Siapa sangka, motor yang awalnya saya anggap “ramah buat harian” malah jadi sumber kebocoran keuangan kecil-kecilan. Cerita ini bermula ketika saya memutuskan meminang Yamaha Soul generasi pertama, motor matik lawas yang sekarang harganya sudah ramah di kantong. Waktu itu saya dapat di kisaran Rp 3 jutaan, kondisi masih layak pakai, bersurat, mesin halus. Dalam hati saya mbatin, “ah, buat motor harian, bolak-balik kerja santai, ini sudah lebih dari cukup.”
Awalnya memang terasa menyenangkan. Desainnya masih oke, nggak kelihatan terlalu jadul, dan posisi duduknya pas buat postur saya. Yamaha Soul ini termasuk matik yang ramping, joknya nggak terlalu tinggi, jadi buat orang Indonesia kebanyakan—terutama yang tingginya di bawah 170 cm—motor ini terasa bersahabat. Mau manuver di jalan sempit juga gampang.
Tapi kesan itu pelan-pelan berubah setelah motor dipakai hampir tiga bulan.
Awal mula rasa tekor
Masalah mulai kerasa dari urusan paling mendasar, bensin. Awalnya saya nggak terlalu curiga. Namanya motor seken, mungkin perlu adaptasi. Tapi lama-lama kok aneh. Saya isi Pertalite 20 ribu, besoknya sudah minta isi lagi. Bahkan satu kali saya sampai kehabisan bensin di jalan, gara-gara nggak ngeh. Bukan karena lupa isi, tapi karena ampere bensin mati, jadi indikatornya ngaco.
Di sini saya mulai mikir, “Ini motor kenapa ya?” Padahal rute harian saya nggak ekstrem. Jarak rumah ke tempat tujuan juga nggak jauh-jauh amat. Yang bikin makin heran, sebelumnya saya pakai motor lain dengan kapasitas mesin lebih gede, tapi rasanya nggak seboros ini. Konsumsi bensinnya masih masuk akal. Nah, Soul ini kok minum bensinnyankayak ngorong banget.
Padahal saya cukup paham stigma Yamaha Soul karburator. Dari dulu memang terkenal boros. Tapi jujur, saya nggak nyangka bakal segila ini.
Mesin 113 cc Yamaha Soul yang di luar nalar
Buat yang belum terlalu familiar, Yamaha Soul generasi pertama dibekali mesin 113 cc, satu silinder, SOHC, 2 katup, pendingin udara, dan tentu saja masih karburator. Sistem bahan bakarnya belum injeksi, masih mengandalkan karbu bawaan Yamaha yang ukurannya—kalau boleh jujur—cukup besar untuk kelas mesin segini. Tenaganya di kisaran 8–9 PS, torsi sekitar 9 Nm, dan disalurkan lewat transmisi otomatis CVT.
Secara spek di atas kertas, ini mesin standar motor matik 110–113 cc pada zamannya. Harusnya irit-irit saja, atau minimal wajar. Tapi entah kenapa, di pemakaian nyata, konsumsi bensinnya jauh dari kata bersahabat. Buat harian malah tiap hari minta ngisi bensin, lama-lama dompet meringis.
Riding experience Yamaha Soul: nggak jelek, tapi biasa aja
Kalau soal rasa berkendara, Yamaha Soul ini sebenarnya nggak jelek-jelek amat, tapi juga nggak istimewa. Tarikannya oke di kecepatan rendah, cocok buat stop-and-go di kota. Handling-nya lincah, bodinya ringan, dan ergonominya enak. Posisi duduk santai, setang nggak bikin pegal, dek kaki juga cukup lega.
Satu hal yang saya suka adalah penggunaan ban ring 14. Ukuran ini bikin motor tetap stabil, tapi masih lincah. Plusnya lagi, ban ring 14 itu gampang banget dicari. Mau ban murah, ban harian, sampai ban model sporty juga banyak pilihannya. Harga pun variatif, banyak yang ramah di kantong.
Tapi ya itu tadi, selain kelincahan dan ergonomi, nggak ada yang benar-benar bikin saya bilang “wah”. Kelebihan paling terasa justru sekarang cuma satu: harga sekennya murah.
Dompet mulai resah, tangan jadi gatel
Setelah beberapa bulan, saya mulai merasa tekor. Bukan karena motor sering rusak, tapi karena kebanyakan bensin sampai bikin emosi juga. Akhirnya muncul pikiran iseng ganti karburator.
Karburator bawaan Yamaha Soul ini ukurannya, menurut saya, terlalu besar, bahkan terasa seperti karbu motor 150 cc. Akhirnya saya putuskan ganti ke karburator Supra 125. Alasannya ya, karena lebih kecil, lebih irit, dan terkenal bandel.
Proses penggantiannya ternyata nggak ribet sama sekali. Saya cuma perlu karburator Supra 125, adaptor manifold dan sedikit modifikasi kabel gas (dipotong, dirapikan, dan dilem Korea biar kuat). Selesai. Nggak pakai drama.
Setting dan hasil pemakaian
Waktu setting karbu, saya juga nggak neko-neko. Setelan jarum skep saya buat di posisi agak boros dikit, yang penting mesin enak. Saya juga sesekali cek warna busi buat memastikan pembakaran masih aman. Nggak putih, nggak terlalu hitam. Aman lah.
Setelah dipakai beberapa hari, hasilnya langsung terasa. Konsumsi bensin jauh lebih masuk akal. Nggak sampai irit banget, tapi jelas lebih hemat dibanding sebelumnya. Isi bensin nggak seintens dulu. Dompet pun mulai agak lega.
Memang, ada sedikit yang kudu dikompromi. Kalau diajak jalan kencang, tarikan si Soul jadi agak kurang lepas. Top speed terasa tertahan. Tapi jujur saja, itu bukan masalah besar buat saya. Wong pemakaiannya juga santai. Saya bukan tipe yang suka geber-geber motor. Nikmatin jalan, sampai tujuan dengan tenang, itu sudah cukup. Banter nguber sopo tho.
Dari pengalaman ini, saya belajar satu hal: motor murah belum tentu murah dipelihara, terutama kalau pemakaiannya harian. Yamaha Soul generasi pertama memang menggoda dari sisi harga dan bentuk. Tapi kalau bicara efisiensi, terutama bensin, motor ini butuh perhatian ekstra.
Untungnya, dengan sedikit akal-akalan dan penyesuaian, motor ini masih bisa diajak kompromi. Ganti karburator jadi solusi yang cukup masuk akal buat saya. Nggak bikin motor jadi sempurna, tapi setidaknya bikin hidup lebih tenang dan dompet nggak terlalu menjerit.
So, buat yang lagi ngelirik Yamaha Soul lawas, cerita ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mio Soul GT: Motor Yamaha yang Irit, Murah, dan Desainnya Timeless
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















