Kemarin saya sempat mengikuti sebuah ribut-ribut di salah satu postingan akun di Instagram. Postingan itu menyebut bahwa Anak Millenial lebih mengenal Fiersa besari, Tere Liye dan sejenisnya dibanding Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Hingga akhirnya ada salah satu penulis yang memberikan komentar terhadap postingan tersebut. Ia mengangkat istilah book shaming yang ternyata saat ini masih menjadi racun bagi para pembaca yang tidak hanya di Indonesia namun juga dunia.
Book shaming seolah-olah menjadi sesuatu yang sering kita temui namun masih enggan untuk kita gaungkan bunyinya. Ketika saya membaca ribut-ribut tentang betapa tidak beradabnya seorang pembaca millennial yang lebih mengidolakan penulis masa kini ketimbang penulis-penulis zaman dahulu di akun Instagram tersebut. Saya akhirnya berpikir bahwa kenyataannya memang ada penghakiman tersendiri bagi orang-orang yang tidak sejalan genre bacaannya. Saya pun kembali mengingat bahwa nyatanya banyak orang melakukan hal tersebut.
Penghakiman terhadap apa yang seseorang baca seolah menjadi suatu kemunduran di tengah perjuangan bangsa Indonesia saat ini untuk meningkatkan minat baca di masyarakatnya. Berkaca dari kejadian book shaming saya teringat kutipan dari seorang Muhammad Hatta yang dengan gamblang menyatakan bahwa membaca adalah sebuah kebebasan. Seperti yang beliau sampaikan berikut ini “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Bung Hatta dengan berani menyebut bahwa hanya dengan membaca ia menjadi seseorang yang sangat merdeka. Lantas kok kita yang sudah maju teknologinya saat ini masih senewen dengan kemerdekaan orang lain?
Memang sih menghakimi seseorang lewat bacaan sering tidak disadari oleh pelakunya. Ada mereka yang menganggap bahwa membaca buku cinta-cintaan adalah sebuah dosa besar bagi seorang pembaca. Apalagi jika sebelumnya ia dikenal suka membaca buku Pram lantas ia membaca buku dari seorang Boy Candra, maka ia disebut seseorang yang tidak mengerti mana yang karya sastra dan mana yang isinya cuma cinta-cintaan. Lah kok gitu? Kata “cuma” itu kejam lho. Masa hanya dengan bacaan romansa yang tentu proses pembuatannya juga perlu keahlian berdiksi dan ilmu sastra dianggap bukan buku yang berkontribusi dalam perkembangan sastra Indonesia saat ini.
Masih banyak kaum yang sangat senang mengkotak-kotakkan jenis buku bacaan dengan tingkat intelegensinya. Ada mereka yang menganggap bahwa remaja-remaja usia labil tidak akan pernah berkembang pengetahuannya dan intelektualnya jika bacaannya hanya cerita romansa dari penulis-penulis muda yang saat ini sedang naik daun. Ada juga mereka yang menganggap bahwa orang-orang yang bacaannya Plato, Nietzsche, Soe Hoek Gi hingga Pramoedya Ananta Toer akan sangat berdosa jika harus membaca buku-buku penulis seperti Wira Nagara, Fiersa Besari, Tere Liye hingga Boy Candra.
Ada penghakiman yang masih berlangsung di kehidupan masyarakat Indonesia saat ini terkait jenis buku yang dibaca. Aneh tentu saja, padahal ketika kita mendewakan mazhab penulis mana yang kita baca maka secara tidak langsung kita akan membuat bangsa ini semakin terpecah hanya dengan masalah sepele, bacaan doang. Tidak perlu sombong ketika sudah mengkhatam triloginya Pramoedya Ananta Toer atau Madilog-nya Tan Malaka. Jangan juga terlalu sok intelektualis jika sudah sampai di halaman terakhir buku Republik-nya Plato.
Semua ada momentum dan eranya bosque para pelaku book shaming. Kita tidak akan pernah menjadi bodoh ketika membaca buku Catatan Juang seorang Fiersa Besari. Tidak akan menjadi terbelakang ketika membaca buku Distilasi Alkena-nya Wira Nagara dan tidak akan pernah menjadi alay ketika membaca buku-buku bertema cinta seorang Tere Liye. Semuanya adalah aset bangsa dan mereka semua adalah orang-orang yang layak disebut pahlawan untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Sudah sadarkah kalian bahwa dengan adanya penulis-penulis muda Indonesia saat ini, banyak remaja memiliki hobi membaca. Semua ada masanya.
Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma. Mereka adalah beberapa penulis yang lahir memang di era mereka masing-masing. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa mereka yang tidak membaca karya penulis-penulis tersebut tidak layak disebut sebagai pembaca. Akan sangat aneh jika kita berpikiran pendek seperti itu. Sebuah karya bukan ajang untuk saling didebat mana yang bagus dan mana yang buruk.
Karya adalah sebuah proses mengukir keabadian. Buktinya hingga saat ini, karya-karya Pram, Chairil Anwar, Pak Sapardi dan Seno Gumira Ajidarma masih menjadi bacaan yang menarik untuk dibaca. Masih menjadi bahan referensi bagi para penulis muda. Jadi tidak ada yang namanya penulis zaman dahulu itu hebat dan penulis zaman sekarang alay. Janganlah menjadi seperti yang Rocky Gerung sering katakan, “Dungu”.
Lantas apakah para penulis layak untuk dikotak-kotakkan? Tidak, itu adalah tindakan yang tidak bijak. Karena penulis bukan untuk diadu domba. Penulis adalah mereka yang harus diapresiasi karyanya. Mengintimidasi orang lain lewat bacaan adalah tindakan pengecut. Ya iyalah pengecut, wong membaca yang kata Bung Hatta adalah sebuah kemerdekaan. Kok situ enak betul hina-hina jenis buku yang dibaca.
Aktivitas membaca yang sedang digalakkan untuk selalu ditingkatkan janganlah di kotori dengan hal-hal yang terlalu aneh. Sudah cukup soal penyitaan buku-buku yang dilakukan aparat negara kemarin. Janganlah berdebat tentang mazhab buku yang dibaca dan siapa penulisnya. Tiap penulis punya eranya masing-masing, punya karakter bukunya masing-masing. Tidak ada kalau baca buku Pram berarti sudah dianggap sastrawi. Tidak ada kalau baca buku Fiersa Besari di cap melow-melow sendu. Saya yakin semua penulis Indonesia adalah orang-orang yang memiliki adab antar sesama penulis. Semua penulis pastinya saling menghargai karya satu sama lain, Baik itu deretan penulis era dahulu dan penulis era sekarang. Kita sebagai pembaca janganlah menjadi goblok dengan perilaku penghakiman yang tak perlu. Membaca adalah sebuah proses pencarian ilmu dan pengetahuan. Semakin kamu membatasi diri dengan jenis buku apa yang akan dibaca, maka pastilah semakin terbatas ilmu pengetahuan yang akan didapat.
Sebagai penutup, izinkan saya menutup tulisan ini dengan kalimat seorang Voltaire.
“Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun.”