Malam terakhir sebelum Misbah menyerahkan kambing kurban darinya ke Kiai Asmuni, dengan sangat dramatis dia menyodori si kambing helai-helai rumput dengan mata berkaca-kaca. Pemandangan yang membuat Kang Salim jadi tergelitik.
“Kamu ini, loh, mbok ya nggak usah terlalu mellow gitu pisahan sama kambingmu,” goda Kang Salim. “Hla, kalau nggak rela ya nggak usah dikurbanin aja tho, Mis. Daripada dikurbanin tapi kamunya ganjel? Malah nggak ikhlas ibadah ujung-ujungnya.”
“Loh, loh, loh, enak aja dibatalin,” sahut Misbah setengah merengut. “Saya itu terharu bukan karena nggak rela mau ngurbanin kambing ini, Kang. Dari awal kan emang udah saya niati buat berkurban. Jadi, saya ikhlas lillahi taala.”
“Lantas, terharu karena apa, dong?”
“Saya itu terharu karena alhamdulillah aja gitu, Kang. Akhirnya setelah sekian lama nabung, eh bisa beli kambing buat kurban,” jawab Misbah kali ini dengan wajah semringah. “Akhirnya bisa netepi perintah Allah.”
Kang Salim manggut-manggut mendengar penuturan dari Misbah. Beberapa saat dia hanya diam sambil kebal-kebul mengisap kreteknya. Barulah pada isapan keempat, Kang Salim mulai bersuara.
“Kalau kurban hanya soal nabung, beli kambing atau sapi, terus diserahin buat disembelih, rasa-rasanya kok biasa-biasa saja, ya?”
“Loh, Kang?” potong Misbah nggak terima.
“Sik tho, saya belum selesai.” Seperti biasa, Kang Salim menanggapinya dengan santai. “Ibadah syariat itu, Mis, kalau cuma dirasakan sebatas pada aspek luar dan bukan nilainya, maka rasa-rasanya akan biasa-biasa saja. Nggak istimewa sama sekali.”
“Ya katakanlah gini, Mis. Sekarang itu kalau cuma beli kambing, nabung setahun toh udah dapet. Kalau orang kaya ya H-1 Lebaran aja udah langsung bisa beli. Jadi kalau udah kebeli, kasarannya itu bisa bilang gini, ‘Oh cuma gini aja, tho, yang namanya berkurban? Enteng.’ Haji sekarang kasusnya juga gitu. Kalau urusannya cuma berangkat ke Arab, kayaknya ya bakal biasa-biasa saja jadinya kalau sebatas itu yang kita pahami. Mestinya juga berlaku untuk ibadah-ibadah syariat yang lain. Kalau cuma puasa sebulan, oh enteng saja. Kalau cuma jungkar-jungkir lima waktu, halah kecil.”
“Kalau begitu, apa berarti kurban saya nantinya bakal sia-sia?”
“Sia-sia, sih, nggak lah, Mis. Minimal dari segi fikih niatmu udah dihitung pahala. Hanya saja jadi kurang istimewa kalau nilai dari kurbanmu atau ibadahmu yang lain nggak kamu aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.”
“Dengan kata lain, kalau masih di ranah formalitas, kayak puasa cuma nahan laper, haji cuma berangkat ke Arab, atau kurban cuma nyembelih kambing, itu enteng-enteng saja. Adapun yang berat adalah, mempraktikkan nilai dalam ibadah tersebut sebagai laku hidup sehari-hari. Gitu ta, Kang?”
“Persis. Saya punya cerita, Mis.”
Mendengar kata “cerita”, Misbah langsung merapatkan duduknya agar lebih dekat dengan Kang Salim. Maklum, Misbah memang suka dan lebih gampang menangkap maksud dari suatu ilmu itu lewat cerita-cerita kayak gitu.
“Dulu itu, Mis, ada seorang bernama Syekh Jangkung, hendak berguru kepada Sunan Kudus. Sama Sunan Kudus, dia disuruh melafalkan kalimat syahadat sebagai syarat yang harus dipenuhi. Tapi yang dilakukan Syekh Jangkung ini malah manjat pohon kelapa terus menjatuhkan diri ke tanah.”
