Berbekal kecintaan pada kopi dan kegemaran minum kopi di pagi hari, Jerry Baldwin, Gordon Bowker dan Zev Seigel membuka gerai Starbucks di Seattle pada 1971. Starbucks kemudian sukses besar dan berhasil mencatatkan diri sebagai franchise kopi nomor satu di muka bumi. Di Indonesia sendiri, tercatat ada 478 gerai Starbucks yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Jumlah ini sekaligus menempatkan Indonesia diurutan ke-7 sebagai negara dengan gerai terbanyak di dunia.
Harga minuman yang tergolong mahal, mulai dari Rp37 ribu sampai Rp100 ribu pergelas, tidak menyurutkan minat masyarakat Indonesia untuk membeli. Selain kualitas kopinya premium, Starbucks punya tim marketing yang patut diberi nilai A+, sebab berhasil membuat secangkir kopi yang biasa saja menjadi sebuah produk yang punya value tinggi.
Minum Starbucks di Indonesia tidak hanya dilihat sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan kafein. Melainkan untuk validasi strata sosial, bahwa orang yang hobinya nongkrong di Starbucks adalah manusia kaya dan berlebih secara materi. Terlepas beneran kaya atau tidak, nggak penting lagi, sebab masyarakat telanjur mengamini image Starbucks yang luxury.
Starbucks memilih siren sebagai logo perusahaannya. Siren adalah makhluk mitologi Yunani yang memiliki kekuatan merayu pelaut dengan bernyanyi. Berkat suaranya yang indah, siren selalu berhasil menggiring para pelaut menuju pulau kecil di Samudra Pasifik dan menahan pelaut-pelaut tersebut di sana. Kisah ini sangat sesuai dengan strategi Starbucks dalam merayu pelanggannya.
Melalui gerai yang interiornya homey dengan lantunan musik jazz yang berfungsi untuk relaksasi, customer dibuat nyaman sampai lupa pulang. Sering kali, kita terbuai dan rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar karena termakan strategi marketing yang disampaikan dengan manis dan ramah oleh baristanya. Nggak percaya? mari kita bahas satu per satu detailnya.
Starbucks kerap menggunakan strategi up-selling, yaitu mendorong konsumen untuk membeli produk yang lebih besar dan lebih banyak ketimbang produk awal yang konsumen pilih. Caranya dengan menawarkan produk tambahan berupa additional sirup, espresso short dan upgrade kualitas susu. Sebagai pembeli, kita sering “terjebak” dan tanpa sadar mengiyakan apa saja yang ditawarkan barista lalu menguras bersih isi dompet sendiri.
Contohnya, saat kita berencana membeli Java Chip Frappuccino ukuran grande seharga Rp62 ribu. Sesaat sebelum payment, barista selalu menawarkan pilihan tambahan dengan melontarkan pertanyaan template seperti ini “mau pakai sirup vanilla nggak? Atau mau extra short biar kopinya lebih terasa?” Jika kita menjawab “iya”. Selamat, Anda sudah terkena jebakan Batman!
Banyak customer beranggapan kalau menambahkan sirup vanilla, hazelnut, atau mocca itu gratis. Kenyataannya nggak gitu, Bestie. Meskipun baristanya menggunakan kata “mau pakai?” bukan “mau tambah?” itu hanya bahasa marketing yang artinya sama saja, kalian harus membayar ongkos tambahan untuk sirupnya. Starbucks sengaja tidak memberi tahu customer kalau sirup atau additional lain yang mereka tawarkan itu berbayar.
Tiap sirup harganya Rp6 ribu. Kalau kita nambah sirup aneka rasa. Monggo ditambahkan saja. Misalkan tambah dua sirup, berarti harga Java Chip Frappuccino-nya berubah menjadi Rp74 ribu atau lebih mahal dari harga awal yang hanya Rp62 ribu.
Nggak berhenti di situ. Jika kalian misalnya nggak suka sirup dan menjawab “tidak, terima kasih” kepada baristanya, mas atau mbak barista dengan senyum menawan akan memberikan tawaran lainnya. Mereka dengan cekatan akan berkata “susunya mau pakai oat atau diganti almond milk?” atau sejenisnya.
Sama seperti kasus yang pertama, kita sering nggak sadar kalau mengganti susu artinya mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Di Starbucks, mengganti susu biasa dengan almond milk ataupun oat milk akan membuat minuman kita diberi tambahan biaya sebesar Rp19 ribu. Artinya, jika segelas Java Chip Frappuccino grande awalnya hanya Rp62 ribu, mengganti susunya dengan almond milk berarti harus bayar Rp81 ribu. Jadi lebih mahal, Maszeh!
Customer yang tidak teliti rawan terjebak dengan penawaran tambahan tersebut. Sementara mereka yang teliti dan sering ke Starbucks, biasanya akan menolak semua tawaran tambahan tersebut jika tak ingin keluar uang lebih banyak. Namun, Starbucks ini mental jualannya seulet Real Madrid di UCL.
