Croissant geprek tuh termasuk dalam penyiksaan makanan nggak, sih? Udah susah-susah dibikin mengembang dan berongga, lha kok digeprek?
Croissant sangat identik dengan Prancis meski awalnya berasal dari Austria. Pastry satu ini kerap dijadikan hidangan pendamping minum kopi. Nggak salah memang, secangkir kopi panas akan terasa lebih nikmat ketika dinikmati dengan makanan ringan yang gurih dan manis seperti croissant dan donat.
Croissant sendiri adalah pastry yang berbahan utama tepung terigu, ragi, garam, gula, dan mentega. Rasanya gurih dan sedikit manis. Untuk memperkaya rasa croissant, di atasnya biasa diberi taburan almond ataupun cokelat.
Ciri utama pastry satu ini adalah bentuknya seperti bulan sabit, teksturnya berlapis, dan wajib berongga. Wajib, lho, ya. Kalau kita membuat adonan—bahan croissant— lalu hasil akhirnya nggak mengembang dan nggak berongga, artinya croissant kita gagal. Tingkat kesulitan membuat pastry satu ini memang terletak pada teksturnya. Membuat croissant bisa mengembang dan berlapis dengan sempurna nggak gampang, lho.
Namun, di tangan orang Indonesia yang kreatifnya kadang suka kelewatan, pastry khas Prancis ini setelah susah-susah dibuat mengembang malah digeprek sampai penyet kemudian diberi nama croissant geprek. Iya, kalian nggak salah dengar, di bumi pertiwi ini ada kuliner baru bernama croissant geprek, sebuah aliran baru dalam khazanah kuliner kekinian.
Sekte baru makan croissant geprek ini juga ramai diperbincangkan pencinta kuliner di Twitter. Beberapa orang beranggapan kalau croissant geprek adalah croffle, padahal bukan. Kalau croffle kan gabungan antara croissant dan waffle, alirannya jelas, yaitu adonan croissant dipanggang di tempat waffle sehingga menghasilkan makanan yang rasanya identik dengan croissant tapi teksturnya waffle. Nah, kalau croissant geprek ini berbeda, kuliner satu ini beneran croissant yang lazim kita konsumsi—bentuknya mengembang dengan sempurna—tapi sebelum dihidangkan, croissant-nya digeprek dulu sampai penyet.
Duh, pengin nangis lihatnya. Sungguh sebuah bentuk penyiksaan terhadap makanan yang paripurna.
Ada beberapa varian rasa croissant geprek yang bisa kita temukan, antara lain croissant geprek rasa ayam geprek, udang salsa, chick must, blue chiz, dan burger. Dan yang paling terkenal atau banyak diminati adalah croissant ayam geprek. Kalau kalian belum pernah mencicipi rasanya, saya akan memberikan sedikit gambaran agar kalian kebayang gimana rasanya croissant geprek yang tengah viral itu.
Jadi, croissant ayam geprek adalah pastry croissant pada umumnya yang di dalamnya diberi isian daging ayam. Awalnya, bentuknya sama persis dengan croissant pada umumnya, tapi kemudian dia digeprek dengan alat penggeprek sampai penyet menyerupai bentuk croffle. Setelah itu di atasnya diberi saus sambal dan mayones. Rasa croissant geprek ini dominan pedas dan nggak ada manis-manisnya. Kalau masih bingung, coba bayangkan kalian makan croissant yang dicocol saus sambal pedas dan sedikit mayones. Kira-kira begitulah rasanya.
Jangan tanya rasa daging ayamnya gimana. Namanya croissant geprek, daging ayamnya tergeprek bersama kulit luar croissant sehingga rasa ayamnya sudah nggak dominan lagi. Kalau boleh saya simpulkan, croissant ayam geprek ini rasanya nggak menyerupai rasa ayam geprek, tapi juga nggak sama dengan croissant.
Meski begitu, sebenarnya rasa croissant geprek ini nggak buruk-buruk amat. Buat lidah orang Indonesia, saya yakin makanan ini akan terasa enak-enak saja, sebab cita rasanya melokal dan familier di lidah kita. Masalahnya, menggeprek croissant yang mengembang sempurna terlihat kejam di mata saya.
