Jauh sebelum pandemi Covid-19 yang kemudian menelurkan slogan Work From Home, saya pernah menulis artikel di Terminal Mojok dengan judul “Sampai Kapan Nongkrong di Warung Kopi dianggap Pengangguran?”
Poin penting dalam tulisan itu adalah bermula dari kekaguman saya terhadap para pekerja kreatif yang mempunyai kebiasaan nongkrong di warung kopi. Dengan begitu santainya, ngudud sembari ngopi mereka bisa mengais rejeki.
Mereka adalah sobat-sobat desainer, ilustrator, layouter, editor, writer, youtuber, digital marketer, bahkan gamer yang sering membuat saya kagum ketika mengetahui penghasilan atas kerja kreatif mereka yang tak kasat mata.
Bekerja tanpa kantor barangkali menjadi misteri atau bahkan menjadi bahan perbincangan bagi sebagian orang yang belum tahu, terutama ketika corona belum ada. Kenapa bisa gitu? Soalnya jika orang kerja tanpa ke kantor terus punya uang, orang di sekitar mereka pasti curiga, dikiranya pesugihan atau menjual jiwa ke satan
Kini saat protokol kesehatan dan pemerintah mengharuskan kita bekerja dari rumah, nyaris seluruh kerja yang seharusnya dilakukan di kantor terpaksa beralih ke gelanggang daring, bila ada seorang pekerja yang nekat berangkat ke kantor maka ia harus mengikuti prosedur yang ketat, sebab untuk menangkal penyebaran Covid-19 ini, kita dilarang berkerumun, meskipun untuk bekerja.
New normal segera kita sambut, sekarang CEO Twitter Jack Dorsey, ia telah mengumumkan bahwa perusahaan membolehkan karyawannya bekerja dari rumah secara permanen. Mark Zuckerberg pun juga mengumumkan menerapkan kebijakan bekerja jarak jauh (remote working) secara permanen.
Merujuk tulisan Jusman Dalle, katanya dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan, Facebook memproyeksikan separuh dari total 48.000 karyawannya saat ini dapat bekerja dari mana saja. Meneruskan work from home yang telah diterapkan sejak pandemi Covid-19.
Apakah langkah yang diambil oleh perusahaan raksasa di atas merupakan terobosan yang baik dan patut diikuti? Sebenarnya bila kita jeli membaca situasi di sekitar, banyak sekali aktivitas bekerja dari jauh yang sudah berlangsung dan membudaya di kehidupan kita, hanya saja remote working ala pekerja kreatif yang saya sebut di atas tadi berlangsung secara independen dan tidak masuk dalam kebijakan publik.
Bila kita mengingat sejarah, sebenarnya 40 tahun yang lalu, bekerja jarak jauh sudah diramalkan oleh futurolog Alvin Toffler. Menurutnya manusia akan mampu menciptakan teknologi yang dapat mengubah budaya kerja. Kantor dapat beroperasi dengan biaya murah dari rumah dan tempat mana pun. Disokong oleh perangkat teknologi, komputer, hingga peralatan konferensi jarak jauh.
Sejumput ucapan Alvin Toffler itu ada dalam bukunya berjudul Third Wave yang ia tulis pada tahun 1980. Selanjutnya menurut Jusman Dalle, seorang praktisi ekonomi digital mengatakan bahwa secara historis, remote working diperkenalkan pada 1979 melalui tulisan berjudul Working at Home Can Save Gasoline yang terbit di The Washington Post.
Kemudian pada tahun yang sama, IBM menguji coba remote working untuk lima orang karyawan. Pada 1983, sekitar 2.000 karyawan raksasa teknologi itu melakoni remote working. IBM didaulat sebagai pioner remote working pada era industri modern.
Meskipun telah melalui proses yang panjang remote working masih samar-samar di kancah industri kerja kita. Terutama bagi masyarakat kita yang ada di desa, bekerja dari jauh, tidak berangkat ke kantor pada masa sebelum pandemi Covid-19 adalah aib besar bagi lulusan perguruan tinggi.
Bekerja dari rumah pada masa pandemi Covid-19 ini mungkin termasuk dalam kebijakan paling aman, kendati sektor ekonomi dalam skala besar mengalami pelemahan. Bagaimana jika kebiasaan bekerja dari rumah ini tetap berlanjut meski dalam tatanan kehidupan yang baru (new normal)?
