Pernah dengar decoy effect nggak? Kalau belum, saya kasih gambarannya aja dulu. Pernah nggak kamu kebingungan saat sedang jajan atau belanja sesuatu? Ya, penyebabnya apa lagi kalau bukan perkara harga. Saya dan istri sering mengalami hal ini. Saya atau istri selalu tanya pendapat satu sama lain sebagai bahan pertimbangan atas keputusan yang akan diambil.
“Mas, menurut kamu beli satu kotak isi 8 dimsum harga Rp30.000 atau yang isi 16 harga Rp50.000?”
“Yang isi 8 biji aja, Dik.”
“Kamu mau nggak?”
“Ya, mau.”
“Beli 16 aja, yah? Nanti bagi dua. Pas tuh, aku delapan, kamu delapan.”
“Oh, ya udah. Gasss!”
Saya sih nggak masalah kalau beli satu kotak isi delapan dimsum lalu dibagi dua. Tapi kalau mau beli yang isi 16 juga nggak apa-apa, toh dimsumnya juga enak. Yang udah-udah, ketika saya makan empat biji, saya masih belum puas. Okelah, mari kita beli dengan porsi yang lebih besar daripada biasanya.
Tapi, keputusan yang udah diambil buat beli satu kotak isi 16 dimsum nggak bertahan lama. Rasa bimbang itu menyerang kami lagi ketika mendapatkan penawaran satu kotak dimsum isi 25 biji dengan harga Rp65.000.
“Gimana, Mas?”
“Beli secukupnya aja deh, Dik.”
“Ya tapi sayang banget kalo nggak diambil.”
“Ini kan sifatnya cuma jajan, bukan makanan pokok.”
“Yah, padahal cuma nambah Rp15.000 kita bisa dapet 11 dimsum lagi. Sisanya nanti bisa taro di kulkas.”
“Kan kita makannya cuma berdua.”
“Tapi, kan….”
“Ini soal kebutuhan, Yang….”
Adu pendapat nyaris terjadi. Untung ada mas-mas penjaga toko yang melerai. Kami tersadar harus segera memutuskan mau beli satu kotak dimsum yang isi berapa. Dengan selisih harga lebih murah tentu sangat menggiurkan, akhirnya kami jadi membeli 25 dimsum tapi yang frozen aja. Sisanya biar bisa masuk kulkas terus bisa dikukus lagi sesuai kebutuhan yang mau dimakan.
Sebenarnya hal itu tadi adalah win-win solution yang masih saya ragukan tepat atau nggaknya, padahal saya rasa keputusan awal sudah tepat. Gegara si mas-mas toko juga sih, pakai ngasih penawaran lain. Kondisi kayak gini cukup sering terjadi pada kami. Lalu membuat saya bertanya-tanya, apa sih yang sebenarnya terjadi?
Untung saja ada alat serbatahu bernama Google yang memudahkan saya mencari pencerahan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri ini. Ternyata yang saya alami secara nggak sadar ini disebabkan oleh decoy effect.
Paper menjelaskan bahwa decoy effect adalah sebuah fenomena psikologi yang terjadi pada kebanyakan manusia di mana kita akan mempertimbangkan dua buah opsi di depan kita berdasarkan kebutuhan dan keperluan. Tapi, pilihan kita itu dipatahkan dengan munculnya opsi ketiga.
Faktanya, decoy effect adalah sebuah trik marketing yang sudah banyak diterapkan oleh para penjual. Contohnya aja soal dimsum itu.
- 8 dimsum: Rp30.000
- 16 dimsum Rp50.000
- 25 dimsum Rp65.000
Di sini saya disuguhkan sebuah produk yang memang sengaja dibuat untuk jadi pembanding, yakni pilihan B. Bisa jadi produk utama yang ditargetkan untuk dijual adalah yang C. Memang jumlahnya terkesan kebanyakan, tapi bagi saya pelanggan dimsum di sana yang udah berkali-kali beli, harga Rp65.000 cukup menguntungkan.
Pilihan A dan B harganya jadi terkesan nggak masuk akal. Padahal biasanya kelipatan harga berdasarkan yang A. Pemasangan harga tersebut membuat produk dengan ukuran besar jadi lebih menggiurkan. Dengan kata lain produk B dibuat memang bukan untuk dipilih. Hah? Bukannya produk dibuat agar dipilih oleh pembeli yah?
Iya, betul. Tapi, produk yang C itulah lebih tepatnya dibuat agar dipilih oleh pembeli. Maka dari itu juga, triknya saya akan ditawari lebih dulu yang A atau B. Ketika sudah memilih B, muncullah tawaran utama; produk C. Sama halnya dengan beli minuman atau popcorn saat nonton bioskop, kita cukup menambah beberapa ribu rupiah aja untuk mendapatkan ukuran upsize.
Efeknya saya jadi memilih porsi yang ekstra kemudian mengesampingkan hal-hal yang semestinya dibeli sesuai keperluan atau kebutuhan. Sebetulnya hal ini nggak lepas dari sifat alami saya sebagai manusia yang—terkadang—rakus. Kalau saya bisa dapat lebih banyak daripada apa yang saya keluarkan, kenapa nggak?!
Padahal ketika produk dengan ukuran besar itu sudah saya beli, malah jarang sekali bisa saya habiskan dalam sekali waktu. Meskipun tetap habis sih dengan embel-embel kata “sayang kalau dibuang”. Nah, saya sadar, di sinilah kuncian dari decoy effect itu. Apakah dengan keteguhan dalam mengambil satu keputusan berdasarkan kebutuhan bisa menang melawan decoy effect?
Lain waktu saya akan coba kuatkan pertahanan ini.
BACA JUGA Honda CT125, Motor yang Cocok untuk para Kurir dan tulisan Allan Maullana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.