Setelah menjalani pernikahan lebih dari tiga tahun dan tentu saja akan saya pertahankan agar tetap jalan, menurut saya ungkapan cinta apa adanya itu benar-benar sesat. Kata-kata yang sok puitis itu kedengarannya saja romantis, padahal sebenarnya penuh dengan pembodohan dan pembohongan publik. Saya curiga, siapa sih yang pertama kali mempopulerkan ungkapan cinta apa adanya ini? Jangan-jangan antek teori konspirasi ya?
Soalnya begini, sebagai manusia kita semua terikat pada kesadaran kodrati dan sosial. Fakta kodrati yang tidak bisa ditolak sejak lahir sebagai manusia adalah perkara fungsi tubuh, gender, dan bentuk fisik. Fakta sosialnya berupa orang tua, lingkungan bertetangga, lingkaran pertemanan, sekolah, kuliah, hingga hiruk pikuk pekerjaan. Dan tentu saja sangat wajar kalau cinta memang sudah seharusnya tidak dilepaskan dari pakaian kodrati dan sosial itu.
Dari situlah pentingnya cinta ada apanya, bukan cinta apa adanya. Saya tidak menantang siapa pun yang menikah dengan tenang dalam berbagai kekurangan. Saya berkali-kali menyaksikan sendiri pasangan hidup yang berumah tangga dari kondisi fisik yang berbeda, si istri difabel tunanetra, si suami normal. Atau lihat saja contoh artis yang bertubuh kecil, kalau tidak mau disebut, mohon maaf, kerdil. Peter Dinklage satu yang paling sukses di dunia, pemeran Tyrion Lannister di Game of Thrones dan Eitri di Avengers: Infinity War.
Ini bukan soal itu, cinta ada apanya yang saya maksud bukan tentang tidak menerima kekurangan fisik. Justru lebih mendalam lagi, tentang manajemen risiko dalam pernikahan. Apalagi di Indonesia, mau apa pun agamanya, di negara ini kita hidup sebagai makhluk yang sangat religius. Semua perkara di negeri ini bisa dihukumi dengan fatwa dan teks-teks agama.
Makanya, pembahasan soal cinta ada apanya lebih dititikberatkan pada sifat dan tabiat pasangan, serta kompleksitas sosial yang saling bersengkarut didalamnya. Kan ya nggak mau dong punya pasangan hidup yang ngotot nggak mandi atau nggak gosok gigi seumur hidup? Kalau masalah pekerjaan, penghasilan, tampang, bentuk badan, kan bisa dikompromikan kemudian. Itu cuma hal kecil yang bisa dibicarakan secara berimbang, moderat, dan toleran.
Itulah mengapa saya merumuskan bahwa ungkapan cinta apa adanya adalah sebuah romantisme halu. Memangnya akan tetap cinta kalau pasangan melakukan domestic violence? Memangnya akan tetap cinta kalau suami cuma glundang-glundung di kasur tanpa usaha mencari penghasilan? Memangnya akan tetap cinta kalau istri hobi gaslighting sekaligus ghosting? Kalau iya, then you really need help.
Meskipun demikian, cinta juga harus didefinisikan dong, itulah gunanya konsep cinta ada apanya. Justru sama sekali tidak nge-judge pasangan, tapi malahan sejauh mana kita bisa mengenal diri kita sendiri lewat cara memahami pasangan. Ada apa dalam diri pasangan yang membuat kita cinta? Fisiknya? Uangnya? Sifatnya? Cara komunikasinya? Senyumnya? Surprise-nya? Flirting-nya? Nggak banyak omongnya? Ngeyelannya? Atau ngemongnya?
Cinta apa adanya dan “aku nggak bisa jelasin kenapa aku cinta sama kamu” adalah gombalan paling goblok yang pernah saya dengar. Kalau kalian masih blushing tersipu malu dengan ungkapan bodoh cinta apa adanya dan sejenisnya, berarti kalian sama sekali belum siap menikah. Mending nggak usah nikah lah, wong nikah itu sunnah aja lho.
Banyak lho ulama besar yang sampai mati nggak nikah, Imam Nawawi salah satunya. Idola retorika anak muda masa kini yang berulang kali trending setiap ada peristiwa politik juga belum nikah kok, tuh Bung Rocky Gerung juga. Mending gabung sama blio aja mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang.
Nggak nikah itu nggak hina lho, justru kalau kalian bisa menahan diri dari segala godaan ke-uwu-an konten Instagram anak-anak muda yang udah nikah duluan, malah hebat itu. Apalagi kalau mampu bertahan dari godaan Fiki Naki dan Dayana. Artinya, kalian mencintai diri sendiri dengan sempurna dan paripurna. Tahu bahwa pikiran dan perbuatan yang dilakukan adalah keputusan pribadi yang dipertanggungjawabkan secara kodrati dan sosial.
Justru malah dengan tidak menikah itu kalian menghindari mudharat yang lebih besar kayak perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, korupsi, dan penggelapan uang perusahaan, sampai konflik dengan bapak dan ibu kandung. Nah lho, kesempatan masuk ke surga dari pintu yang ada di telapak kaki ibu justru terancam sirna karena pernikahan yang nggak bertanggung jawab.
Akhirnya, hilir dari segala persoalan cinta yang saya jlentrehkan di atas adalah tentang pembuktian bahwa tidak ada yang namanya cinta apa adanya. Ada harapan dan tuntutan kita kepada pasangan, begitupun sebaliknya. Ada hasrat fisik dan fantasi yang mesti diejawantahkan dalam perbuatan.
Ada mekanisme saling memengaruhi demi mencapai keinginan, apakah itu berupa proses atau hasil permufakatan. Ada kejelasan tentang pembagian peran dan kesepakatan hak serta kewajiban. Ada indikator ketercapaian yang dievaluasi menyesuaikan tujuan.
Pasalnya kalau cuma gitu-gitu aja ya jadinya cuma kayak sinetron Ikatan Cinta, makin nggak jelas apa endgame-nya. Mending nonton fight scene antara Kylo Ren vs Black Widow di Marriage Story yang jelas-jelas menang 50 nominasi film. Jadi “widow” beneran deh Mba Scarlett habis ngamuk bareng suaminya, eh divorcee ding ya istilahnya.
BACA JUGA Saya Bukannya Antimenikah, tapi Punya Pertimbangan yang Kompleks dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.