Industri F&B sejak lahir sampai hari ini memang tidak pernah kehilangan daya tariknya. Kalau ada beberapa jenis kuliner yang mulai meredup, tak butuh waktu lama untuk jenis lainnya bersinar. Begitu pula yang terjadi di masa pandemi Covid-19 saat ini. Di tengah keterbatasan, hambatan, dan berbagai tekanan, nyatanya industri F&B tidak kehilangan nyawanya. Selain karena didapuk sebagai kebutuhan asasi manusia, juga karena inovasinya yang tak pernah mati. Selalu ada hal baru untuk diulik dan dikembangkan dari bisnis ini, termasuk yang sedang menjamur di timeline media sosial, croffle.
Gabungan dari dough croissant yang dimasak dan dihidangkan dengan perlakuan sebagai waffle ini sedang naik daun dan jadi perbincangan di mana-mana. Layaknya tren pada umumnya, berbondong-bondong orang ingin mencoba dan membagikan pengalamannya menikmati croffle. Beberapa orang rela mengantre berjam-jam untuk makanan ini, beberapa yang lain mencoba menarik perhatian dengan membagikan resep dan tutorial pembuatannya, dan yang tak mungkin ketinggalan adalah beberapa toko roti yang semula menyediakan berbagai jenis roti termasuk croissant, kini mendesain poster mereka dengan croffle sebagai bintang utama.
Usut punya usut, croffle ini lekas digemari setelah debutnya di akun YouTube artis Korea. Seperti biasa, artis asal Korea memang lumrah menjadi broadcaster dan trend setter untuk banyak hal mulai dari fashion, musik, hingga makanan. Terbukti berbagai makanan dan minuman yang muncul pada drama, video klip, ataupun YouTube mereka tak butuh waktu lama untuk menjadi perbincangan di berbagai belahan dunia.
Tetapi, selain karena viralnya ataupun sensasi makannya yang berbeda, pernah nggak, sih, kita berpikir kenapa banyak sekali inovasi di bidang F&B namun tak semuanya bisa bertahan? Apakah karena industri ini sedemikian cepat berkembang? Atau karena makanan yang bertahan bukan hanya karena cita rasa, tetapi nilai di baliknya juga penting? Kalau menurut saya, sih, kemungkinan yang kedua lebih masuk akal. Karena industri ini tidak secepat teknologi yang setiap tahun bahkan bulan, selalu ada yang lebih canggih. Buktinya, jadah tempe dari jaman neneknya nenek kita sampai hari ini juga masih eksis, sedangkan es kepal milo yang sempat menghebohkan jagat kuliner itu sekarang bahkan tak terdengar lagi gaungnya.
Bagi saya, hal tersebut membuktikan bahwa latar belakang historis yang membentuk karakteristik sebuah hidangan, memberikan pengaruh besar pada eksistensinya. Semakin berkarakter dan memiliki latar belakang yang tegas, semakin kuat pula potensi sebuah hidangan bertahan tak termakan zaman.
Kalau croffle ini, akan sekuat apa kira-kira? Kita perlu tahu dulu bahwa croissant dan waffle sebenarnya adalah dua makanan yang karakteristiknya berbeda, latar belakang kemunculannya juga berbeda, dan belum pernah ketemu secara historis sebelum “dikawinkan paksa” beberapa bulan ke belakang. Iya, dikawinkan paksa menurut saya adalah frasa yang tepat mengingat bahwa croissant lahir dari seorang pedagang roti dari Austria yang menjajakan resepnya di Prancis. Sedangkan waffle adalah menu sarapan dari Brussels yang kemudian memulai debutnya di World’s Fair tahun 1964 di New York. Akarnya saja sudah sebegitu berbeda, jadi kalau tiba-tiba ada dough croissant dipenyet di mesin waffle, wajar kalau saya sebut mereka dikawinkan paksa, kan?
Selain akar sejarahnya yang jauh itu, croissant dan waffle ini semula juga dinikmati dengan cara dan dalam situasi yang berbeda. Di negara tempatnya dibesarkan (Prancis), croissant ini layaknya roti lain, tidak untuk diolesi mentega atau olesan apa pun di atasnya. Karena biasanya dough-nya sudah memiliki cita rasa yang khas, atau kalau mau dikasih variasi rasa ya di bagian dalam adonannya. Haram hukumnya bagi orang Prancis menambahkan olesan pada croissant.
Sedangkan waffle, sejak awal munculnya memang identik dengan adonan hambar untuk dimakan dengan berbagai topping mulai dari es krim, mapple syrup, atau bahkan cinnamon sugar. Lagi pula, waffle itu hidangan yang tujuannya untuk mempermudah orang menyiapkan sarapan, jadi kalau sekarang jadi croffle, ya hilang sudah marwah ke-simple-an waffle. Bikin dough croissant-nya saja sudah tidak lagi memungkinkan untuk dikerjakan di pagi hari yang serba hectic.
Kalau keraguan saya tadi mendekati kebenaran, mungkin perkawinan paksa croffle tanpa adanya pertemuan budaya dan bahkan saling menabrakkan diri ini, tidak perlu kita harapkan keberlanjutannya. Cukup kita nikmati saja sebelum redup pamornya. Sebelum kita lihat satu per satu orang akan kembali merindukan croissant dan waffle sebagaimana marwahnya masing-masing.
BACA JUGA Perkara Croissant di Jakarta yang Tampak Lebih Mahal daripada di Australia dan tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.