Tulisan seperti ini bisa jadi membuat saya dipandang sedang di-endorse Covid-19. Julukan itu jelas menyakitkan hati karena saya tidak dapat apa pun dari tulisan ini kecuali kepuasan. Kadang saya malah berharap endorsement Covid-19 itu benar-benar ada, apalagi di tengah situasi ekonomi yang hancur ini.
Tapi sungguh, Covid-19 tidak pernah meng-endorse saya. Yang sejatinya meng-endorse saya dan tulisan ini hanyalah ego sendiri. Ego yang meronta sebal menghadapi argumentasi nirkreatif dan cenderung membahayakan masyarakat sekitar.
Jelas yang saya maksud adalah argumen tentang konspirasi Covid-19. Dari sekadar konspirasi kacangan tentang Illuminati dan Freemason, microchip dalam vaksin, sampai konspirasi yang akan saya bahas nanti. Saya sebut nirkreatif karena sebenarnya tambal sulam dari teori lama, dan jelas berbahaya bagi keselamatan bersama.
Jika Anda masih awam tentang apa itu konspirasi, sila baca artikel karya Mas Rizky yang berjudul “Teori Konspirasi: Apa Itu Sebenarnya dan Bagaimana Orang Bisa Percaya?” Di dalamnya juga sudah dijelaskan mengapa konspirasi bisa berbahaya. Setidaknya, memahami apa itu konspirasi menjadi penting untuk memahami tulisan saya kali ini. Sebab, kali ini saya membahas konspirasi paling baru perihal pandemi.
Teori ini berpusat pada “chemtrails”. Chemtrails adalah jejak yang ditinggalkan pesawat saat menyebarkan materi kimia. Jejaknya seperti asap memanjang di angkasa. Nah, jejak ini berisi material kimia atau biologis yang disebarkan. Tujuannya bisa sekadar memicu hujan, memupuk tanaman, atau katau penganut teori konspirasi sebagai alat depopulasi. Sebagai alat pemuas, eh, pemusnah massal.
Sebenarnya, teori konspirasi ini bukanlah barang baru. Malah termasuk teori lawas dan berulang kali naik ke permukaan. Awal teori ini muncul adalah saat era Perang Dunia II di mana ada teori yang bilang Nazi dan Sekutu menggunakan senjata kimia yang disemprotkan melalui pesawat.
Waktu berlalu, dan teori ini muncul tenggelam. Sampai pada akhirnya, ada yang mencoba mengaitkan teori ini dengan Covid-19. Salah satunya adalah akun instagram @teluuur. Akun bernama tak jelas ini memang termasuk rajin mengabarkan berbagai teori konspirasi perihal pandemi ini.
Akun yang telah mengantongi 691 ribu followers ini termasuk penyebar teori chemtrail paling pesat. Meskipun teori chemtrails dan Covid-19 sudah banyak dibahas, akun @teluuur jadi pelopor dari pergunjingan kali ini. Ini menarik, karena saya melihat teori chemtrails yang didengungkan akun @teluuur ini lebih mudah dipercaya dari teori lain.
Di lingkungan saya sendiri banyak kawan yang mulai share muatan akun ini. Bahkan ketika mereka sebelumnya sangat percaya dan paranoid kepada Covid-19. Ini yang menarik. Dan dari fenomena di sekitar saya ini, saya mencoba mengkaji alasan kenapa akun @teluuur dan teori chemtrails berhasil menggaet banyak pengikut.
Masih fresh dan realistis
Saya memandang faktor fresh dan realistis sebagai yang pertama. Chemtrails dalam khazanah ilmu konspirasi memang seperti barang baru. Sebab, tahun-tahun lalu memang sangat jarang dibahas di media. Nah, ketika masa pandemi teori ini menjadi angin baru. Meskipun kenyataannya hanyalah tambal sulam dari teori lama dan pada kasus lampau.
Bicara realistis, chemtrails dan Teluuur jelas jagonya. Namanya teori konspirasi jelas dibuat serealistis mungkin. Berbeda dengan teori pandemi itu settingan, yang mudah sekali untuk dipatahkan karena korban Covid-19 itu ada dan nyata. Teori chemtrails membenarkan adanya pandemi ini, tapi landasannya adalah ciptaan manusia yang disengaja. Teori yang dipromosikan @teluuur ini terdengar lebih realistis daripada cocot JRX.
Chemtrails bisa diterima bahkan dilihat
Nah alasan ini jelas jadi faktor utama. Kalau JRX bacot kacung WHO kemarin, lha bukti konkretnya mana? Setiap pengikut teori pandemi settingan akan sulit menunjukkan bukti valid dan mudah diterima. Apalagi kalau ditampar realitas bahwa memang ada kematian karena Covid-19.
Sedangkan teori chemtrails lebih mudah diterima. Entah siapa tokoh di belakangnya, selalu ada kemungkinan bahwa ada usaha depopulasi dengan jejak kabut pesawat ini. Meskipun yang dikira chemtrails bisa jadi hanyalah kondensasi pembuangan pada mesin.
