Sudah hampir 74 tahun Indonesia merdeka, sudah selama itu pula bangsa ini mengakhiri perjuangan melawan penjajahan. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, berbagai macam sistem konstitusi telah diuji coba, dua orde telah lama lewat dan era reformasi menandakan betapa kebebasan itu perlu dan dibutuhkan untuk membangun Indonesia di masa mendatang.
Tapi, betulkah kita sudah benar-benar merdeka? Jawabannya tak mudah dirumuskan apakah sudah benar-benar merdeka atau belum sama sekali. Sebab kita belum berhenti untuk berjuang, belum ada kata akhir untuk capaian-capaian yang ingin dan akan diraih.
Sebelum era kemerdekaan, tujuan bangsa ini hanya satu—mencapai kemerdekaan dan menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat. Betapa ini menjadi harapan dan cita-cita yang amat berharga bagi bangsa yang lebih dari tiga ratus lima puluh tahun berada di bawah tekanan kolonialisme.
Mungkin kita sudah benar-benar merdeka dalam arti tidak ada lagi penjajahan, tetapi bersamaan dengan itu, problem-problem baru-pun bermunculan. Kita masih sangat ingat kata-kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Sekarang, betapa kita menjadi sangat mengerti bahwa untuk membangun sebuah bangsa yang besar dan maju, perjuangan itu akan lebih sulit ketimbang melawan penjajah itu sendiri.
Di era penjajahan, musuh bangsa ini hanya satu, kaum penjajah yang sama sekali berbeda dengan kita, baik warna kulit, bahasa bahkan agama. Tetapi para pahlawan terdahulu telah membuktikan bahwa tidaklah mustahil bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan dan menancapkan panji-panji kemerdekaan secara mutlak dalam api semangat dan nasionalisme. Tidak ada kompromi untuk penjajah, seperti ungkap Tan Malaka bahwa Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.
Sekarang kita tak lagi hidup di era itu, kita lahir dan tumbuh dalam suasana yang amat merdeka tanpa ada tekanan dari pihak manapun atas nama penjajahan. Namun, merdeka dalam hal keadilan dan kesejahteraan, sayangnya belum benar-benar kita capai bahkan hingga detik ini. Permasalahan-permasalahan bangsa Indonesia menjadi semakin runcing dan pelik justru ketika berjuang melawan bangsanya sendiri.
Jika kita mengikuti logika linier bagaimana keadaan Indonesia, barangkali kita menjadi bangsa yang begitu kuat dan benar-benar maju. Betapa tidak, kita memiliki semuanya, kekayaan alam, kekayaan kultur, sumber daya manusia yang begitu banyak, tapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Kita menjadi bangsa yang miskin dan ketimpangan ada di mana-mana. Apa yang salah dengan negeri ini?
Untuk menjawab pertanyaan yang amat sulit itu, kita perlu kembali ke ungkapan Bung Karno, bahwa yang menyebabkan kita begitu mandul dalam hal kemajuan dan begitu miskin akan kesejahteraan adalah diri kita sendiri, bangsa kita sendiri dan ulah tangan-tangan kotor mereka yang bicara atas nama kesejahteraan tetapi mencuri uang rakyat, mereka yang bicara atas nama keadilan tetapi menjadikan hukum kita rapuh dan mereka yang bicara atas nama nasionalisme tetapi malas bekerja. Belum lagi terhadap penghianat bangsa dan ingin menghancurkan NKRI atas nama sistem yang mereka anggap lebih layak semacam khilafah atau negara agama.
Merekalah musuh-musuh kita, bangsa sendiri dan betapa sulitnya perjuangan ini. Itulah sebabnya saat Bung Karno dijatuhkan oleh Soeharto, beliau tidak mau melawan, padahal beliau mampu. “Berat rasanya melawan bangsa sendiri, aku tak sanggup”, begitu ungkap Bung Karno. Ini menunjukkan betapa berjuang melawan bangsa sendiri tidaklah mudah, bahkan sekelas Bung Karno pun tumbang.
Tentu sejarah menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Kita tak boleh lupa akan sejarah, seperti sejarah kemerdekaan yang merupakan titik balik akan semangat dan awal mula harapan-harapan besar ditancapkan, cita-cita di mana kesejahteraan dan keadilan menjadi agenda masa depan yang begitu penting. Kita masih jauh dari cita-cita itu, tetapi bukan kemustahilan untuk mencapainya. Sebab kita punya aset-asetnya dan kita punya bahan untuk menggapainya.
Melawan bangsa sendiri bukan hanya menjadi PR besar bagi kita semua, tetapi juga harus benar-benar menjadikan jiwa juang kita tumbuh lagi, bak para pahlawan menghadapi para penjajah. Sebab rintangan yang disebabkan oleh ulah tangan-tangan kotor tak bertanggungjawab akan selamanya menjadi penghalang bagi tercapainya cita-cita besar itu. kita perlu berjuang melawannya, berjuang membasmi para penghianat bangsa dan kepada mereka yang tak tahu rasa terimakasih.
Lalu bisa apa kita? Korupsi di mana-mana bahkan pada birokrasi yang paling kecil-pun korupsi itu sudah menggurita, nepotisme menjadi bagian dari agenda politik untuk kepentingan sendiri dalam membangun monarki-monarki kecil, dan yang juga tak kalah akutnya adalah persekongkolan-persekongkolan para penguasa untuk tujuan yang tak benar dan justru sangat menghambat kemajuan dan kesejahteraan. Tindakan-tindakan bodoh dan tak bertanggungjawab ini, harus kita lawan dan tak ada kompromi bagi kesadaran palsu para penindas ini.
Terakhir, kepada mereka yang jelas-jelas penghianat bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama, kita tak akan takut dan sudah seharusnya berjuang melawannya. NKRI harga mati, UUD 1945 kitab baku bangsa Indonesia, Pancasila adalah ideologi pemersatu yang dapat mengayomi semuanya, dan Bineka Tunggal Ika sebagai keragaman dan kekayaan yang harus tetap dijaga dan dirawat sampai kapanpun. Kita harus berkata ‘tidak’ kepada permusuhan, kebencian dan .adu domba.