Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Hiburan Buku

Book Shaming: Merampas Kemerdekaan dengan Menghakimi Buku yang Mereka Baca

M. Farid Hermawan oleh M. Farid Hermawan
4 Mei 2019
A A
menghakimi buku

menghakimi buku

Share on FacebookShare on Twitter

Kemarin saya sempat mengikuti sebuah ribut-ribut di salah satu postingan akun di Instagram. Postingan itu menyebut bahwa Anak Millenial lebih mengenal Fiersa besari, Tere Liye dan sejenisnya dibanding Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Hingga akhirnya ada salah satu penulis yang memberikan komentar terhadap postingan tersebut. Ia mengangkat istilah book shaming yang ternyata saat ini masih menjadi racun bagi para pembaca yang tidak hanya di Indonesia namun juga dunia.

Book shaming seolah-olah menjadi sesuatu yang sering kita temui namun masih enggan untuk kita gaungkan bunyinya. Ketika saya membaca ribut-ribut tentang betapa tidak beradabnya seorang pembaca millennial yang lebih mengidolakan penulis masa kini ketimbang penulis-penulis zaman dahulu di akun Instagram tersebut. Saya akhirnya berpikir bahwa kenyataannya memang ada penghakiman tersendiri bagi orang-orang yang tidak sejalan genre bacaannya. Saya pun kembali mengingat bahwa nyatanya banyak orang melakukan hal tersebut.

Penghakiman terhadap apa yang seseorang baca seolah menjadi suatu kemunduran di tengah perjuangan bangsa Indonesia saat ini untuk meningkatkan minat baca di masyarakatnya. Berkaca dari kejadian book shaming saya teringat kutipan dari seorang Muhammad Hatta yang dengan gamblang menyatakan bahwa membaca adalah sebuah kebebasan. Seperti yang beliau sampaikan berikut ini “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Bung Hatta dengan berani menyebut bahwa hanya dengan membaca ia menjadi seseorang yang sangat merdeka. Lantas kok kita yang sudah maju teknologinya saat ini masih senewen dengan kemerdekaan orang lain?

Memang sih menghakimi seseorang lewat bacaan sering tidak disadari oleh pelakunya. Ada mereka yang menganggap bahwa membaca buku cinta-cintaan adalah sebuah dosa besar bagi seorang pembaca. Apalagi jika sebelumnya ia dikenal suka membaca buku Pram lantas ia membaca buku dari seorang Boy Candra, maka ia disebut seseorang yang tidak mengerti mana yang karya sastra dan mana yang isinya cuma cinta-cintaan. Lah kok gitu? Kata “cuma” itu kejam lho. Masa hanya dengan bacaan romansa yang tentu proses pembuatannya juga perlu keahlian berdiksi dan ilmu sastra dianggap bukan buku yang berkontribusi dalam perkembangan sastra Indonesia saat ini.

Masih banyak kaum yang sangat senang mengkotak-kotakkan  jenis buku bacaan dengan tingkat intelegensinya. Ada mereka yang menganggap bahwa remaja-remaja usia labil tidak akan pernah berkembang pengetahuannya dan intelektualnya jika  bacaannya hanya cerita romansa dari penulis-penulis muda yang saat ini sedang naik daun. Ada juga mereka yang menganggap bahwa orang-orang yang bacaannya Plato, Nietzsche, Soe Hoek Gi hingga Pramoedya Ananta Toer akan sangat berdosa jika harus membaca buku-buku penulis seperti Wira Nagara, Fiersa Besari, Tere Liye hingga Boy Candra.

Ada penghakiman yang masih berlangsung di kehidupan masyarakat Indonesia saat ini terkait jenis buku yang dibaca. Aneh tentu saja, padahal ketika kita mendewakan mazhab penulis mana yang kita baca maka secara tidak langsung kita akan membuat bangsa ini semakin terpecah hanya dengan masalah sepele, bacaan doang. Tidak perlu sombong ketika sudah mengkhatam triloginya Pramoedya Ananta Toer atau Madilog-nya Tan Malaka. Jangan juga terlalu sok intelektualis jika sudah sampai di halaman terakhir buku Republik-nya Plato.

Semua ada momentum dan eranya bosque para pelaku book shaming. Kita tidak akan pernah menjadi bodoh ketika membaca buku Catatan Juang seorang Fiersa Besari. Tidak akan menjadi terbelakang ketika membaca buku Distilasi Alkena-nya Wira Nagara dan tidak akan pernah menjadi alay ketika membaca buku-buku bertema cinta seorang Tere Liye. Semuanya adalah aset bangsa dan mereka semua adalah orang-orang yang layak disebut pahlawan untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Sudah sadarkah kalian bahwa dengan adanya penulis-penulis muda Indonesia saat ini, banyak remaja memiliki hobi membaca. Semua ada masanya.

Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma. Mereka adalah beberapa penulis yang lahir memang di era mereka masing-masing. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa mereka yang tidak membaca karya penulis-penulis tersebut tidak layak disebut sebagai pembaca. Akan sangat aneh jika kita berpikiran pendek seperti itu. Sebuah karya bukan ajang untuk saling didebat mana yang bagus dan mana yang buruk.

