berita terbaru yang saya baca saya sendiri sempat dibuat berpikir atas tindakan KPAI yang bisa saya sebut cukup revolusioner dan berani—mantap! Saya yakin KPAI diisi oleh orang-orang yang sangat kompeten dalam hal melindungi hak dan kepentingan anak-anak, apalagi mencintai anak-anak. Pasti pro. Ketika unsur ekploitasi anak-anak menjadi batu sandungan PB Djarum untuk didesak menghentikan penyelenggaraan audisi anak-anak usia 11 dan 13 tahun karena adanya unsur bias bernama “kalau ngeliat logo Djarum otomatis mau ngerokok.” Tentu saya yakin hal tersebut menjadi sesuatu yang menampar muka PB Djarum. Bayangkan, PB Djarum yang sudah berdiri sejak 1969 tidak pernah memikirkan hal unik tersebut dalam sistem kerja otak mereka.
Baju yang digunakan para atlet binaan yang rasa-rasanya akan mengundang orang untuk merokok dan mengenal rokok itu memang pembenaran yang unik. Sah-sah saja ketika PB Djarum yang nama perusahaannya Djarum ngasih nama di baju atletnya nama perusahaan mereka, kok. Wong yang ngadain mereka, dananya dari mereka dan yang mengelola mereka. Masa sih mau pake nama PB Pluto atau PB Uranus. Ini seperti ketika tim olimpiade kita berlaga di ajang internasional. Bajunya pasti ada tulisan Indonesianya, kan? Orang mereka dilatih sama Indonesia, didanain sama Indonesia dan dikelola sama Indonesia. Masa mau baju olimpiadenya tulisan Kongo? Mau bajunya tulisa Nigeria? Ya tidaklah. Simbolisasi tulisan itu adalah apa yang merepresentasikan asal dan siapa yang menyokong mereka. Hal ini sama kasusnya dengan gengsi-gengsian almameter kampus. Kalau kuliah S1 di UI ya pakai almemeter UI lah. Kalau S1 di ITB ya mboh pakai almameter ITB. Sebegitu sederhananya.
Namun saya yakin KPAI punya penelitian yang bejibun menyoal harapan mereka yang mendesak penghentian sementara kegiatan audisi yang salah satunya telah melahirkan pemain bulu tangkis kelas dunia seperti Kevin Sanjaya .
Dan akhirnya desakan-desakan itu dijawab oleh PB Djarum dengan menyebut bahwa mereka akan pamit undur diri. Mereka mengatakan akan berhenti melakukan audisi atlet-atlet bulu tangkis usia muda mulai tahun depan. Suatu keputusan yang pada akhirnya harus kita sadari adalah sebuah kekecewaan atas niat baik untuk memajukan dunia perbulutangkisan di Indonesia.
Tentu kita tidak bisa menyalahkan siapa pun. Ada UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maupun PP No 109 Tahun 2012. PP tersebut telah melarang bahwa perusahaan rokok dalam menyelenggarakan kegiatan dilarang menampilkan logo, merk, atau brand image produk tembakau. Bagi KPAI, PB Djarum tidak berhadapan dengan mereka tapi berhadapan dengan undang-undang yang sudah jelas.
Berat memang rasanya jadi PB Djarum, niat hati mau mengangkat prestasi tapi ternyata bisa lupa dengan hal semacam Undang-Undang.
Kasus ekploitasi anak lewat baju yang berlogo dan bertulisan Djarum ini memang terlihat sepele. Tapi nyatanya memang berbahaya. Takutnya nanti semua orang yang mendengar kata Djarum dan logo Djarum jadi terkoneksi ke satu arah, rokok dan pengen ngerokok. Nanti kalau ada yang mau ngejahit baju terus mau beli jarum di pasar dan nanya ke abang-abang yang jual, “Bang, ada jual jarum?” Terus abangnya bingung dan berkata, “ini jarum yang mana ya? Rokok atau jarum jahit?”
Dan yang paling saya takutkan seandainya PB Djarum tidak ditegur oleh KPAI dan terus melakukan audisi selama lebih dari 70 tahunan. Bisa-bisa PB Djarum telah merubah sejarah.perbendaharaan kata dan makna. Tidak berkaitan dengan olahraga tapi mengaburkan makna Djarum sebagai rokok atau sebagai alat menjahit. Duh! (*)
BACA JUGA Bagaimana Jika Ternyata Rokok itu Baik? atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.