Chemtrails bisa dijelaskan secara “ilmiah”
Bagian ilmiah di atas memang saya beri tanda petik. Sebab, syarat ilmiah harus bisa dikaji dalam ranah ilmu pengetahuan. Ia harus teruji secara sains. Lha, teori konspirasi jenis apa pun kan hanya berhenti pada “jarene”. Hanya berdasarkan ilmu gathuk dan kebetulan-kebetulan yang dirajut menjadi fakta alternatif. Tapi, tetap tidak ilmiah.
Namun, pengikutnya memandang teori konspirasi sebagai produk ilmiah. Meskipun yang disebut ilmiah tadi hanyalah teori-teori yang terkesan ilmiah. Nah, pada kasus chemtrails dan akun @teluuur ini, memang semua dikemas selayaknya produk ilmiah. Dari bukti-bukti munculnya chemtrails, sampai rekaman saksi. Masih dibalut dengan berbagai teori yang jelas-jelas pseudoscience. Kenapa saya sebut sebagai pseudoscience? Ya karena tidak terbukti secara ilmiah!
Apalagi membawa-bawa depopulasi manusia. Haduh ini teori lama sekali. Yang ada sekarang populasi adalah kekuatan ekonomi global. Dengan buruh murah dan pasar yang luas sebagai alasan kenapa populasi tidak terkontrol. Ini pun teori konspirasi, tapi setidaknya lebih mending ketimbang konspirasi depopulasi yang lebih banyak halunya.
Teori chemtrails dan @teluuur memberi solusi dari pandemi ini
Nah, ini bagian paling penting dari teori konspirasi ini. Pada teori konspirasi pandemi ini, dari globalis sampai microchip, semuanya hanya menawarkan konsep. Yang ditawarkan hanyalah ketakutan dan mimpi dikendalikan oleh elite global. Solusinya sekadar menolak dan bacot di media sosial. Nah, kalau teori chemtrails ini memberi solusi agar terhindar dari pandemi.
Penganut teori chemtrails percaya bahwa Covid-19 itu disebarkan menggunakan air hujan. Materi senjata biologis yang disebarkan oleh pesawat ini yang membuat bulan Juli ini masih ada hujan. Jika kita kena air hujan yang mengandung Covid-19, kita akan merasakan dampak yang mirip Covid-19. Mata pedas, badan meriang, ingus tidak berhenti. Jadi solusi agar terhindar dari pandemi ciptaan ini adalah berteduh.
Mas, Mbak, dari dulu kalau kita kena air hujan juga demikian. Apalagi dengan kualitas udara Indonesia yang buruk, wajar jika hujan hari ini membuat mata perih karena mengandung asam. Kalau “efek” pusing dan ingus meler, ya itu juga sudah ada sejak saya suka hujan-hujan waktu SD. Tapi, inilah hebatnya konspirasi chemtrails. Hal sepele dikemas dengan berbagai cocoklogi sehingga bisa diterima sebagai fakta.
Masyarakat butuh jawaban pandemi dan Pemerintah gagal memberikan
Kurang afdol kalau saya belum nyenggol otoritas. Tapi benar, makin suburnya penganut konspirasi adalah efek dari penanganan pandemi yang amburadul. Kejenuhan masyarakat pada pandemi yang berlarut-larut, ditambah sikap mencla-mencle pemerintah, disempurnakan dengan penunggangan pandemi. Ya, pandemi ini ditunggangi otak-otak pekok yang mengambil keuntungan lebih. Dari penjual susu beruang, obat cacing, sampai menteri sosial.
Dulu pada awal pandemi, masyarakat belum banyak yang percaya teori konspirasi. Tapi, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai jenuh dengan pandemi ini. Kejenuhan ini sembari melihat pemerintah ra cetho dalam mengurus pandemi. Lalu, otak yang penasaran berujung pada pertanyaan: jangan-jangan pandemi ini dibuat!
****
Saya yakin, mereka yang percaya teori konspirasi apa pun itu punya alasan kuat. Ada yang terdampak pandemi begitu parah, lalu berusaha lepas dengan teori konspirasi. Ada pula otak-otak cerdas yang penasaran dan menolak teori populer. Ada juga yang marah pada pandemi ini, tapi tak tahu marah ke siapa.
Teori konspirasi memang akan selalu menarik. Di satu sisi, sulit menyalahkan teori konspirasi. Sebab, mereka yang percaya telah punya jawaban dari segala sanggahan. Makin sulit saja hidup ini. Pandemi memperkosa kita, pemerintah terlalu pekok dalam menangani, dan disempurnakan oleh penganut konspirasi yang sebenarnya budak dari virus berbentuk corona ini.
BACA JUGA Tudingan Bupati Banjarnegara tentang Rumah Sakit yang “Rebutan” Pasien Covid-19 Blas Ra Mashoook! dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.