Suatu ketika Anto—sebut saja begitu—baru selesai membaca sebuah buku. Buku tebal yang kelihatannya sakral sekali. Tertulis di sampul buku nama sang penulis: Pramoedya Ananta Toer. Lantas, dengan kehebohan seorang anak-anak yang menemukan mainan baru, Anto berkoar, “Ini buku bagus banget. Buku paling baik yang pernah saya baca. Kamu sudah membacanya, belum? Ngaku pembaca buku tapi belum baca buku ini? Wah, rugi dan sia-sia sekali hidupmu kalau begitu.”
Mendapati sikap Anto yang terkesan meremehkan dan sangat jumawa, Rudi pun merasa jengkel. Ia pernah dengar beberapa kali nama Pram dan pernah membaca bukunya walau tak sampai tamat. Tapi, kata-kata terakhir Anto, bahwa hidupnya merugi dan sia-sia hanya karena belum pernah baca buku yang telah dibaca Anto, tak ayal membuat pikiran Rudi mengembang seperti parasut.
“Lucu banget kalau untung-rugi hidup seseorang diukur dari ia sudah membaca buku tertentu atau belum. Bagaimana kalau buku itu memang bukan seleranya? Bagaimana kalau ia tak membaca buku itu karena ia sibuk membaca buku-buku lain yang boleh jadi lebih baik?” batin Rudi.
Belum sempat Rudi menanggapi, Anto ngeloyor duluan dan mengungkapkan kata-katanya barusan kepada teman-teman lainnya. Rudi pun hanya bisa memendam kedongkolannya sambil meneruskan tumpukan bacaan yang mesti ia tamati.
Kali lain, Edo—seorang pemuda milenial yang aktif bermediasosial—menulis status sepulang dari bioskop. “Gue abis nonton Avengers: Endgame nih. Seru banget gila. Ayo kalian yang belum nonton, nontonlah. Atau kalian ternyata sama sekali nggak pernah nonton serial Avengers? Waduh, unfaedah banget kalo begitu hidup kalian. Apalagi kalo ngakunya pencinta film. Hahaha.”
Regi, seorang teman Edo di media sosial yang juga rajin menonton film, tak sengaja membaca status Edo tersebut. Untuk beberapa saat, ia mengernyitkan dahi dan menekan tanggapan beremotikon marah pada postingan tersebut.
“Apa-apaan. Hidup gue dibilang unfaedah cuma gara-gara nggak nonton film yang gue yakin sebagian besar penduduk bumi pun nggak menontonnya. Emak sama Bapak gue nggak pernah nonton film itu, tapi hidup mereka berfaedah banget, tuh. Buktinya bisa ngasih makan dan menyekolahkan gue sampe sekarang.”
Mulanya Regi ingin sekali menulis tanggapan tersebut dalam kolom komentar. Namun, ia memilih untuk menahannya. Sebab, berkaca dari pengalaman sebelumnya, ia kenal Edo, selain sebagai orang yang suka merasa paling baik, juga kerap menolak semua pendapat yang tak sejalan dengannya walaupun beragam argumentasi sudah diberikan.
Sementara, di bagian semesta yang lebih sejuk, tersebutlah Hamid dan Rahman. Mereka sedang berdiskusi tentang suatu permasalahan agama di satu grup WhatsApp. Awalnya obrolan berlangsung adem-adem saja, sampai kemudian Hamid mengomentari ustadz yang pengajiannya sering didengar Rahman.
“Astaghfirullah, Man. Antum sih belajar agama ke orang itu. Dia mah udah terkenal dari dulu sering mengeluarkan pendapat yang sesat dan nyeleneh. Walaupun dia terkenal dan bergelar, sebaiknya antum nggak usah belajar lagi dari dia. Belajar tuh ke ustadz A. Videonya juga udah banyak di YouTube dan Instagram. Bukan ke ustadz itu. Pantesan aja pendapatmu ngaco dan sesat begini. Belajar ke ustadz sesat, sih!”
Mendengar ustadz yang menjadi panutan banyak orang (termasuk dirinya) dibilang sedemikian itu oleh Hamid—seorang pemuda yang lebih banyak mendengarkan ceramah melalui potongan video YouTube—Rahman pun terkaget-kaget. Ia geram dan merasa apa yang dikatakan Hamid itu lancang sekali.
Setelah menyampaikan satu-dua patah nasihat, yang tetap ditanggapi Hamid dengan, “Emang betul ajaran-ajaran dia banyak yang sesat, kok.” Rahman pun mengetik satu pesan terakhir di grup dengan huruf besar-besar: ENTE KALI TUH YANG SESAT. Lalu, tanpa pamit, ia keluar grup dan minum air putih sambil mengucap istighfar dalam-dalam.
***
Sehabis membaca hikayat-hikayat singkat di atas, Cak Hakim, seorang tetua yang terkenal bijak dalam menanggapi berbagai macam persoalan menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa heran, bagaimana mungkin dari jutaan buku yang pernah terbit, ribuan film yang pernah tayang, dan ratusan ustadz yang ada di muka bumi; hidup seseorang menjadi mendadak sia-sia dan sesat hanya karena tidak membaca satu judul buku tertentu, tidak menonton satu film tertentu, dan tidak mendengarkan ceramah satu ustadz tertentu.
Sesudah geleng-geleng panjang, Cak Hakim pun mengujarkan satu perkataan menohok: “Ternyata, selain orang yang gila kekuasaan, orang yang merasa apa yang pernah dilakukannya paling baik dan paling benar dan paling oke —lain tidak—itu menjengkelkan banget, ya!”