Adakah di antara kalian yang masih membawa bekal ke sekolah, kampus, atau ke kantor? Atau adakah di antara kalian yang saat ini sudah berperan sebagai sosok pembuat bekal untuk semua anggota keluarga di rumah?
Yah, sebenarnya tradisi membawa bekal, terutama bekal anak sekolah, ini sudah ada sejak lama sekali. Sebagai salah satu orang yang juga memegang peranan jadi pembuat bekal di rumah, saya cukup yakin tren ini akan terus ada.
Lantas, kenapa akhir-akhir ini rasanya tradisi membawakan bekal untuk anak sekolah menjadi sangat bergengsi? Kita coba bahas pelan-pelan, yuk! Kita mulai dari cerita pribadi saya. Disclaimer, untuk selanjutnya, sesuai dengan tren yang ada, bekal anak sekolah ini akan kita sebut dengan bento.
Saya sebagai penikmat bento
Judul subheading ini sebenarnya kurang tepat, sih. Di era saya sekolah, tentu saja nggak ada yang mengenal konsep bento. Kami tahunya ya bekal. Biasanya, bekal atau bento ini diberikan untuk anak sekolah dengan isi atau lauk yang beragam. Kalau kalian pikir, keributan mengenai ajang pamer isi bekal anak sekolah baru terjadi sekarang, kalian salah.
Pamer isi bento untuk anak sekolah sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Para ibu berlomba untuk mengisi kotak makan anaknya dengan makanan terbaik, bila perlu termahal. Saya adalah anak yang kurang peduli dengan hal itu, begitu juga ibu saya. Kami berprinsip apa pun isinya, yang penting bisa bikin kenyang. Kotak makan saya paling sering diisi dengan roti panggang yang diolesi mentega dengan tambahan telur mata sapi yang bertaburan banyak merica.
Percaya atau nggak, saya membawa bekal roti ini sampai saya sudah ngantor. Saya nggak pernah malu masih membawa kotak makan setiap hari. Bukan karena faktor keuangan juga, kalau pas kepengin, ya tentu saja saya masih membeli makan siang, tapi tetap membawa bekal.
Saya sebagai pembuat bento
Saat akhirnya punya anak yang sudah masuk sekolah, otomatis naluri ingin memberikan bento ini muncul. Mungkin, ajaran dari ibu saya yang akhirnya mengajarkan saya bahwa isi kotak makan nggak harus selalu mewah.
Anak saya sudah duduk di bangku SMP dan karena mereka sekolah full day, tentu saja kotak makan itu masih harus ada isinya sampai saat ini. Di bangku SD dan SMP, perbedaan isi kotak makan antara satu anak dengan yang lainnya sebenarnya sudah nggak terlalu berpengaruh lagi. Kenapa?
Pertama, ibu-ibu sudah jarang bertemu. Di usia sekolah SD ke atas, para ibu biasanya hanya mengantar dan menjemput anaknya. Percaya deh, faktor berkumpulnya ibu-ibu ini berpengaruh sekali pada rasa gengsi dalam kotak bekal anak sekolah.
Saat anak-anak sekolah playgroup atau TK, mayoritas ibu-ibu ini akan berkumpul menunggui anaknya, dan anak menyuapi anaknya di momen istirahat sekolah. Di sinilah awal bencana isi kotak makan dimulai. Sebagian ibu yang rese dan nyinyir tentu akan saling mengomentari isi kotak makan.
Saya yang berprinsip “isi kotak makan harus bikin kenyang dan yang pasti dimakan oleh anak”, tentu sudah sangat sering jadi korbannya. Kotak makan anak saya nggak terlalu fancy, nggak ada tuh yang namanya tusuk bento berbagai bentuk, alas kertas roti warna-warni, apalagi kotak makan dengan harga ratusan ribu sampai jutaan. Paling pol ya Tupperware. Lebih seringnya ya kotak makan jenis apa pun yang penting aman. Bahkan sering juga pakai kotak makan hadiah dari produk.
Isi bekal anak sekolah pun ya sederhana. Apa yang bisa saya masak dan apa yang anak saya doyan, itu menunya. Kalau kamu pikir, anak yang suka dengan tusukan bento adalah hal yang berharga, itu kurang tepat. Anak yang menghabiskan makanan yang dibawakan oleh ibunya lah yang berharga.
Nyinyiran dari ibu-ibu lain ini akan sangat berpengaruh kalau mentalmu nggak kuat. Akhirnya jadi saling berlomba-lomba mengisi kotak makan dengan makanan yang mahal atau branded, padahal belum tentu anaknya doyan.
Kedua, di bangku SD ke atas, anak-anaknya pun sudah nggak ingin kotak makan fancy. Ada cerita di Twitter dari akun @MrsEuscha yang bilang kalau anaknya nggak terlalu suka dengan tusukan bento yang lucu-lucu, atau catatan kecil yang disematkannya dalam kotak makan.
Sekali lagi, hal ini masih akan terlihat oke bila anak tersebut duduk di bangku TK, atau setidaknya di kelas 1 atau 2 SD. Selanjutnya? Nope. Kenapa?
Anak akan belajar mengenai prioritas. Mereka akan semakin paham bahwa yang namanya kotak makan isinya adalah makanan untuk dimakan, bukan tusukan hiasan untuk dilihat-lihat, tapi nggak bisa dinikmati. Lalu, seiring usia, anak akan mempunyai rasa malu—yang nggak bisa dicegah—sehingga beberapa dari mereka akan merasa malu jika kotak makannya berisi hal macam-macam, selain makanan. Terutama anak cowok.
Lagi pula kepribadian anak nggak sama antara satu dengan yang lainnya. Contohnya, anak sulung saya bisa bersikap biasa saja kalau saya kasih kotak makan atau alat makan yang unyu-unyu, tapi adiknya (sama-sama cowok) akan protes keras.
Saya pernah membaca cerita mengenai seorang anak yang selalu mendapatkan “pesan cinta” dari ibunya di kotak makan setiap hari mulai dia kecil sampai sudah dewasa dan jadi karyawan kantoran. Hal ini tentunya terlihat manis sekali, tapi sayangnya nggak bisa berlaku bagi semua orang. Saya sendiri merasa nggak bisa melakukannya dengan berbagai alasan, dan rasanya mungkin anak saya juga kurang bisa menerimanya.
Jadi, inti dari tulisan yang panjang ini adalah: Wahai para ibu, berhentilah saling berlomba membawakan bekal anak sekolah yang kurang berfaedah. Paling nggak sesuaikanlah isinya dengan kondisi dompet. Jangan bandingkan kotak makan anakmu dengan milik Xabiru dan adiknya.
Bento bukanlah tentang tampilan kotak makan atau alat makannya, melainkan rasa kasih yang dituangkan oleh ibu ke dalam makanan tersebut. Bento adalah bentuk perlindungan dari seorang ibu yang nggak ingin anaknya merasa lapar di sekolah. Bento adalah jaminan dari ibu, bukan hanya untuk anaknya, namun untuk dirinya sendiri, bahwa anaknya akan bisa belajar dengan baik di sekolah karena perutnya terisi.
Penulis: Dini N. Rizeki
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mengenang Ibu Nunuk Nuraini dan Kenikmatan Indomie Goreng dalam Wadah Bekal Sekolah.