Dari sekian banyak berita hot, kayaknya kita nggak boleh banget ketinggalan soal naiknya Ahok atau yang sekarang lebih akrab disapa Pak Basuki menjadi salah satu orang penting di jajaran pejabat BUMN. Yakni, ia diangkat sebagai Komisaris Utama (Komut) Perusahaan Tambang dan Minyak Negara (Pertamina). Bagi sebagian orang, kabar ini cukup dan sangat mencengangkan.
Pasalnya, masih belum bisa lekang oleh kita ingatan tentang beliau yang begitu viral gara-gara lupa ngecek kampas rem terus kepleset pas ngomongin soal agama dan ulama. Dan akhirnya berakhir di hotel prodeo selama beberapa waktu.
Dan sekarang seorang mantan penghuni lapas yang tadinya banyak dicerca dan dihina, sampe orang rela bikin demo ala wiro sableng segala-yang bertajuk 212-menjadi seorang Komut Pertamina. Ah, iri saya, Pak. Anda terlalu lurus untuk diriku yang berkelok.
Untuk beberapa orang, posisinya ini bisa dianggap sebagai durian montong yang jatuh bertubi-tubi tapi bikin wenak Pak Basuki. Tapi, kita juga nggak perlu berfikir terlalu jero, apalagi sampai kepikiran Pak Basuki berhasil ternak tuyul dan dapet ajian pesugihan segala. Toh, kalo dipikir-pikir, semua orang punya kesempatan yang sama. Termasuk, juga mantan penghuni lapas sekalipun buat jadi bos.
Tapi memang isu Pak Basuki ini nggak bakalan bisa berhenti gitu aja. Pro dan kontra selalu terjadi. Ini memang soal yang nggak bisa dikatakan sepele. Ya gimana lagi, buat warga santuy +62, harga kangkung di mamang-mamang sayur keliling naik lima ratus perak aja pada panas, apalagi soal yang kayak beginian.
Contohnya aja, kayak kemarin saya naik ojek online. Lagi asik-asik tuh baca beritanya Pak Basuki di media online. Tiba-tiba si abang ojek online yang mboncengin saya nanya, “Masnya lagi baca berita Ahok pasti ya?”
Sontak pernyataannya itu membuat saya kaget dong. Emang kemasukan angin aben dina bisa bikin sakti sampe bisa baca pikiran, ya? Kok bisa-bisanya abang ini tahu kalau saya lagi baca berita online tentang Pak Basuki padahal nggak pernah tuh saya ngode-ngode apa pun. Ya, saya husnuzon aja. Emang abang ojek online yang satu ini up to date. Kan media sekarang bisa dinikmati seluruh umat.
Belum sempet saya njawab “iya” atau “bukan”, si abangnya langsung nyerocos lagi. “Saya tuh, Mbak. Kok nggak setuju kalau Ahok jadi itu bosnya Pertamina ya,” katanya sambil mainin kaca spion biar bisa lihat saya di belakang.
Yang lebih membuat saya penasaran lagi adalah alasan apa yang membuat dia nggak setuju kalo Pak Basuki menjadi salah seorang pejabat di Pertamina? Saya jadi bertanya-tanya, apakah karena Pak Basuki peranakan Tionghoa? Ataukah karena beliau pernah menjadi penista agama? Ataukah ada hal yang lainnya?
Setelah saya tanya, ternyata abang ojek online yang satu ini punya alasan tersendiri. Dia kurang suka dengan gaya Pak Basuki yang kadang suka gregetan kalau pas mimpin sesuatu. Gaya yang kalau karyawan kurang beres sedikit langsung semprot, karyawan kurang bleyer dikit langsung ngegas.
Intinya, pembawaan Pak Basuki yang meledak-ledak itu kurang santuy buat dia yang selow. Karena jawaban itu cukup menarik bagi saya, lanjut deh bikin sesi selanjutnya di atas motor. Sepanjang perjalanan kami berdialog terbuka. Meskipun kami terhalang restu orang tua posisi yang kurang enak buat ngobrol, tapi saya cukup menikmati diskusi dadakan itu.
Dari perbincangan dengan abang ojek online di atas motornya yang agak mbleyer-mbleyer tersebut, saya mendapat beberapa poin yang menarik.
Pertama, media begitu memainkan peran untuk melakukan penyebaran informasi sekaligus vigurisasi tokoh. Ya, kemampuan abang ojek online buat menebak, pasti bukan berasal dari ilmu kanuragan atau si abang adalah seorang cenayang. Ada faktor besar dari sumbangsih media yang telah begitu hebatnya memberikan pembahasan mengenai isu-isu terkini.
Alasan ketidaksukaan abang ojek online ke Pak Basuki yang menurut saya tampak tanpa orientasi politik, membuktikan kalau media terlalu sering mencitrakan Pak Basuki sebagai sosok yang garang nan gahar. Seperti singa yang siap kapan saja makan karyawannya yang nggak becus dalam bekerja. Jadi ya, nggak salah kalau abang ojek online tahunya Pak Basuki itu lebih identik dengan kegalakannya ketimbang prestasinya.
Kedua, dengan ngobrol dari hati ke hati bareng abang ojek online, membuat saya jadi tersadar. Bahwa stereotip Pak Basuki sebagai soerang peranakan Tionghoa yang “berbeda”, bukan lagi jadi sebuah isu yang laku. Sebagian masyarakat sudah cukup toleran dan menganggap urusan rasial atau keturunan sebagai hal yang lalu lalang. Lagian, kurang kreatif amat kayaknya kalau masih saja bahas-bahas Pak Basuki cuma soal peranakan Tionghoa-nya doang.
Ketiga, soal kasus penistaan agama yang pernah menyandung Pak Basuki. Agaknya, masyarakat cukup berbaik hati untuk memaafkan. Apalagi kalo ada kata pepatah “manusia tempatnya salah”, membukakan pintu maaf jadi jalan tengah yang terbaik dari masyarakat kita jika terjadi perseteruan.
Kalau soal kaum-kaum sumbu pendek yang punya jargon pantang pulang sebelum menang, saya kurang paham deh gimana jalan nalarnya nanti. Kalau sampe nanti saat Pak Basuki disahkan secara resmi sebagai Komut Pertamina, masih diwarnai aksi demonstrasi dari mereka-mereka lagi. Saya hanya sanggup bisa geleng-geleng kepala saja.
Perlu dipertanyakan, motif apalagi yang mendasari mereka ini? Apa takut nanti Pertamini di pinggir-pinggir jalan yang nuangin bensin ganti kokoh-kokoh dan cici-cici? Ya, kalaupun ganti terus kenapa?
Terlepas dari semua itu, saya perlu berterimakasih ke Mas Nadiem yang turut berperan memberikan ruang berdialog di atas jok motor abang ojek online. Percayalah, ini nggak kalah seru dengan acara Mata Najwa.
BACA JUGA Geliat Ojek Online di Tengah Kemacetan atau tulisan Ravi Oktafian lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.