Semakin banyak orang, terutama orang-orang perkotaan, menginginkan rumah dekat sawah. Alasannya beragam, mulai dari terlihat estetik, suasana yang mendukung untuk healing, hingga ogah berdekatan dengan tetangga. Apapun alasannya, sah-sah saja berkeinginan punya rumah “mewah” alias mepet sawah. Hanya saja, sebagai orang yang pernah tinggal di dekat sawah, saya cuma mau mengingatkan satu hal: rumah “mewah” itu banyak tantangannya.
Dahulu saya pernah punya rumah yang berdiri di atas lahan bekas sawah. Kawasan sekitar rumah masih jadi persawahan aktif. Awalnya punya rumah “mewah” memang sesuai dengan bayangan kebanyakan orang, sehari-hari terasa seperti healing hingga berbagai penderitaan menghampiri.
#1 Air sumur rumah dekat sawah sering bau lumpur
Salah satu tantangan memiliki rumah dekat sawah adalah air sumur yang sering bau lumpur. Selain bau lumpur, air sumur juga kerap berwarna keruh. Padahal, seperti yang kita tahu, air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Itu mengapa sumber air kerap jadi pertimbangan penting ketika memilih hunian.
Di rumah saya dahulu, air konsumsi dibedakan dengan air kebutuhan sehari-hari. Air untuk konsumsi seperti memasak dan minum menggunakan air minum dalam kemasan (AMDK) isi ulang. Sementara, air sumur digunakan hanya untuk mencuci dan mandi. Untung saja saya dan keluarga tidak punya persoalan kulit sensitif sehingga masih bisa menggunakan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Ada tetangga saya yang gatal-gatal dan iritasi karena menggunakan air sumur. Akhirnya, tetangga saya ini memutuskan pindah rumah karena sudah tidak sanggup lagi dengan air sumur yang berbau dan keruh ini.
Sebenarnya, persoalan sumber air bersih itu bisa teratasi kalau rumah dialiri PDAM. Hanya saja, untuk kasus rumah “mewah” saya dahulu, PDAM sulit diakses.
Baca halaman selanjutnya: #2 Banyak hewan …