Sudah bagus bentuk pastry-nya berongga dan gurih, ealah malah digeprek jadi gepeng dan rasanya pedas. Kalau dipikir-pikir kok kita seperti sedang menzalimi makanan dan merusak rasa autentiknya, ya? Lagi pula kalau memang niatnya dibuat gepeng dengan tekstur menyerupai croffle, ngapain adonannya susah-susah dibuat mengembang, sih? Kok yo menyusahkan diri sendiri.
Memang sih ada kalanya makanan disesuaikan dengan selera lokal agar bisa dikonsumsi masyarakat setempat, tapi nggak semua harus dibuat melokal, kan? Apalagi untuk jenis makanan yang rasanya sudah diterima masyarakat kita. Kasihan lho kalau ada orang Prancis di Surabaya lalu rindu makan croissant, eh begitu makan croissant ayam geprek rasanya malah pedas dan nggak ada jejak rasa croissant-nya sama sekali. Apa mereka nggak bakalan kecewa?
Bukannya apa-apa, Rek, sebagai orang yang sulit menerima rasa makanan baru, saya tahu betul gimana rasanya kecewa ketika makanan yang dikenal ternyata nggak sesuai ekspektasi kita. Jadi waktu itu saya pernah mengidam-idamkan makan onde-onde saat berada di Sulawesi. Sepanjang jalan saya sudah membayangkan onde-onde isi kacang dengan taburan wijen di atasnya seperti yang biasa saya jumpai di Surabaya. Lha, ternyata yang saya dapat adalah klepon (isi gula jawa dan taburan kelapa). Ternyata orang Bugis menyebut klepon itu sebagai onde-onde. Jadi tulisannya warung onde-onde atau umba-umba, jebul yang dijual klepon. Mungkin orang Bugis yang pergi ke Jawa juga bingung kali ya kalau mau beli onde-onde kok dapatnya bukan klepon. Hehehe.
Saya juga pernah mengajak teman saya yang orang Maluku jajan papeda gulung di Surabaya. Begitu makanannya terhidang, teman saya terlihat sedih dan kecewa mendapati papeda yang terbuat dari kanji dan diberi telur, bukannya papeda sagu dan kuah kuning layaknya papeda di kampungnya. Saya memahami kekecewaan teman saya ini ketika dia bercerita rindu sekali dengan kampung halamannya.
Jadi, bagi sebagian orang, makanan bukan cuma urusan enak dan nggak enak, tapi juga soal sejarah dan kenangan. Mungkin kita juga sering mengalaminya, misalnya ketika makan sesuatu jadi ingat seseorang. Kadang, kita sengaja memilih makanan tertentu hanya karena ingin menciptakan kembali memori dan ingin bernostalgia dengan kenangannya.
Ketika sebuah makanan diubah bentuknya dan rasanya jadi jauh berbeda dengan aslinya, kita akan kehilangan pula memorinya. Kalau makanannya diubah terlalu jauh dengan aslinya, kita seolah-olah sedang merusak cerita atau sejarah dari makanan tersebut. Kalau bahasanya Kunto Aji sih pelanggaran HAM (Hargai Adat Makanan).
Sekarang bayangkan saja kalau kita pengin makan sate ternyata yang datang daging sapi diberi taburan keju bukannya sambal kacang atau kecap. Apa nggak nyesek makannya? Bayangkan juga andai semua makanan di muka bumi ini namanya sama, tapi rasanya berbeda dengan yang biasanya. Apa kita nggak puyeng? Nama dan rasa itu memang harusnya identik, nggak perlu banyak diubah sampai nggak dikenali rasa aslinya.
Biarlah makanan menjadi dirinya sendiri. Namanya croissant ya manis, gurih, dan crunchy, sehingga cocok dijadikan teman minum kopi. Kalau diubah menjadi pedas dan teksturnya padat, jadinya nggak pas lagi diminum dengan kopi, malah cocoknya diminum dengan Coca-Cola.
Akhir kata, meski rasanya endulita, saya tetap nggak tega makan croissant geprek untuk kedua kalinya. Cukup ayam saja yang digeprek, croissant jangan. Tapi, kalau kalian ingin mencobanya, monggo, lho. Kalau soal rasa enak kok, Rek.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Perkara Croissant di Jakarta yang Tampak Lebih Mahal daripada di Australia.