Membaca tulisan Ardhias Nauvaly Azzuhry yang membandingkan BEM di Inggris dan Indonesia karena persoalan gaji bikin saya ketawa. Apalagi di judul penekanannya dalam sekali yang menyebut hanya dibayar terima kasih. Ya kali digaji, ngimpi!
BEM di Indonesia, meskipun ada yang menyebut memiliki peran penting sebagai perwakilan mahasiswa di kampus, kenyataannya bagi saya malah kebalikannya. Lembaga ini justru lebih pas disebut problematik jika boleh meminjam istilah Mbak Cindy Gunawan.
Gimana nggak problematik coba. Boro-boro mikirin program untuk mahasiswa yang diwakilinya, lembaga ini justru sering kali jadi sumber prahara di lingkungan kampus.
Sepengalaman saya kuliah di beberapa kampus, badan eksekutif yang saya lihat tidak mewakili mahasiswanya. Jadi, bagi saya ya nggak pas untuk dibayar, diberi ucapan terima kasih aja udah berlebihan.
Daftar Isi
Politisasi dan kepentingan kelompok
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh BEM di Indonesia adalah politisasi organisasi. Terkadang, malah menjadi medan perang kepentingan antarkelompok mahasiswa yang berbeda. Akibatnya, tujuan asli untuk mewakili seluruh mahasiswa dan membela kepentingan bersama terdistorsi dan terabaikan. Coba lihat kinerja badan ini di kampusmu, apa sudah mewakili mahasiswa?
Dana BEM dan pengelolaannya yang ngawur
Jika umumnya UKM di Kampus LPJ yang baik jadi acuan kinerja untuk adik tingkatnya ketika demisioner, lain halnya dengan BEM yang aliran dananya pasti tapi penggunaannya ngawur. Banyak BEM di Indonesia yang memiliki dana dari kampus tapi peruntukannya justru hanya untuk kalangan tertentu. Atau malah hanya untuk program yang terlihat wah, tapi minim esensi.
Kurangnya keterwakilan mahasiswa secara merata
Meski dalam nomenklaturnya badan ini sebagai wakil mahasiswa, dalam beberapa kasus, malah justru jadi wakil dari kelompok. Tentu saja itu mengkhianati esensi keterwakilan yang mereka gaungkan.
Penyalahgunaan dana
Tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana juga sering kali menjadi sorotan terhadap BEM di Indonesia. Meski ya beberapa kasus tidak pernah sampai ke meja hijau karena demi nama baik kampus. Markup anggaran yang dibebankan ke kampus untuk kegiatan yang biayanya berkali-kali lipat sering di saya temui saat bersama persma di Semarang menyelidiki kejanggalan ini.
Konflik internal BEM yang sarat kepentingan
Konflik internal sarat kepentingan juga menjadi masalah di beberapa BEM di Indonesia. Perbedaan pendapat antara anggota BEM atau konflik kepemimpinan sering ditemui dan pada akhirnya mengganggu kinerja organisasi dan menghambat upaya untuk mencapai tujuan bersama. Alih-alih menyuarakan ke pihak rektorat keluhan mahasiswa tentang UKT yang melangit. Mereka kadang justru sibuk dengan dapur mereka sendiri.
Saya akui saat ini BEM di Indonesia menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks. Sebenarnya, itu wajar untuk sebuah organisasi. Laut yang tenang tidak menghasilkan pelaut yang hebat. Masalahnya, jika hal dasar seperti keterwakilan saja tak bisa mereka penuhi, terus mau berharap apa?
Jadi saya yakin, ngimpi saja kalau BEM di Indonesia bisa digaji seperti di University of Liverpool. Wong kerja dasar saja nggak bisa diselesaikan, kok dibayar. Angel tuturanmu.
Penulis: Fareh Hariyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Turunnya Minat Mahasiswa Gabung BEM Adalah Hal yang Biasa-Biasa Saja