“Terus, Kang, apa coba hubungannya antara ngucapin syahadat sama jatuhin diri dari pohon?”
“Pas ditanya sama Sunan Kudus, ‘Kok malah itu yang kamu lakukan?’. Dia menjawab, ‘Kalau syaratnya cuma mengucapkan syahadat, alangkah gampangnya. Anak kecil pun bisa. Tapi syahadat itu adalah kesaksian bahwa hidup dan mati kita hanya milik Gusti Allah. Untuk itu saya nggak mau sebatas formalitas mengucapkannya saja. Saya mencoba berkomitmen atas kesaksian saya tersebut dengan menjatuhkan diri dari atas pohon. Sebagai bentuk penyerahan hidup dan mati saya kepada-Nya.”
“Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk berkomitmen dengan kurban saya, Kang? Biar nggak hanya formalitas nyembelih kambing aja gitu.”
Kang Salim tak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh ke langit, seolah-olah sedang menunggu datangnya wangsit. Sesaat setelahnya, Kang Salim kembali menyulut kretek, sebelum menyambung obrolannya kembali.
“Saya kira, Gusti Allah udah sangat cetha wela-wela memberi isyarat kepada kita semua. Hanya kita ini terlalu dungu untuk menangkapnya,” suara Kang Salim terdengar agak gemetar.
“Mis, kenapa Gusti Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri? Anak yang bahkan kehadirannya udah dinanti-nanti sekian tahun. Anak yang sangat dicintainya. Itu berat banget, loh, Mis. Tapi Nabi Ibrahim tetep saja melakukannya.”
“Apakah itu maksudnya, sebagai komitmen dari kurban saya, saya harus jadi sosok yang ikhlas? Misalnya, kalau berbagi atau bersedekah dengan sesama, saya harus memberikannya dengan ikhlas, setulus hati. Dan adapun definisi ikhlas itu adalah sama seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim; memberikan apa yang justru malah sangat berharga dari saya. Seperti kata Allah juga dalam Q.S. Ali-Imran ayat 92: memberi ‘min ma tuhibbun’, dari yang kita sukai atau anggap berharga.”
“Betul, Mis. Dengan kata lain, kita harus bisa meng-Ibrahim-kan diri. Yang mampu menyembelih ego kecil dan kepentingan pribadinya atas Ismail hanya untuk menuruti apa perintah Allah. Opo wae yen iku Gusti Allah sing merintah, najan ndadikake aku rekasa lan keranta-ranta, mesthi bakal tak lakoni.”
“Yang dipandang Ibrahim ketika hendak menyembelih Nabi Ismail itu hanya Allah, Mis. mangkanya beliau ikhlas. Termasuk misalnya ada pengemis, kalau yang kamu lihat dari pengemis itu adalah Allah yang berfirman Q.S. Ali-Imran, jangankan cuma lima ratus rupiah, sepuluh ribu aja kamu kasih tanpa rasa getun di belakang. Dalam skala sosial lebih luas, komitmen tersebut bisa juga berupa sikap altruistik, memberi kemanfaatan dan suka membantu sesama tanpa memandang siapa atau apa agama mereka. Karena yang kita lihat dari mereka hanyalah Allah yang menyuruh kita untuk berbagi.”
“Sepenuhnya saya paham, Kang. Tapi bukan berarti kelak kalau saya punya istri cantik, terus sampeyan bisa nuntut saya agar ngerelain istri saya buat sampeyan, loh, Kang. Nggak usah bawa-bawa dalih, ‘Ngasihnya jangan lihat saya, Mis, tapi lihat lah Allah.’”
Keduanya tertawa sampai tubuh mereka terguncang-guncang.
*Diolah dari penjelasan Cak Nun
BACA JUGA Tak Bolehkah Saya Ikut Kurban Meski Hanya Mampu Kurban Ayam, Gus? dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.