Tentunya kita berharap Indonesia secara kesuluruhan terutama di bidang Ekonomi lekas membaik, tidak ada salahnya juga bila kita berharap jika Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mempertimbangkan efektifitas jika menerapkan kebijakan bekerja dari jauh (remote working) secara perlahan. Toh bila lebih efektif, remote working jauh lebih hemat dan praktis.
Tentunya kebijakan bekerja dari jauh ini bukanlah hal sulit bagi institusi pemerintah atau perusahaan swasta yang berbasis pada sektor teknologi informasi. Sebab Mereka sudah memiliki fondasi dasar untuk melangkah mengembangkan metode maupun platform remote working dengan tetap mempertahankan, bahkan berpotensi memacu produktivitas.
Bolehlah bila kita membayangkan memasuki kenormalan baru ketika tembok-tembok dan partisi kantor yang dipenuhi deretan meja, kursi, dan tumpukan berkas mulai ditinggalkan, lalu dengan gagap gempita kita menjadi produktif di rumah masing-masing.
Bagaimanapun dampak dan efek Covid-19, kita sudah semestinya mengambil pelajaran darinya, kita dengan penuh spirit hidup sehat perlahan mulai belajar meninggalkan kantor, beralih ke kantor virtual berbasis aplikasi yang ada di Smartphone. Bekerja dari rumah dengan istiqomah dan berharap hasil yang maksimal.
Coba sejenak kita renungkan, selama masa pandemi Covid-19 ini bukankah kita masih saja bisa bekerja? Perkembangan teknologi telah meruntuhkan jarak. Yang pada posisinya sebenarnya jauh bisa terasa dekat, bahkan di hadapan mata.
Mungkin bekerja harus ngantor adalah sebuah pilihan hidup bagi sebagian orang, dengan dalih untuk kepantasan status sosial, atau untuk memudahkan koordinasi, monitoring, hingga evaluasi. Dengan adanya aplikasi daring hal-hal di atas sebenarnya bisa dilakukan secara efektif.
Perangkat komunikasi sudah semakin canggih untuk berkoordinasi, monitoring dan evaluasi, bisa berlangsung dan dipantai melalui Smartphone. Lagipula, substansi dari kerja bukankah untuk mendapatkan hasil sesuai dengan perencanaan? Untuk keperluan apalagi kita harus absensi finger print?
Fisik secara dhohir hadir di kantor pun tidak selamanya menjadi jaminan kinerja maksimal, buktinya kita pernah melihat foto Wakil Rakyat tertidur pulas saat rapat di gedung besar yang dibangun dari keringat kita.
Kita mengharapkan sebuah kenormalan baru yang lebih manusiawi, bukan seperti perkataan Seno Gumira Ajidarma “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Akhirnya kita sadar, bekerja sebenarnya tak harus ngantor. Sebab kita dapat bekerja dan mengabdi di mana bahkan sambil rebahan, asalkan tempat itu membuat kita merasa bisa kreatif dan produktif. Dengan didukung koneksi internet serta perangkat komputasi portabel yang mumpuni, semua pekerjaan akan teratasi dengan baik.
Bekerja tanpa ngantor sebenarnya turut pula mendorong efisiensi. Menurut Jusman Dalle, State of Telecommuting di AS telah melakukan dan memberikan kesimpulan bahwa bekerja dari rumah dapat menghemat 11.000 dolar AS per pekerja per tahun. Keuntungan efisiensi tersebut diperoleh karena tak harus menyewa kantor, menghemat biaya transportasi, hardware, listrik hingga tagihan internet serta konsumsi di kantor.
Bekerja tanpa ngantor, mestinya bisa menjadi terobosan di kenormalan baru. Pada akhirnya kita mendadak maklum bila melihat para lulusan SMK yang tidak kelihatan bekerja di bidangnya, atau bila melihat alumnus perguruan tinggi yang hanya nongkrong di warung, atau hanya di rumah saja.
Sebab, mau atau tidak kita harus berangsur meninggalkan ruang kantor di gedung-gedung, mengganti meja, kursi formal dengan tempat duduk sesuai pilihan kita, memindah tumpukan berkas ke dalam alat teknologi kita.
Pada era kenormalan baru yang sudah melambaikan tangan ke kita ini, sudah semestinya kita siap beralih ke kantor virtual, sebagaimana jargon yang sering digembar-gemborkan oleh pelaku Bisnis Digital “Tidak Perlu Repot-Repot Mendirikan Kantor, yang penting kita mempunyai omsetnya dan bisa menjadi jalan rejeki untuk orang lain.” Wallahu a’lam.
BACA JUGA Sampai Kapan Nongkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran? atau tulisan Ali Adhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.