Di zaman yang serba embuh ini, selain meminta agar terhindar dari godaan setan yang terkutuk, sepertinya kita harus menambah satu lagi doa kita pada Sang Pencipta. Yaitu, doa agar dijauhkan dari orang-orang yang otak dan hatinya sudah beralih fungsi jadi hiasan.
Sekarang coba jawab: apakah masih pantas seseorang yang menganalogikan buaya dan ayam pada kasus perkosaan disebut sebagai manusia yang memiliki otak dan hati?
Atau, lebih sederhana lagi: apakah pantas seseorang membenarkan tindakan pemerkosaan?
Kan tidak. Mau disebut Tuhan tidak memberikan dia otak dan hati juga tidak mungkin. Tuhan itu Maha Pengasih. Manusianya saja yang minta di-hih.
Adalah Cak Nadi, laki-laki yang kali pertama mencuitkan analogi ayam dan buaya di laman Twitter-nya. Menurutnya, ada ayam dimangsa buaya itu adalah kesalahan si ayam. Suruh siapa ayam main-main ke tempat buaya? Sudah tau kalau di situ sarang buaya, ya, jelas nggak mungkin kalau si ayam nggak dicaplok buaya! Begitu, katanya.
Ah, iya, ada embel-embel kata goblok juga di akhir cuitan Cak Nadi. Saya harap, sih, kata goblok itu buat yang nulis cuitan. Sayang, kalau dilihat dari konteks kalimatnya, kata goblok ini diperuntukkan untuk si ayam. Jadi, menurut Cak Nadi ini, sudahlah si ayam disalahkan, digoblok-goblokin pula. Silakan digarisbawahi.
Oke, Cak Nadi mungkin tidak secara eksplisit menyebut bahwa ketikan jari jahanamnya dalam rangka mengomentari kasus perkosaan. Tapi, tanpa dia menggunakan kalimat “permisi, saya mau mengomentari perihal perkosaan” sebagai mukaddimah, jelas bisa ditebak ke mana arah cuitannya. Persis, perkosaan!
Analogi ayam dan buaya yang disampaikan Cak Nadi lewat cuitannya, mau tidak mau mengingatkan saya dengan analogi serupa. Yang sering kali diputar ulang kalau ada kasus pemerkosaan atau pelecehan terhadap perempuan. Yaitu, tentang kucing dan ikan asin. Bahwa kucing tidak mungkin menolak kalau di disuguhi ikan asin.
Bah. Analogi macam apa itu? Entah itu buaya–ayam, kucing–ikan asin, keduanya jelas ra mashook jika dikaitkan dengan kasus pemerkosaan. Kecuali, kalian para laki-laki sudi jika disamakan dengan binatang. Kenapa? Kalian pasti nggak mau, to? Ya, sudah!
Begini, loh. Sejak awal penciptaanya, manusia sudah dianugerahi akal untuk membedakannya dengan binatang. Akal itu pula, yang bisa digunakan untuk berpikir tentang hal yang baik maupun buruk. Artinya, manusia punya pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Jadi, meskipun Bang Napi pernah bilang bahwa kejahatan terjadi karena ada kesempatan, tapi, selama si manusia memilih untuk tidak melakukan, maka kejahatan tidak akan terjadi. Termasuk soal pemerkosaan.
Tapi, kalau ternyata pilihan si laki-laki adalah memperkosa, apakah kemudian yang salah perempuannya? Karena dianggap berpenampilan terlalu terbuka, misalnya? Tunggu dulu. Tidak semudah itu, Kisanak. Itu kasus yang di ponpes, perempuannya berpakaian tertutup, loh~
Oo, maksudnya laki-laki yang salah? Gitu?
Wait. Ini bukan soal siapa yang salah, siapa yang benar. Tapi, tidak bisakah kita menyudahi analogi-analogi konyol yang justru terkesan seperti pemakluman? Kenapa otak laki-laki yang bermasalah tapi malah kita yang harus maklum?
Kalau memang begitu susah untuk mengontrol diri, jangan bersembunyi di balik analogi buaya-ayam atau kucing-ikan asin, dong! Be gentle. Konsultasikan saja dengan psikolog. Siapa tahu memang benar-benar ada masalah dalam diri si laki-laki. Suatu kondisi yang kemudian membuat keberadaan si laki-laki serupa ancaman bagi perempuan-perempuan di luar sana.
Tapi, selama ketidakmampuan mengontrol diri masih disembunyikan di balik analogi-analogi konyol, ya, sudah. Bubar jalan. Kasus-kasus pemerkosaan akan terus ada dan jadi bahan diskusi tanpa solusi. Dengan kata lain: mbulet.
BTW, Cak Nadi, dapet inspirasi dari mana kok tiba-tiba ngomongin buaya? Situ gabut?
Sumber Gambar: Pixabay