Lingkungan kerja kekeluargaan itu hanya kedok eksploitasi
Pagi ini, ruang kerja sudah riuh oleh musik RnB. Beberapa karyawan yang baru saja datang terlihat cekikikan membahas sesuatu. Ada yang menuliskan motivasi di secarik post it, lalu ditempelkan di meja kerja karyawan lain. Bos mereka pun datang sambil membawa sekotak donat. Semua berebut dan tertawa riang dalam situasi yang hangat. Sang bos selalu mengingatkan bahwa dirinya akan pasang badan demi kebahagiaan tim.
Mengidamkan suasana kerja semacam ini? Pikir lagi.
Di balik tawa tadi, ada kekhawatiran gaji terlambat dibayar. Musik jedag-jedug tadi menutup gerutuan akan target yang mustahil dicapai. Tulisan motivasi itu menjadi semangat mereka yang harus lembur tanpa upah. Donat dari si bos adalah harga yang dibayarkan dari loyalitas karyawan yang selalu pulang telat lewat mahgrib. Dan bos tadi menuntut setiap karyawan menjadi problem solver dari keputusan besar.
Skenario ini, meskipun terkesan dramatis, tapi nyata terjadi. Tuntutan untuk mendapat lingkungan kerja kekeluargaan kini makin tinggi. Bahkan banyak lowongan kerja yang menawarkan lingkungan kerja kekeluargaan sebagai nilai jual. Ini lucu sekaligus ironis. Lingkungan kerja kini lebih dimanfaatkan sebagai daya tarik daripada benefit seperti upah tinggi atau jaminan kesehatan.
Brengseknya, banyak orang membanggakan kekeluargaan ini sampai taraf memuakkan. Salah satunya adalah video viral ketika seorang bos berpidato di depan karyawan. Dengan menyebut ekosistem kantor sebagai keluarga, bos ra mashok ini sampai menyebut keluarga asli dan biologis mereka “kalah” dengan keluarga di kantor.
Pertama, saya perlu memaklumi kebutuhan atas lingkungan kerja kekeluargaan. Habit baru di lingkungan kerja modern menuntut kreativitas tinggi. Softskill lebih dihargai daripada ilmu kaku warisan bangku pendidikan. Maka perlu lingkungan yang bisa mengakomodir kreativitas ini. Jelas bukan meja dingin ala PNS. Toh terbukti, bikin spanduk acara saja mereka tidak kreatif.
Bahkan bagi karyawan dengan jobdesc paling konvensional sekalipun, suasana riang dan penuh rasa kekeluargaan ikut membantu. Suasana kerja ini mengurangi tingkat stress sekaligus meningkatkan efisiensi kerja. Minimal, koordinasi antarkaryawan tidak kaku dan lambat. Bos juga bisa mengetahui dinamika perusahaan atau jajaran yang dipimpin dengan lebih mudah.
Tapi seperti makan junk food, kita lupa bahaya di balik segala hal menyenangkan ini. Ada bahaya mengincar di balik semangat kekeluargaan yang indah.
Sebentar. Bukan berarti saya memukul rata seluruh perusahaan yang mengedepankan semangat kekeluargaan. Tapi jujur saja, terlalu banyak perusahaan yang menjadikan kekeluargaan sebagai kedok dan alat eksploitasi. Entah dalam skala kecil antardivisi, atau skala besar sampai satu perusahaan. Seperti artikel saya tentang kuda startup, bukan berarti semua bisa dipukul rata. Tapi jika mayoritas demikian, bisa jadi.
Semangat kekeluargaan ini sering merebut hak karyawan. Namun, tidak ada tuntutan atau sekadar protes personal. Semua takluk di depan semangat kekeluargaan. Rasa sungkan menjadi tameng bagi perusahaan untuk mendapat efisiensi kerja yang lebih dari upah karyawan.
Salah satunya adalah perkara lembur. Omnibus Law yang nggatheli itu saja menegaskan hak karyawan yang bekerja lembur. Tapi dalam semangat kekeluargaan, surat lembur yang berkekuatan hukum diganti sambat memelas bos. Keluh kesah tentang kondisi perusahaan membuat karyawan ikut jatuh iba.
Perkara sambat, semangat kekeluargaan juga sering jadi alat bos untuk lempar tanggung jawab. Karyawan dituntut ikut berpikir keras tentang kondisi perusahaan, bahkan di luar tanggung jawab mereka. Dari situasi cashflow sampai strategi bisnis dibebankan pada karyawan yang punya posisi paling rendah sekalipun.
Padahal gaji bos dan karyawan jelas berbeda. Tapi ketika karyawan biasa yang mengambil keputusan serta memformulasi strategi, untuk apa bos harus ada? Mungkin kita memandang ini sebagai demokrasi positif dengan musyawarah. Tapi, gajinya beda lho, Bos! Karyawan gaji mengkis-mengkis diminta ngerjain kerjaan bos, ha enak men uripmu. Nggak sekalian disuruh ngecat rumah?
Urusan gaji juga sering ditabrak dengan suasana kekeluargaan. Gaji telat bahkan dipotong dianggap sebagai loyalitas kerja. Ini adalah cacat logika yang dimaklumi. Gaji atau upah adalah hak karyawan, sebagaimana kinerja baik menjadi hak perusahaan. Kalau gaji harus ditunda sampai dipotong, berarti ada hak yang tidak diberikan!
Loyalitas semu ini juga sering menghambat karyawan berkembang. Mereka jadi iba pada perusahaan paling rusak hanya karena loyalitas. Terdengar baik, tapi karyawan juga berhak meniti karier sesuai aspirasinya. Akhirnya banyak karyawan yang terjebak dalam satu perusahaan dan berakhir melepas kesempatan untuk meningkatkan karier.
Tapi dari semua kebrengsekan tadi, yang paling bajingan adalah merebut ruang hidup karyawan. Beratus tahun pekerja memperjuangkan 8 jam kerja, akhirnya dipecundangi semangat kekeluargaan yang disuarakan bos. Mereka melepas ikatan dengan keluarga, teman, bahkan relasi asmara demi “keluarga baru” di kantor.
Karyawan dialienasi dari lingkungan sosial. Seolah hidup mereka hanya ada untuk kantor dan istirahat. Maka jangan kaget jika banyak lingkungan kantor melahirkan relasi tidak sehat. Jangan kaget juga banyak karyawan terjebak depresi meskipun ada di lingkungan kerja kekeluargaan. Karena mereka menjadi alien demi pekerjaan.
Bahkan iming-iming macam personal growth tidak cukup untuk menukar hak karyawan. Mereka manusia yang punya kehidupan selain kerja. Iklim seperti ini mengubah karyawan menjadi sebatas roda gigi ekonomi perusahaan. Jika rusak (baca: tifus), bisa diganti kapan saja!
Sekali lagi, saya tidak membenci lingkungan kerja kekeluargaan. Ini adalah lompatan besar dibanding iklim kerja ala budak di masa lalu. Tapi jangan sampai kekeluargaan menjadi alat perbudakan modern. Hargailah darah dan nyawa yang dikorbankan leluhur pekerja yang ingin kehidupan lebih layak.
Tapi jika Anda merasa nyaman dengan iklim ini, silakan. Namun jangan lupa, bahwa Anda manusia. Anda punya keluarga dan relasi sosial. Dan Anda bukan roda gigi perusahaan!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sistem Kekeluargaan di Kantor Beneran Ada atau Nggak, sih?