Ibuku adalah mantan pedagang di halte bis kota yang tentu saja menjual rokok. Selain melewatkan masa kecil dengan menghapal nama-nama rute dan bus kota sebagai jawaban setiap orang yang datang tergopoh-gopoh dan bertanya apakah bis yang akan mereka naiki sudah lewat atau belum, aku juga bertumbuh sebagai anak yang hapal merk-merk rokok beserta harganya, baik harga plat-platan maupun harga ngecer. Kalau stok rokok di warung habis, tentu aku juga yang kulakan.
Aku mengenang merk rokok bagaikan merk produk barang yang lain: djarum super, sukun, sukun putih, gudang garam merah, mild, LA, wismilak, surya 16, juga beberapa merk rokok lokal super murah yang dibawa langsung oleh distributornya dari Kudus. Semua kuhapal di luar kepala agar transaksi ke transaksi berlangsung cepat.
Pedagang sejenis ibuku yang merupakan pedagang kecil di halte adalah pedagang yang menggantungkan kehidupan kepada penjualan rokok dan es teh. Dua hal itu lah yang keuntungannya bisa dihitung dan langsung kelihatan. Tentu saja aku tidak merokok karena terpapar sejenis kepercayaan bahwa merokok itu aktivitas laki-laki dewasa. Tapi, setiap ada orang yang beli rokok, tentu saja aku senang karena itu artinya, kami bisa punya uang.
Halte tempat ibuku berdagang, halte depan PLN Blora, adalah halte yang ramai disinggahi anak-anak SMA yang pulang sekolah. Saya tidak tahu sejak kapan anak-anak sekolah itu terpapar rokok. Pemahaman masa kanak-kanak saya menganggap rokok sebagai bahasa persahabatan anak laki-laki hahaha… Anak-anak itu biasanya juga beli rokok eceran di warung Ibu.
“Super, 2 biji.”
Lalu, satu batang mereka nyalakan. Satu batang dimasukkan ke kantong atau dipasang di telinga. Anak-anak SMA ini sering sekali ngutang ke Ibu. Sepuluh sampai lima belas tahun kemudian, alias hari ini ketika Ibu tidak lagi jualan di halte, terkadang Ibu bertemu dengan anak-anak SMA pengutang rokok yang profesinya macam-macam. Ada yang jadi sales biskuit, security bank, sampai pebisnis di pasar kota.
“Mak, isih eling aku?” | Mak, masih ingat sama saya?
“Sapa kowe?” | Siapa kamu?
“Halah. Bambang! Cah Todanan. Mbiyen sing gawene utang rokok ning sampeyan. Ketoke ya ana sing durung tak bayar lho.” | Halah. Bambang! Anak Todanan (nama satu kecamatan di Kota Blora). Dulu saya suka utang rokok di warung sampeyan. Sepertinya ada juga yang belum saya bayar lho sampai sekarang.
Lalu, si Mak Ni, ibuku itu, berpelukan dengan anak-anaknya itu.
Cerita-cerita persaudaraan dari halte memang selalu manis. Ada seorang nenek-nenek yang sampai hari ini masih sering mampir ke rumah untuk sekadar mengantar kerupuk dagangannya. Nenek tua itu, belasan tahun lalu kehabisan bus menuju Randublatung. Oleh Ibu, ia diminta menginap di rumah dulu karena hari sudah jelang malam. Pertolongan yang semalam saja itu membuatnya masih mengunjungi rumah kami sampai berbelas tahun kemudian untuk menghadiahi kami kerupuk pasir. Barang remeh yang sebetulnya bisa kami beli sendiri.
Ada juga cerita soal Yu Parinah. Yu Parinah adalah tukang sapu jalanan. Dulu, honor Yu Parinah amat kecil. Jadwal menyapunya adalah tepat tengah hari. Tiap kehausan, ia mampir warung Ibu untuk meneguk es teh. Ibu tidak membolehkannya membayar. Lama-lama, mereka sangat akrab seperti saudara. Sekarang Yu Parinah masih menyapu jalanan, tapi statusnya sudah pegawai negeri. Tiap musim panen, ia ke rumah membawakan panenan nangka dan ketela.
Rokok sering sekali jadi ramai. Yang terakhir adalah soal ketakutan anak-anak terpapar merk rokok yang jadi sponsor kegiatan olahraga. Aku tidak terlalu mengikuti kajian soal rokok, jadi tidak tahu menahu soal riset-riset terkini.
Hanya saja, kasus yang terakhir itu bagiku lucu sekali. Lembaga kasih pembinaan tapi tidak boleh muncul merknya. Itu pun nama merknya sebetulnya adalah nama lembaganya, bukan produknya.
Padahal, kalau mau niat membatasi, harusnya ya ini tugas Pemerintah. Bagaimana agar anak-anak SMA yang dulu ngutang rokok di Ibuku itu tidak bisa lagi beli rokok karena ada aturan pembatasan umur, misalnya. Bagaimana agar pembelian rokok tidak bisa ngecer, misalnya.
Ada banyak bentuk regulasi yang mungkin bisa dibikin seharusnya.
Omong-omong, di sudut-sudut perkampungan, ada banyak pertunjukan (dangdut) koplo dengan penyanyi sangat seronok dan pertunjukan itu bebas diakses anak-anak. Saya juga tahu hal tersebut dari Youtube.
Orang kota dengan standar moral progresip pasti berpikir bagaimana orang tua bisa membiarkan anak-anak nonton pertunjukan saweran sambil maju mundur begitu. Tapi mereka sering lupa kalau soal-soal yang sifatnya standar seringkali tidak sama. Ruang yang melingkupi anak-anak di kota pinggiran itu juga berbeda hehe.
He he.
[[Catatan besar-besar: Saya nggak dibayar siapa pun. Ini cuma status iseng yang sifatnya #mengenangkemiskinan saat transit lama nunggu flight lanjutan]]
BACA JUGA Patenkan Aja Nama Anak Kamu, Biar Malu Sendiri atau tulisan Kalis Mardiasih lainnya. Follow Facebook Kalis Mardiasih.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.