Namanya Contong. Kawan saya yang terlahir sebagai pencinta wanita yang kadang bikin saya jijik juga. Saya nggak mempermasalahkan kok dia ini suka memberikan kejutan atau hal-hal kecil yang menurutnya romantis, nggak masalah. Yang jadi masalah itu ketika ia sedang terpuruk karena cinta, diputusin karena ikut demo, seolah saya harus berada di garda terdepan.
Contong punya pacar, namanya Rosa. Tentunya, bukan nama sebenarnya. Terakhir saya ke kos Contong, membawa lele pesanan blio, mereka masih bersenda gurau di pelataran kosan Contong. Saya ingat betul, Contong bilang begini, “Cari pacar sana!” Contong nggak tahu saja kalau saya sudah bahagia walau begini.
Malamnya kami ngobrol melalui telepon. Katanya, lele saya masih terlalu kecil untuk dijual. Saya pun bertanya, apakah uangnya mau dikembalikan? Contong tertawa terbahak-bahak. Katanya, saya ini terlalu polos dan nggak bisa bisnis. Namun dari tawanya itu, saya menduga ada sesuatu yang janggal. Seperti terselip sebuah kesedihan yang nggak tahu muaranya ke mana.
Esoknya Jogja meletus. Pun kota-kota yang lainnya. Semua menuntut wakil rakyat yang nggak becus mewakili kami secara utuh. Contong menghubungi saya, Malioboro atau Bunderan UGM, saya bilang Malioboro saja. Saya ingin melihat wajah para buruh, terpelajar, dan segenap manusia yang tumpah ruah kekesalannya. Contong bilang kepada saya, ketemu di tempat. Saya iyakan.
Saya parkirkan motor di Ramai Mall. Sebuah mal yang sejatinya nggak ramai-ramai amat. Lokasi ini saya pilih semisal ada sesuatu yang nggak diinginkan, saya bisa minggat langsung ke arah barat. Contong parkir di pinggir jalan Malioboro. Saya mencoba menghubunginya lewat WhatsApp, nihil hasilnya. Saya juga menghubungi kawan saya lainnya yang ikut aksi. Sengget, dari serikat buruh terpelajar, namun sama seperti Contong, nihil hasilnya.
Kala itu, Malioboro ramai bukan main. Gas air mata bagai “Hujan di Bulan Juni”. Walau nggak dirahasiakan rintik rindunya, kepada pohon berbunga itu, melainkan bagai memenuhi udara tanpa belas ampun sama sekali. Para demonstran mengolesi pelupuk matanya menggunakan odol, saya juga. Seakan saya lupa, ada virus corona yang mengintai kami
***
Esoknya Contong menghubungi saya. Katanya, ia putus dengan Rosa. Respons saya biasa saja. Bulan ini saja, ia sudah putus dengan dua wanita lain. Berhubung saya juga kenal dengan Rosa, saya pun bertanya, sebenarnya ada apa. Contong menangis, ia diputusin karena ikut demo Malioboro.
“Sek, sek, Tong,” kata saya, merasa ada yang janggal. Bagaimana nggak janggal, walau berbeda kampus, saya tahu Rosa ini juga sama seperti Contong, ia suka ikut aksi. Kamisan saja kadang ikut. Apalagi band kesukaannya .feast yang punya tembang “Berita Kehilangan”, masa iya Rosa mutusin hanya karena Contong ikut demo?
Dengan klimit-klimit, suaranya diseret-seret seperti orang mau tewas, Contong berkata bahwa ia diputusin karena ikut demo di lokasi yang berbeda. Contong di Malioboro, sedangkan Rosa di Bundaran. Katanya, Rosa bilang, “Aku lho jaga nama baik korsa, mosok kamu asik-asikan langsung ke lokasi yang gayeng!” ia mengikuti cara Rosa berbicara.
Saya nggak bisa menahan tawa saya. Lha gimana nggak tertawa, baru kali ini saya dengar orang diputusin karena ikut demo di lokasi yang berbeda. Kalau satu ikut demo, satunya emoh, itu wajar. Ada pertentangan yang berat. Lha ini lho, sama-sama suka aksi, si perempuan cemburu karena pacarnya ambil lokasi yang katanya gayeng sekali. Jur, ajur.
Ini merupakan the next level dari “kamu terlalu baik buat aku”. Atau istilah ndakiknya, Rosa ini masih terjebak dalam sistem pemikiran yang kekanak-kanakan. Saya pun bertanya, apakah mereka nggak rembugan dulu (walau ini aneh, orang pacaran biasanya rembugan mau makan di mana, mosok yo rembugan mau demo di mana). Contong menjawab, nggak sama sekali.
“Rosa pikir tanpa ditanya aku bakal milih Bunderan, Gus. Tapi, kan gara-gara kamu aku jadi milih Malioboro. Jadi, ya, secara nggak langsung kamu jadi perusak hubungan orang lain.” saya hanya senyum. Sudah biasa Contong mengambinghitamkan saya dalam perkara percintaannya. Ini kenapa di awal, saya bilang Contong menjijikkan.
“Tendensinya Rosa itu udah nggak sayang kamu. Kalau misal sayang, ia putusin kamu karena di lemari bajumu ada baju PKS. Nah, itu baru logis.” saya pun tertawa. Ini trik dan tips menghadapi sahabat yang masya Allah menyebalkannya ketika putus.
“Keluarganya Rosa itu keluarga besar PKS, Gus,” jawab Contong. Saya hanya diam. Jebul mereka terikat tali kasih karena memilih partai yang sama. Saya jadi merasa bersalah ngguyoni hal yang begitu sentimentil seperti itu. “Aku masih sayang je sama Rosa.” itulah kalimat template dari Contong. Hanya namanya yang biasanya gonta-ganti. Kali ini alasannya juga wagu: diputusin karena ikut demo, tapi beda lokasi.
Tapi, kalau mau melihat ke belakang, kisah putusnya Contong ini aneh-aneh. Pernah diputusin karena mancing sampai lupa waktu. Lupa waktunya nggak tanggung-tanggung, dua hari! Pernah juga Contong diputusin karena di kosnya ketahuan ada bendera PKI. Kalau dipikir-pikir, buat apa coba?
Tapi nggak pernah ada yang salah dari demonstrasi. Bagi beberapa orang, menyampaikan aspirasi karena nggak didengar adalah kemewahan yang tak terkira. Pun tak pernah ada yang salah dari putus cinta, kesalnya kadang tak terkira, tapi akan berakhir pada rasa kebas yang dituntaskan dengan biasa saja.
Ketika putus cinta karena demonstrasi, bisa didefinisikan bahwa rakyat ternyata punya problematika tersendiri. Ada yang rela bergelut melawan takut akan pandemi, ada yang rela mogok kerja sampai dapat surat peringatan, ada yang ngeyel melawan institusi pendidikan yang pengecut, bahkan ada yang sampai putus cinta seperti ini.
Semua tidak bisa menyalahkan pihak atas, terutama DPR seutuhnya. Namun, berkat mereka yang kelakuannya kadang nggak pakai otak, Contong jadi merasakan diputusin karena ikut demo. Terutama saya, dituduh menjadi biang keladi berpisahnya dua sejoli yang nggak mutu ini.
BACA JUGA Suka Duka Saya Ketika Menjadi Fans DPR RI. Biasmu Siapa, Hyung? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.