Saya rasa tak perlulah saya menceritakan detil kasus yang Bima Yudho alami, tapi ada satu hal yang bisa kita tangkap: dari Bima Yudha kita paham kenapa banyak orang memilih diam.
Apa yang Bima Yudho sampaikan tentang kritikannya terhadap Lampung, adalah sebuah kebenaran. Kebenaran itu didukung oleh argumen orang lain bahwa apa yang Bima ucap, ya memang fakta. Bukan mengada-ngada. Sayangnya, meski betul apa yang Bima katakan, pihak-pihak yang dikritik tidak menerimanya dengan baik. Bahkan mungkin tak mau juga dikritik.
Keluarga Bima Yudho didatangi polisi, bokapnya ditelpon oleh Bupati Lampung melalui wakil Bupati. Itu harga yang harus Bima bayar hanya karena kritik.
Hal itulah yang membuat kita jadi mengurungkan niat untuk menyampaikan kritik. Entah tentang ketidaknyamanan di tempat kita tinggal atau isu hangat lain tentang sistem kebijakan atau politik yang lagi naik daun. Jika bersuara, besar kemungkinan rumahnya bakal didatangi pejabat, pihak berwenang, atau bahkan polisi seperti keluarganya Bima. Gilak, gilak.
Betapa menakutkan jika kita mengkritik suatu hal
Jujur saja, apa yang menimpa Bima sebetulnya sudah bukan hal yang baru. Cuman, kasus Bima mungkin lebih seksi, sehingga menjadi isu hangat dan trending. Salah satu contohnya, mengkritik dapat menyebabkan guru sekolah dipecat.
Kasus lain, dulu saya pernah nonton live Mojok di Instagram, yang kala itu narasumbernya adalah Mas Prabu dan Mas Jevi (dua penulis Terminal Mojok). Mas Prabu waktu itu bilang bahwa, dia pernah didatangi salah satu pihak ke rumahnya yang pada intinya: kenapa Mas Prabu mengkritik Jogja, padahal dia hidup di Jogja, kok malah mengkritik Jogja.
Kritik tempat tinggal aja didatangi. Apalagi kalau kritik…
Memilih diam, memilih bungkam
Jujur saja, mengetahui peristiwa yang aneh di atas, saya jadi pesimis untuk mengeluarkan uneg-uneg. Baik itu tentang Sumenep misalnya, atau isu hangat yang lain yang menarik untuk disampaikan ke publik. Betapa tidak, jika pada akhirnya adalah ketakutan yang bakal dirasakan oleh kita atau keluarga kita. Bisa jadi keluarga kita dapat cemoohan seperti Bima yang dicap orang tuanya gagal mendidik anak.
Maka dari itu, saya rasa saya tak akan lagi kaget jika ada satu kebijakan merugikan, tapi pada diam saja. Keamanan orang-orang tersayang bisa jadi taruhan hanya karena kritik yang sifatnya sebagai masukan. Daripada jadi martir, mending (terpaksa) diam demi alasan keamanan.
Tahan dulu pendapat kalian yang menganggap saya pengecut. Apa yang dialami Bima Yudho itu mengerikan. Saya sendiri tak mau mengalami. Benar memang pemimpin harus dikritik, tapi jika pemimpinnya nggak mau dikritik dan menyalahgunakan kekuasaan mereka, kita bisa melawan pake cara apa?
Kalau cuman simpati lewat medsos sih, tetep aja babak belur.
Apalagi melihat banyak orang mempermasalahkan kata Dajjal dalam kritik Bima Yudho. Berharap apa sama manusia yang nggak bisa melihat substansi, tapi lebih memilih melihat diksi? Sulit. Ini mah keliatan orang cari gara-gara aja. Dan orang kayak ginilah yang bikin hidup kita, orang yang peduli sama negara, malah jadi sengsara.
Jujur saja, harapan pada dunia yang lebih baik itu jadi terkesan utopis. Membayangkan rakyat sejahtera itu jadi seakan halusinasi, jika melihat pemimpin dikritik saja tidak mau. Padahal, kritik itu ya sebagai masukan agar kinerja pemimpin jadi lebih baik kan. Terus kalau memberi kritik kayak Bima Yudho malah diserang, ya gimana mau dianggap baik?
Penulis: Zubairi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kritik Harus Sopan Itu Aturan dari Mana?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.