Kalau emansipasi itu didasarkan atas asas keadilan dan kesetaraan, maka selain emansipasi wanita mustinya juga harus ada emansipasi laki-laki, bukan?
Sebelum itu, mari kita intermezo sejenak. Mari kita awali dari hal yang sangat sederhana yang sedikit menggelitik otak saya. Ketika perempuan sama-sama perempuannya bertemu, mereka akan dengan santainya cipika-cipiki tanpa khawatir diledekin lesbian. Namun bayangkan ketika sama laki-lakinya cupika-cupiki, mengapa justru banyak yang merasa jijik dan risih? Bahkan kemungkinan besar akan dilabeli homo. Gak imbang, kan?
Emangnya gak boleh ya kalo laki sama lakinya pas ketemu tempel pipi kanan tempel pipi kiri?
Eh, bentar dulu. Sebelum melanjutkan tulisan ini. Biarkan saya berdoa terlebih dahulu. Bismillah. Aku berlindung pada tuhan dari komentar kalian yang membaca tulisan ini agar tidak menganggap diriku sebagai orang yang LGBT atau orang yang mendukung gerakan semacam itu. Amiin.
Biar semakin saya perjelas. Meski pengalaman saya dalam hal romantis-romantis dengan lawan jenis belum begitu banyak (padahal belum pernah sama sekali, hiks) jangan kira saya lantas banting setir memilih untuk menyukai yang sesama jenis. Tanda laki-laki normal yang masih suka sama cewek itu tidak harus dengan punya pacar, bukan.
Ok baik. Hal itu tadi, tentang cipika-cipiki sama cowoknya yang dianggap masih tabu, harus saya luruskan dan saya bela dari pihak laki-laki sebab seolah sudah “diambil alih” oleh kaum wanita. Meski saya sendiri masih belum berani melakukannya, tapi beropini terlebih dahulu masih boleh kan? hehe. Ekpresi itu bebas tanpa harus memandang gender, bukan?
Baik, basa-basinya kita cukupkan, mari kembali ke jalan yang benar.
Nyatanya, bias gender yang sudah selama ini tertanam di benak banyak orang sudah merambah ke hal-hal yang paling mendasar. Ada polarisasi dalam berbagai hal yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin atau gender. Beberapa hal dikaitkan dengan salah satu gender seolah menjadi hak mereka tanpa melibatkan gender lain. Masing-masing gender seperti mempunyai hak-hak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Kita beri contoh saja yang paling umum, bahwa perempuan itu ngurusi rumah sementara laki-laki yang kerja dan mencari nafkah.
Berbicara emansipasi, adalah suatu yang kurang adil bila banyak perempuan selalu menggugat perannya di masyarakat yang hanya terbatas pada hal-hal domestik sementara masih sedikit laki-laki yang mau bersuara lantang betapa lelahnya melayani persepsi umum dan ekspektasi tinggi masyarakat bahwa lelaki itu harus bekerja.
Maka sudah senyatanya saya katakan bahwa bila gerakan emansipasi wanita itu ada, semestinya emansipasi laki-laki pun juga harus ada. Arah geraknya ya jelas. Bila emansipasi perempuan bertujuan menaikkan harkat dan martabat perempuan, maka emansipasi laki-laki bertujuan untuk menurunkan derajat ekpektasi masyarakat terhadap peran laki-laki.
Jangan kira, memenuhi ekspektasi masyarakat yang teramat tinggi tidaklah mudah bagi kaum laki-laki. Bahwa laki-laki harus bekerja, bahwa laki-laki tak boleh nangis, bahwa laki-laki itu kuat bisa mengurus dirinya sendiri dan tak boleh mengeluh. Mari kendorkan sedikit ekspektasi dan persepsi yang sudah teramat tinggi ini.
Seperti yang saya baca dalam sebuah artikel, bahwa beberapa hal seperti halnya tak boleh bersikap lemah, tak boleh menangis, tidak pantas menyukai warna pink, dan sebagainya, itulah yang didapatkan oleh laki-laki di tengah masyarakat dengan budaya patriarki yang berkembang. Paksaan untuk menjadi superior dan berkarakter keras itulah takdir berat bagi seorang lelaki di negeri ini.
