“Tarik sis, semongko.” Entah bagaimana ceritanya diksi ini mendominasi linimasa akhir-akhir ini. Menariknya, “tarik sis, semongko” sendiri bukan merupakan kesatuan lirik dari lagu Bunga yang kembali populer oleh Anggun Pramudita, dkk. Fenomena ini sendiri sebetulnya bukan hal baru jika kita membicarakan tren kultur di skena musik koplo Jawa. “Tarik sis, semongko” hanya kelanjutan sekuel dari senggakan-senggakan yang pernah dilahirkan skena koplo Jawa layaknya Marvel Cinematic Universe yang merilis film secara bertahap tahun ke tahun.
Sebagai subgenre Jawa yang terbilang cukup muda dibandingkan keroncong dan campursari, kehadiran senggakan ini seolah menjadi ciri khas musik koplo dibanding musik-musik Jawa lainnya. Senggakan sendiri biasanya ditempatkan di bagian-bagian menuju klimaks tabuhan ketipung, atau secara acak ditaruh di bagian random lainnya.
Sebagai pemuda desa yang besar bersama dengan kultur musik Jawa yang kental, saya mengamati senggakan sangat berperan dalam menentukan pasar pendengarnya. Saya berani mengategorikan tipe-tipe orang menyukai musik koplo Jawa bisa dipengaruhi suara si biduan, aransemen, tabuhan ketipung, busana yang dikenakan biduan, dan yang paling aneh yaitu berdasarkan senggakan. Aneh, tapi ada manusia semacam ini.
Jika kita merunut awal mula senggakan ini, tren ini dulu bermula dari “buka sitik jos!” yang muncul di era 2000-an. Bisa dikatakan senggakan ini ibu dari segala senggakan. Dan mungkin “buka sitik jos!” adalah senggakan yang paling populer serta tidak lekang oleh waktu.
Setelah kemunculan “buka sitik jos!” muncul lagi “woyo-woyo jos!” pada 2010-an. Demam woyo-woyo melanda anak muda terutama di perkampungan yang menjadi basis musik koplo. Lebih lagi di masa-masa ini lagu koplo Jawa belum terlalu banyak mengcover lagu-lagu pop layaknya musik koplo sekarang. Ya, sebelum populer oleh Jason Ranti, diksi woyo sendiri sudah lebih dulu membenam di ingatan para pendengar legenda musik koplo Jawa.
Bergeser sedikit, lalu muncul senggakan yang cukup populer lagi yaitu “aselole”. Ia lahir dan menjadi signature OM Sagita. Masa-masa itu medio 2011 hingga 2014 bisa dikatakan sebagai era keemasan OM Sagita. OM Sagita seolah memberikan paket lengkap. Kala itu, suara serak Eny Sagita, Lagu Ngamen yang memiliki banyak versi, hingga “aselole” selalu menjadi andalan penikmat musik koplo. Bahkan “aselole” pernah dibawakan Tretan Muslim di panggung SUCI 3 sebagai ciri khasnya.
Tak berhenti di situ. Lalu, lahir beberapa senggakan baru seperti “oaoe”, “hak’e-hak’e”, hingga “slololo, jos!” Menariknya, senggakan ini populer bersamaan dengan naik daunnya Via Vallen di pertengahan dekade 2010-an di kancah nasional sebagai ikon musik koplo Jawa.
Tak lama muncul fenomena “cendol dawet” oleh Abah Lala cs. Kehadiran Abah Lala seolah menyegarkan musik milik campursari Didi Kempot di tengah dominasi musik-musik koplo hingga gelombang paling anyar yaitu musik pop koplo Jawa. Entah kebetulan atau tidak, kemunculan Abah Lala seolah menjadi tanda nama sang legenda kembali diterima di kancah nasional, sebelum viralnya Balekambang 2019 dan Ngobam bersama Didi Kempot.
Senggakan-senggakan di atas sebenarnya hanya sedikit dari diksi-diksi yang diciptakan pelaku industri musik koplo Jawa atau hanya permukaannya. Lantaran menjadi sesuatu yang cukup vital, para pegiat musik koplo Jawa sendiri selalu kreatif dalam menciptakan istilah atau diksi-diksi senggakan.
Baik dari nama kota seperti “Jogja Solo, jos!” hingga nama makanan “tahu tempe jos!” Lebih dari sekadar tempelan, senggakan terkadang diidentikkan dengan satu orkes atau penyanyi tertentu sebagai signature, hingga selalu melekat pada lagu tertentu. Dan bisa jadi senggakan merupakan salah satu unsur yang menaikkan nama orkes, penyanyi, hingga lagu yang dibawakan.
Namun, begitulah uniknya musik koplo Jawa, setiap instrumen dari satu kesatuan orkesnya memberikan peran yang sama vitalnya. Baik tukang kendang, biduan, tukang pukul crash, hingga senggakan. Layaknya sekuel MCU, selanjutnya saya yakini akan muncul “buka sitik jos!” dan “tarik sis, semongko” baru. Akan tetapi, seperti kata Reza Arap, “Viral itu tidak dapat diciptakan.” Senggakan akan terus ada. Hanya entah senggakan milik siapa yang akan naik daun, tentu tinggal menunggu waktu.
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.