Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus

Ternyata Fakultas Sastra Tidak Mencetak Sastrawan

Iqbal AR oleh Iqbal AR
13 Juni 2019
A A
sastra dan sastrawan

sastra dan sastrawan

Share on FacebookShare on Twitter

Ketika hari pertama masuk kuliah—setelah turun dari sepeda motor di parkiran hingga menginjakkan kaki pertama kali di dalam kelas—saya berpikir bahwa tempat ini adalah tempat mencetak para sastrawan hebat. Iya—saya adalah mahasiswa Fakultas Sastra. Bayangan pertama ketika mendengar Fakultas Sastra—maka bagi saya adalah tempat di mana para calon sastrawan berkumpul, bertukar pendapat, dan berbagi karya, hingga mencetak sastrawan hebat.

Fakultas Sastra. Dari namanya saja sudah jelas bahwa yang ada didalamnya adalah segala tentang kesusastraan, dan tentang kebahasaan. Mungkin di beberapa universitas, jurusan sastra masuk di Fakultas Ilmu Budaya atau fakultas serupa lainnya. Tetapi di tempat saya, sastra menjadi nama fakultas itu sendiri—Fakultas Sastra.

Pandangan awal saya tentang Fakultas Sastra adalah saya akan dididik, dibina dan diarahkan untuk menjadi seorang sastrawan. Pikiran saya waktu itu langsung merujuk nama Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan yang juga ahli di Ilmu Sastra. Beberapa karyanya tak sekadar karya puisi atau prosa saja—beliau juga menulis tentang beberapa kajian keilmuan sastra, yang juga menjadi rujukan di berbagai universitas di Indonesia.

Iya. Saya akan jadi seperti Pak Sapardi—menjadi sastrawan dan juga ahli sastra. Setidaknya itulah pandangan awal saya tentang masa depan di Fakultas Sastra. Jalan saya menjadi sastrawan akan lebih mudah dan menyenangkan.

Tapi bayangan itu perlahan memudar setelah hari ke hari, bulan ke bulan, hingga sekarang sudah berjalan tiga tahun. Saya merasa tidak pernah diarahkan menjadi seorang sastrawan. Setidaknya itu yang saya alami jika dilihat dari puluhan mata kuliah yang sudah saya jalani. Apakah mungkin saya kurang aktif?—bisa jadi. Apakah saya tak punya inisiatif untuk memulai sendiri?—tentu saya sudah mulai sendiri.

Begini—jika dilihat dari 40 mata kuliah kesastraan dan kebahasaan yang saya sudah jalani, hanya ada empat mata kuliah yang secara langsung mengajarkan untuk menulis sastra—baik itu fiksi maupun non fiksi. Selebihnya adalah mata kuliah dasar, mata kuliah analisis dan kritik. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan—setidaknya dalam diri saya—apakah saya dididik, dibina, dan diarahkan menjadi sastrawan atau menjadi kritikus atau pengamat sastra?

Saya mencoba untuk berpikir positif bahwa saya harus punya inisiatif lebih untuk menjadi sastrawan. Menciptakan karya sendiri, mengirimnya sendiri, sebar-sebar sendiri. Kalau begitu, mengapa mata kuliah menulis puisi, prosa dan esai masih tetap ada? Kenapa tidak diganti menjadi membaca puisi, membaca prosa dan membaca esai saja?

Karena pertanyaan standar tiap pengajar adalah “sudah baca berapa buku minggu ini?” tanpa dibarengi dengan “sudah menulis apa saja minggu ini?” Ini sudah menggambarkan bahwa saya memang tidak terlalu diarahkan untuk menjadi sastrawan. Pada praktiknya saya memang lebih diarahkan menjadi analis atau kritikus.

Baca Juga:

Mahasiswa Jurusan Sastra Adalah Sengenes-ngenesnya Mahasiswa, Kerap Direndahkan hingga Disuruh Pindah Jurusan

Sisi Gelap Penulis Novel Online: Syaratnya Gila-gilaan, Persaingan Makin Ketat

Tapi bukannya untuk menjadi analis atau kritikus yang mumpuni, juga harus menjadi pencipta yang mumpuni juga? Berarti seharusnya porsi antara mata kuliah penciptaan dan mata kuliah analisis dan kritik juga harus seimbang di universitas. Apalagi dengan label Fakultas Sastra yang sudah gamblang sekali ‘sastra’-nya—inu hanya hipotesa ngawur saya saja sih.