Meskipun kita menolak tawaran tambahan sirup dan emoh ganti susu, mereka nggak akan menyerah sampai di situ. Barista Starbucks akan mengubah strateginya dengan memberi kita iming-iming harga yang lebih murah jika membeli minuman dan makanan sekaligus. Bahasa marketingnya disebut cross-selling, mendorong customer untuk membeli produk berbeda yang masih berhubungan dengan produk awal yang konsumen pilih.
Dalam kasus Starbucks, mereka akan menawarkan kita produk yang biasa disebut pairing set (breakfast, lunch dan coffee break). Pairing set adalah menu paketan, selain minuman, kita akan mendapatkan makanan yang cocok dikonsumsi dengan minuman yang telah kita pesan. Hanya ada satu kata untuk menjawab tawaran pairing set: tidak!
Itu jika kamu nggak lapar. Kalau kamu lapar, ya apa boleh buat. Silakan keluarkan uangmu lebih banyak lagi untuk Starbucks.
Apakah hanya itu cara Starbucks agar uang kita keluar lebih banyak? TENTU TIDAK!. Starbucks juga menerapkan strategi decoy effects, yaitu fenomena di mana customer cenderung akan mengganti pilihan di antara dua opsi jika diberikan opsi ketiga yang tidak seimbang. Opsi ketiga sengaja dibuat dengan tujuan mendorong customer agar memilih mengeluarkan uang yang lebih banyak.
Misalnya nih, jika Starbucks memberikan customer pilihan Americano ukuran tall/kecil (354ml) dengan harga Rp37 ribu dan ukuran venti/besar (591ml) dengan harga Rp44 ribu. Customer akan cenderung memilih ukuran yang kecil karena murah apalagi selisih harga tall dan venti terlihat jauh.
Namun, Starbucks dengan pintarnya menghadirkan Americano ukuran grande/sedang (473ml) dengan harga Rp40 ribu, yang membuat pembeli bersedia mengeluarkan uang lebih banyak dan berpindah opsi dari yang awalnya pilih tall menjadi grande.
Saya yakin, jamaah Terminal Mojok kalau ke Starbucks pasti belinya ukuran grande juga, kan? Nggak apa-apa, kalian nggak sendirian. Kita semua bagaikan domba tersesat yang digiring Starbucks untuk minum di cawan yang sama. Saya pernah bertanya ke barista Starbucks tentang ukuran gelas yang paling banyak dipesan customer, dan jawabannya memang yang ukuran grande itu.
Nggak berhenti di situ, doang. Starbucks masih berusaha mengambil isi kantong kita lebih banyak lagi dengan memberikan beraneka ragam pilihan promo. Jika dilihat sekilas, promo memang nampaknya membuat kita lebih hemat. Faktanya, promo justru mendorong nafsu konsumtif dalam diri kita secara masif, dan ujung-ujungnya membuat kita lebih boros.
Contoh sederhananya, ketika memutuskan membeli tumbler Starbucks seharga Rp600 ribu. Selain ingin mengurangi penggunaan gelas plastik, kita pasti tergiur pula dengan iming-iming diskon 50 persen saat tumbler day dan diskon Rp3 ribu setiap harinya.
Masalahnya, kehadiran tumbler justru membuat kita melangkahkan kaki dengan enteng ke Starbucks. Kita rutin datang ke gerai Starbucks dengan pikiran harga minumannya lebih murah karena punya tumbler. Padahal, kalau nggak punya tumbler, bisa jadi kita nggak pernah kepikiran membuang uang Rp60 ribu setiap hari demi secangkir kopi.
Jika bersedia mengevaluasi diri, kehadiran promo justru membuat kita keluar uang lebih banyak dan lebih mudah, kan? Ini baru promo tumbler, loh, ya. Belum promo lain yang jumlahnya buanyak itu.
Pada akhirnya, serangkaian strategi marketing tersebut ditutup dengan indah oleh Starbucks melalui kepintarannya membangun branding dan image positif. Starbucks konsisten mengkampanyekan program mencintai lingkungan dengan cara menggunakan tumbler dan menjual reusable cup untuk mengurangi penggunaan gelas plastik.
Padahal, tumbler dan reusable cup tersebut dibeli customer dengan uang yang nggak sedikit, bukannya dibagi-bagikan gratis oleh Starbucks demi menjaga lingkungan. Simpelnya, customer yang keluar uang, Starbucks yang menjadi pahlawan lingkungan. Jan, cerdas tenan!
Itulah usaha-usaha yang Starbucks lakukan untuk bikin kita merogoh kocek kita lebih dalam. Apakah itu salah? Ya nggak juga, namanya juga strategi. Pada akhirnya, agar tak mudah tergiur, kita harus jadi pelanggan yang cerdas, secerdas silet.
Eh nggak gitu ya? Ya pokoknya gitulah.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nongkrong di Starbucks Itu Murah, Asal Tahu Strateginya