Baca Juga:

Alasan Gramedia Tidak Perlu Buka Cabang di Bangkalan Madura, Nggak Bakal Laku!

Surat Terbuka untuk Para Penimbun Buku di iPusnas, Apa yang Kalian Lakukan Itu Jahat  

Karya adalah sebuah proses mengukir keabadian. Buktinya hingga saat ini, karya-karya Pram, Chairil Anwar, Pak Sapardi dan Seno Gumira Ajidarma masih menjadi bacaan yang menarik untuk dibaca. Masih menjadi bahan referensi bagi para penulis muda. Jadi tidak ada yang namanya penulis zaman dahulu itu hebat dan penulis zaman sekarang alay. Janganlah menjadi seperti yang Rocky Gerung sering katakan, “Dungu”.

Lantas apakah para penulis layak untuk dikotak-kotakkan? Tidak, itu adalah tindakan yang tidak bijak. Karena penulis bukan untuk diadu domba. Penulis adalah mereka yang harus diapresiasi karyanya. Mengintimidasi orang lain lewat bacaan adalah tindakan pengecut. Ya iyalah pengecut, wong membaca yang kata Bung Hatta adalah sebuah kemerdekaan. Kok situ enak betul hina-hina jenis buku yang dibaca.

Aktivitas membaca yang sedang digalakkan untuk selalu ditingkatkan janganlah di kotori dengan hal-hal yang terlalu aneh. Sudah cukup soal penyitaan buku-buku yang dilakukan aparat negara kemarin. Janganlah berdebat tentang mazhab buku yang dibaca dan siapa penulisnya. Tiap penulis punya eranya masing-masing, punya karakter bukunya masing-masing. Tidak ada kalau baca buku Pram berarti sudah dianggap sastrawi. Tidak ada kalau baca buku Fiersa Besari di cap melow-melow sendu. Saya yakin semua penulis Indonesia adalah orang-orang yang memiliki adab antar sesama penulis. Semua penulis pastinya saling menghargai karya satu sama lain, Baik itu deretan penulis era dahulu dan penulis era sekarang. Kita sebagai pembaca janganlah menjadi goblok dengan perilaku penghakiman yang tak perlu. Membaca adalah sebuah proses pencarian ilmu dan pengetahuan. Semakin kamu membatasi diri dengan jenis buku apa yang akan dibaca, maka pastilah semakin terbatas ilmu pengetahuan yang akan didapat.

Sebagai penutup, izinkan saya menutup tulisan ini dengan kalimat seorang Voltaire.

“Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun.”

Terakhir diperbarui pada 18 Oktober 2021 oleh

Tags: Book ShamingBukuSastra
M. Farid Hermawan

M. Farid Hermawan

Manusia

ArtikelTerkait

Menghindari Perilaku Tsundoku, Membeli Banyak Buku Namun Tidak Dibaca terminal mojok

Menghindari Perilaku Tsundoku, Membeli Banyak Buku Namun Tidak Dibaca

10 Juli 2021
The Power of No: Sebuah Panduan untuk Berhenti Jadi People Pleaser

The Power of No: Sebuah Panduan untuk Berhenti Jadi People Pleaser

26 Juni 2022
7 Alasan Buku Self-Help Nggak Selalu Membantu Hidupmu motivasi

7 Alasan Buku Self-Help Nggak Selalu Membantu Hidupmu

14 Februari 2023
[injam buku teman buku bajakan etika meminjam buku bacaan terminal mojok.co

Memotret Buku lalu Menguploadnya di Media Sosial itu Sebenarnya Buat Apa, Sih?

14 Agustus 2019
Skripsi souvenir informan Perhatikan 5 Hal Ini Kalau Nggak Mau Ditolak Responden Penelitian terminal mojok.co

4 Alasan Kenapa Mahasiswa Sastra Mudah Punya Pacar

3 Mei 2019
bodo amat

Bodo Amat dengan Buku “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”

20 Mei 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

15 Desember 2025
Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

17 Desember 2025
Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

16 Desember 2025
Jalur Wlingi-Karangkates, Penghubung Blitar dan Malang yang Indah tapi Mengancam Nyawa Pengguna Jalan

Jalur Wlingi-Karangkates, Penghubung Blitar dan Malang yang Indah tapi Mengancam Nyawa Pengguna Jalan

17 Desember 2025
Toyota Vios, Mobil Andal yang Terjebak Label "Mobil Taksi"

Toyota Vios, Mobil Andal yang Terjebak Label “Mobil Taksi”

16 Desember 2025
5 Tayangan Netflix yang Sebaiknya Jangan Ditonton Saat Makan, Bikin Mual! Mojok.co

5 Tayangan Netflix yang Sebaiknya Jangan Ditonton Saat Makan, Bikin Mual!

12 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur
  • Fedi Nuril Jadi Mantan “Raja Tarkam” dan Tukang Judi Bola di Film Bapakmu Kiper
  • Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang
  • Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal
  • Lulusan IPB Sombong bakal Sukses, Berujung Terhina karena Kerja di Pabrik bareng Teman SMA yang Tak Kuliah
  • Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.