Faktor pendidikan
Kedua, kita bahas soal pendidikan. Sebagai referensi saja, menurut cerita orang-orang yang pernah tinggal di Jepang, mereka menyaksikan sendiri gimana pendidikan negara sakura itu dalam mengampanyekan literasi.
Di Jepang, sejak kelas satu SD murid-murid hampir setiap hari dapat tugas membaca. Kalau saya SD dulu tugasnya menggambar. Template lagi gambarnya, gunung kembar, ada sawahnya, ada jalannya, dan matahari di tengah-tengah. Gitu aja terus.
Tugas membaca bagi siswa SD di Jepang, harus dilakukan dengan nada suara yang keras. Tujuannya adalah agar keluarga mendengar, setelah itu salah seorang keluarga harus memberikan tanda tangan sebagai bukti bahwa anaknya sudah mengerjakan PR. Seumur-umur, saya tidak pernah menemui tugas yang beginian di Indonesia. Kalaupun ada, tugasnya adalah membaca kisi-kisi untuk ujian. Itu pun dibaca atau nggak, gurunya tak peduli.
Lanjut. Slogan-slogan tentang pentingnya membaca yang terpampang di sekolah-sekolah kita, rasanya tak lebih dari sekadar hiasan untuk mempercantik lorong dan formalitas belaka. Loh kok iso? Yo iso. Gini, seberapa jauh slogan itu dibarengi dengan langkah praksis dunia pendidikan kita? Ya paling mentok memberi PR untuk membaca kisi-kisi tadi.
Toh tabiat sistem pendidikan kita lebih senang mendidik untuk menghafal, mendidik untuk nurut, mendidik bahwa guru sumber kebenaran. Jadi, ya buat apa repot-repot membaca, kalau ujung-ujungnya yang dibaca tidak sesuai dengan keinginan guru?
Minat baca rendah adalah konsekuensi logis
Maka sebenarnya, kegemaran masyarakat memanfaatkan buku sebagai bungkus nasi kucing dan petasan adalah konsekuensi logis dari lingkungan-lingkungan kita. Karena ya memang dididiknya seperti itu. Ingat, gemar membaca itu bukan bakat, apalagi bawaan dari sononya, tapi harus dididik sedari dini. Kaya Jepang itulah minimal, contohnya.
Dear pemerintah, kalau mau benar-benar mengampanyekan literasi membaca, minimal dua itu tadi harus dibenahi dulu. Pertama soal kesejahteraan masyarakat, dan kedua sistem pendidikan kita. Tugasnya sudah ringan lho, dengan hadirnya kesadaran kolektif masyarakat dengan membuka taman baca, perpus keliling, itu pun sering dibredeli, hadehhh.
Penting kok membaca itu, saya sepakat. Setidaknya kalau tidak bisa mengubah dunia, tapi bisa mengubah sudut pandang kita terhadap dunia. Tapi sekali lagi, kalau tingkat membaca kita rendah, jangan serta merta salahkan penjual nasi kucing dengan bungkusnya yang dari buku, jangan juga salahkan yang gemar menjadikan buku sebagai petasan, wong yo pancen dididiknya seperti itu.
Penulis: Faiz Al Ghiffary
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rendahnya Minat Baca Masyarakat Indonesia Itu Bukan Hoax, Saya Jadi Korbannya!