Emang laki-laki nggak boleh nangisan? Nggak boleh suka warna pink? Nggak boleh baperan? Dan Nggak boleh cipika-cipiki dengan sesama lelakinya? Trus kenapa kalau untuk perempuan seolah semua itu seperti terlihat wajar bagi mereka? Cowok nangisan dan perasa (baperan) dibilang kayak cewek, tapi bila cewek nangisan dan perasa itu dianggap wajar dan seolah memang itu kodratnya. Sejak kapan nangis itu cuma punya cewek? Sejak kapan laki-laki nggak boleh nangis.
Beberapa hal dikaitkan dengan perempuan yang parahnya, hal itu akan dianggap tabu bagi laki-laki. Begitu pula sebaliknya. Kalau sudah demikian, apakah emansipasi sudah senyatanya membawa kesetaraan antara dua gender antara laki-laki dan perempuan? Menurut saya, dalam hal ini, perempuan menuntut kenaikan derajat lewat emansipasinya, sementara lelaki malah terjebak dan “terpaksa” melaksanakan ekspektasi-ekspektasi superioritas yang dilabeli oleh masyarakat sebab belum punya gerakan emansipasi.
Bagaimana lelaki harus melalui kesedihannya bila menangis saja takut dibilang lemah? Bila kesedihan adalah hal yang natural terjadi terhadap kedua gender, mengapa menangis yang menjadi ekspresi natural seolah akan wajar bagi wanita tapi ‘aib bagi laki-laki? Begitu juga dengan perihal warna kesukaan, cara berkekspresi ketika bertemu dengan teman, dan hal-hal lainnya. Lelaki seperti harus tega dan bersikap keras terhadap dirinya sendiri.
Tak perlu jauh-jauh sampai pembagian peran sosial di mana tanggung jawab mencari nafkah lebih diberatkan pada laki-laki, mari kita lihat dalam hal berbusana. Bila perempuan sudah boleh memakai celana yang katanya lebih identik dengan laki-laki, mengapa lelaki masih banyak yang malu memakai rok? Bagi kaum tertentu, ada sebuah pakaian yang hampir mirip rok, yaitu sarung. Maka dapat saya katakan, lelaki yang bersarung adalah orang yang berupaya merendahkan dirinya di hadapan kaum perempuan agar mereka bisa sederajat dan tak ada yang lebih diunggulkan.
Kita bayangkan saja, emansipasi wanita kini rasanya sudah tak perlu lagi. Sudah banyak kaum wanita yang mendapat posisi tinggi di masyarakat dan sudah banyak yang bebas berpakaian layaknya laki-laki. Bagi perempuan, mencapai karir tinggi di tengah masyarakat adalah sebuah prestasi. Tapi bagi laki-laki, mencapai karir tinggi dan mendapat pekerjaan yang mapan seolah adalah keharusan dan kewajiban. Dengan dalih agar bisa menafkahi perempuan, ekspektasi dan persepsi tersebut masih saja tumbuh subur di kalangan masyarakat.
Saya rasa, hal-hal yang secara biologis tidak jelas-jelas menjadi pembeda antara lelaki dan wanita tak perlu lagi di kotak-kotakkan. Masing-masing mempunyai hak yang sama. Kecuali hak hamil dan “menghamili” sudah jelas dimiliki oleh salah satu gender. Kalau hal-hal seperti menangis, menyukai warna pink, cupika-cupiki dengan sesama jenis, dan sebagainya tak perlu secara dominan dikaitkan dengan salah satu gender.
Mari berlatih untuk melihat sesuatu secara netral dan tidak bias. Agar emansipasi bukan lagi istilah yang hanya dimiliki salah satu gender saja. Agar emansipasi tidak hanya menjadi istilah yang identik dengan rasa cemburu dan iri. Agar emansipasi, tidak hanya menjadi alasan untuk merasa tertindas dan terkekang. Agar emansipasi menjadi gerakan gotong royong, bukan saling mendahului dan menjatuhkan.
Ah, sudah sampai mana pembicaraan kita? Sudah, aku lelah dan butuh sandaran. Aku lelaki, juga butuh sandaran meski hanya sepotong tiang listrik atau hati perempuan yang lapang. uhuk uhuk