Emak-emak is coming—Jon Snowuwu~
Sebelum cebong dan kampret menyerang, media sosial adalah tempat nyaman untuk melakukan berbagai hal; bikin status dan foto galau yang akan disesali pada kemudian hari, ngumpulin like dan komentar dari orang-orang jauh yang tak dikenal—bomb likes—hingga cari cem-ceman sepuasnya.
Serius. Aktivitas-aktivitas itu menyenangkan—setidak-tidaknya lebih menyenangkan daripada melihat berbagai macam ujaran kebencian dan hoaks. Meski tindakan-tindakan lebay itu barangkali kini kita anggap nista dan berusaha ditutup serapat mungkin, tetap saja: itu menyenangkan. Toh, siapa sih yang tidak punya kenangan memalukan?
Soal lebay, kita semua sama~
Postingan-postingan semacam itu kini barangkali masih ada. Kita bisa membuktikannya dari ribuan shitpost yang sehari-hari muncul di berbagai laman—kita melihat anak SD saling memanggil mamah-papah, kita melihat muda-mudi nolep yang sok edgy, kita melihat wibu dengan kekasih 2D-nya, dan kita melihatnya bersama orang lain. eh
Meski begitu, sereceh apa pun lini media sosial kita saat ini, terlalu banyak sampah yang “terpaksa” kita lihat sehari-hari. Menurut saya, salah satu faktor yang melatarbelakanginya adalah kehadiran emak-emak di ranah digital ini. Saya tidak sedang mengatakan kaum emak semuanya buruk. Tidak. Yang saya maksudkan, sebagian emak-emak pengguna media sosial itu sesungguhnya belum siap. Mereka sedang dalam fase peralihan yang mengejutkan. Sebuah fase yang menghasilkan hal-hal tidak asyik dan sesungguhnya juga sama sekali ra mashoook bagi orang seumuran mereka.
Sebagai contoh, banyak emak-emak tetangga saya yang baru saja memegang ponsel. Ini sesungguhnya kemajuan. Dari yang asalnya cuma pegang pisau, anak-anak dan pisau yang bisa bikin anak kini jadi pegang teknologi canggih. Menggunakan gawai bisa menuntun mereka pada pengetahuan yang lebih luas—bahwa hidup tidak melulu di dalam rumah. Harusnya seperti itu.
Namun kenyataannya, emak-emak itu justru melakukan hal sebaliknya. Mereka memang mempelajari banyak hal di internet terutama media sosial, tetapi banyak hal buruk yang juga muncul pada waktu sama. Emak-emak itu, misalnya, demen banget memublikasikan kegiatan keseharian seperti masak, mandiin anak, bahkan pas hitung gaji suami. Busettt dah—itu emak-emak apa daily vlogger macam Atta Halilintar sih? Untung nih untung—untung mereka enggak live streaming di Instagram kegiatan malam bersama suami. Untung~
Selain rajin update status, mereka juga tak kalah rajinnya mengomentari status orang lain—saya beberapa kali mengalami ini. Kalau komennya nyambung sih nggak apa-apa. Nahasnya, kadang komen mereka out of topic alias ngelantur. Ini bakal tambah mengganggu saat ada kawan saya yang mengomentari status sama.
Suatu kali, misalnya, saya pernah bikin status serius soal khazanah perpolitikan kita saat ini. Beberapa kawan saya mengomentari dengan keseriusan yang kurang-lebih sama—kami berdiskusi cukup panjang. Itu mengasyikkan—sebelum dua emak tetangga saya ikut nimbrung.
“Mas, kalau Dina (nama anaknya) mau Ujian Nasional. Mau ngelesin nggak?” tulis yang satu.
“Kak, tempat wisata yang bagus di Semarang itu mana yhaaa?” tulis emak kedua.
Uasssuuuu!!!
Pisuhan itu tentu saja saya batin. Saya sungguh-sungguh jengkel. Kehadiran dua komen itu benar-benar tak tahu waktu dan tempat. Diskusi yang awalnya menggairahkan terpaksa saya sudahi. Lha mau bagaimana lagi—dilanjut hya wagu.
