Sebagai anak pertama dari 4 bersaudara, saya kadang iri banget sama mereka yang menjadi anak tunggal. Memang sih, mereka sering bilang kalau jadi anak tunggal itu sepi. Tapi percaya deh, ada masa-masa di mana kamu justru membutuhkan momen sepi seperti itu.
Bukan berarti punya saudara kandung selalu buruk sih. Tapi ada hal-hal yang kadang bikin saya gemes banget dan pengin jadi anak tunggal. Hihi. Boleh dong kalau saya bagikan. Anggap saja ini curhatan dari seorang ibu yang dulu hidup bertahun-tahun dengan 3 saudaranya.
Favoritisme orang tua
Pertama, favoritisme orang tua. Orang tua mana pun pasti bilang kalau mereka sayang semua anaknya. Tapi hati mereka kadang mengatakan hal yang lain. Favoritisme orang tua ini sering juga hadir dengan halus banget sampai tak begitu disadari.
Bapak saya sendiri paling sayang sama adik perempuan saya. Ke adik saya yang itu, dia tidak mudah marah. Tapi sama yang lain? Jangan tanya. Soal tugas bantu-bantu rumah pun begitu.
Bagi saya, pengalaman mendapat perlakuan seperti ini sungguh pembelajaran berarti bagi saya sekarang. Saat ini, saya masih punya satu anak dan belum berencana nambah. Tapi kelak kalau nambah, saya pasti akan ingat untuk memberikan kewajiban dan hak yang sama. Mungkin hati saya pun akan condong ke anak tertentu. Tapi soal sikap dan lain-lain, sebisa mungkin kita harus adil.
Sibling rivalry yang makan hati
Sibling rivalry ini membuat kehidupan kita benar-benar tidak tenang. Misalnya, di SMA kamu suka sekali menggambar. Tapi hobimu ini tidak membuatmu jadi juara seangkatan atau bisa diterima di universitas terfavorit. Sedangkan adikmu atau kakakmu memiliki prestasi yang bagus.
Otomatis mereka akan disanjung seluruh anggota keluarga. Tante, om, kakek, dan nenek pasti juga lebih menyanjung adik atau kakakmu yang pinter akademik itu. Enaknya jadi anak tunggal yang dapat semua perhatian.
Kamu mulai tidak tenang. Kamu merasa tidak apa-apanya, bak sampah yang tak berharga. Kamu pun mati-matian membuktikan dirimu. Tapi masalah pembuktian ini tidak gampang. Air mata, keringat, dan jiwa penuh emosi harus kamu alami selama bertahun-tahun. Itu pun, belum tentu kamu bisa membuktikan dirimu dengan baik.
Pakai yang bekas-bekas
Nah, kalau ini sih, derita adik-adik saya. Hahaha. Yah, kalau orang tuamu berada di kelas sosial menengah ke bawah seperti orang tua saya, adat memberikan bekas kakak ke adik itu wajar sekali.
Adik saya yang laki-laki pernah sampai protes karena hampir seumur hidupnya ia terus menerus mendapat yang bekas. Tas dapat yang bekas, baju bekas, dan sepatu pun bekas. Kalau anak tunggal, sih, semuanya pasti baru. Kecuali dapat lungsuran dari kakak sepupu. Hehehe….
Saat SMA, ia akhirnya “say no” ke barang bekas dan minta dibeliin sepeda motor yang baru. Orang tua saya tak bisa menolak. Sebab mereka paham, kalau adik saya itu sudah cukup sabar seumur hidupnya mendapatkan barang bekas dari kakaknya.
Tekanan berat anak pertama
Anak pertama seolah harus menjadi panutan dan “role model”. Beban tak tertulis ini sering menjadi penyebab stres si sulung. Makanya saya nggak heran kalau ada kasus di mana anak pertamanya nakal buanget, padahal adiknya sangat berprestasi.
Sebagai anak pertama, saya tahu kok tidak enaknya dituntut serba oke biar adik saya bisa ngikutin role saya. Kadang kalau nggak kuat, kita bisa terjerumus untuk malah berbuat nakal. Kenapa? Ya biar kita nggak dituntut kelewat keras sama orangtua.
Jadi please, anak pertama itu jangan terlalu ditekan. Bahwa kami harus bisa menjadi contoh yang baik itu satu hal. Tapi kami pun cuma anak-anak yang tak tahu masa depan itu seperti apa. Kami pun bingung dengan hidup kami. Beban tambahan menjadi role model ini kadang amat sangat memberatkan.
Rumah ramai berujung kacau
Yah, saya tahu banyak orang yang lebih suka suasana ramai ketimbang sepi. Apa sih enaknya tinggal di rumah yang luas tapi tak ada tawa ramai yang asyik? Namun, suasana ramai yang menjurus kapal pecah pun bukan pilihan. Enaknya anak tunggal, rumah jadi tenang dan “damai”.
Apalagi kalau rumahmu nggak luas. Pasti ada kalanya kamu berharap rumahmu lebih sepi. Tapi memang, kalau sudah biasa sama rumah ramai, kita pasti merasa ada yang kurang ketika rumah sunyi senyap.
Kurang lebih, itu hal-hal yang bikin tidak sreg saat kamu dibesarkan bersama saudara-saudara sekandung dalam satu rumah. Sekali lagi, bukan berarti hidup kami tidak enak. Kalau ditanya apa enaknya, jelas banyak.
Saya sangat bersyukur dibesarkan bersama ketiga adik saya. Hanya saja memang ada hal-hal yang bikin nggak enak. Apalagi kalau sudah menyangkut favoritisme orang tua dan sibling rivalry.
BACA JUGA Selain Jahat, Orang yang Ngasih Stigma ke Perawat sebagai Pembawa Virus Juga Goblok dan tulisan Nar Dewi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.