Saat itu saya mikir: dua emak-emak itu, tidak tahukah kalau Facebook dan media sosial lain menyediakan fitur khusus berupa inbox untuk pesan-pesan yang sifatnya pribadi? Untuk hal-hal di luar topik yang saya bicarakan di status, harusnya mereka paham bahwa inbox adalah tempat yang tepat.
See?
Hal lain yang saya sayangkan, emak-emak di media sosial itu jadi sasaran empuk hoaks dan berbagai berita atau narasi konyol. Sebagaimana yang kita tahu, (banyak) emak-emak itu punya insting gosip luar biasa kuat. Baru muncul isu satu huruf saja, mulut mereka sudah gatal untuk menghembus-mengobrolkannya bersama orang lain. Soal gosip itu benar atau salah, itu urusan nanti. Mental seperti ini tentu menjadi ladang basah bagi elit politik untuk menggulir dan memelihara wacana demi kepentingan kelompok. Tinggal berikan hal-hal hot bagi mereka, dan kail pun akan segera dilahap.
Mereka paham betul bagaimana memanfaatkan latar belakang literasi dan kondisi psikologis banyak emak-emak di tanah air. Saya merasakan ini. Kawan-kawan kuliah saya juga—berdasarkan pengakuan mereka.
Sejauh pengalaman saya dan banyak kawan, emak-emak sangat mudah terpancing dan menyebarkan hal-hal sensitif—apalagi yang berbau agama. Kawan saya—misalnya—mengaku lelah mendapatkan pesan siaran dari ibunya yang hampir selalu berisi hal aneh. Ia pernah mendapatkan pesan dari ibunya bahwa Upin Ipin adalah konspirasi untuk menghancurkan moral anak bangsa, bahwa di Pulau Aceh sana pasukan Dajjal sedang berusaha naik dari dasar laut, bahwa ada anak yang berubah jadi ikan cupang pesut karena durhaka pada ibunya. Pesan-pesan itu tak hanya ia dapatkan dari sang ibu, tetapi juga dari grup WhatsApp keluarga.
Pada titik ini, percayalah, saya sangat bersyukur kedua orang tua dan mayoritas generasi tua sanak famili saya tidak menggunakan internet. Sungguh.
Di musim politik, karakter emak-emak yang seperti ini tentu saja sangat mudah dieksploitasi. Tidak bermaksud menyinggung, tetapi kekritisan mereka sangat bisa dipertanyakan. Ibu kawan saya itu—misalnya—adalah seorang guru madrasah—udah guru, di madrasah lagi. Kurang apa coba? Tapi ia tetap menyebarkan hoaks konyol. Ini menunjukkan, bahwa bahkan “orang berpendidikan” pun tak menjamin memiliki keteraturan dalam bernalar.
Akhirnya beginilah sekarang—emak-emak menjadi (salah satu) mesin penyebar wacana kebencian paling produktif. Sebab begitulah memang watak mereka—rajin menyebarkan begitu banyak hal bagi orang lain. Emak-emak itu tidak sadar, bahwa selama ini mereka hanya dimanfaatkan. Emak-emak itu sesungguhnya belum siap main fesbuk!
Maka dari itu, melihat sepak terjang emak-emak selama ini di medsos, agaknya tak berlebihan jika menyebut mereka lebih menyebalkan daripada cabe-cabean kesepian. Cabe-cabean cuma umbar status kesepian, sementara emak-emak umbar aib orang. Cabe-cabean cuma nyebar kenangan bersama mantan, sementara emak-emak nyebar berita anak durhaka jadi ikan pari. Eh, tapi jangan-jangan, apa cabe-cabean kalau udah senior kayak gitu yhaaa? Entahlah.
Dunia memang sudah terbalik. Ketika dulu emak-emak yang mengawasi kita dalam melakukan berbagai hal, kini situasinya beda; kitalah yang harus mengawasi mereka saat main media sosial. Menyebalkan memang, tetapi begitulah keadaannya.
Ingat—emak-emak is coming~