Apakah ini menjadi alasan mengapa saat ini jarang sekali lahir sastrawan dari bangku Fakultas Sastra? Apakah ini menjadi alasan bahwa dunia sastra kita cukup kekurangan sastrawan dari bangku akademisi?

Iya. Karena bangku akademisi—bangku Fakultas Sastra—lebih banyak mencetak analis dan kritikus yang mungkin hanya bisa membedah dan mencincang struktur sastra tanpa bisa “mengembalikannya” lagi—bahkan untuk menciptakan karya sastra itu sendiri. Saya—atau kami—lebih diarahkan untuk menjadi analis dan kritikus.

Tak hanya itu, pengajar-pengajar juga lebih mengarahkan mahasiswanya untuk lebih berkarya di bidang analisa dan kritik. Bukannya itu bagus?—iya. Tetapi masalahnya adalah sedikit sekali pengajar yang lebih mengarahkan ke ranah penciptaan, membuat puisi atau prosa contohnya.

Jika dilihat dari segi penghargaan atau apresiasi, bidang analisa dan kritik lebih punya tempat jika dibandingkan dengan bidang penciptaan atau pengkaryaan. Inilah yang memicu mahasiswa lebih “suka” membuat analisa dan kritik terhadap karya sastra—daripada membuat karya sastra. Lalu jika mahasiswa lebih membutuhkan apresiasi—dari pengajar tentunya—daripada karya diri sendiri, bagaimana nasib masa depan sastra Indonesia dari bangku akademis?

Tidak ada yang bisa menjawab. Jika kembali ke pertanyaan sebelumnya, bahwa apakah ini menjadi alasan mengapa saat ini jarang sekali lahir sastrawan dari bangku Fakultas Sastra?—bisa dikatakan betul. Fakultas Sastra saat ini memang tidak mencetak sastrawan. Tapi lebih mencetak analis dan kritikus sastra, tanpa mengarahkan mahasiswa untuk menjadi sastrawan terlebih dahulu. Akhirnya label mahasiswa Sastra, atau lulusan Sastra hanya menjadi beban ganda bagi saya—dan beberapa orang yang ingin terjun ke dunia sastra.

“Kami sudah kalah sejak dalam pendaftaran.” Sudah terbukti, bahwa sastrawan dari “jalanan” lebih punya eksistensi yang juga sangat berkualitas dari segi karyanya. Bukan bermaksud menciptakan dikotomi tersebut, namun itulah yang terjadi di lapangan—faktanya sudah seperti itu. Miris sekali melihat kurangnya sastrawan dari Fakultas Sastra.

Saya kemudian berpikir. Apakah saya terlalu menuntut dan tak punya inisiatif?—saya rasa tidak. Karena kewajiban pengajar itu mengarahkan saya dan menuntut itu juga hak. Karena saya masih punya cita-cita di dunia sastra, saya juga berhak menuntut. Semoga kedepannya Fakultas Sastra lebih banyak mencetak sastrawan daripada analis dan kritikus. Masa kalah sih dengan Ivan Lanin?

Terakhir diperbarui pada 17 Januari 2022 oleh

Tags: Mahasiswa SastraPenulis NovelSastrawan
Iqbal AR

Iqbal AR

Penulis lepas lulusan Sastra Indonesia UM. Menulis apa saja, dan masih tinggal di Kota Batu.

ArtikelTerkait

Arswendo Atmowiloto

Arswendo Atmowiloto: Jalan Panjang Bertemu Bapak ‘Mengarang Itu Gampang’

2 Agustus 2019
Pertemuan Pertama dan Terakhir Saya Bersama Iman Budhi Santosa terminal mojok.co

Pertemuan Pertama dan Terakhir Saya Bersama Iman Budhi Santosa

12 Desember 2020
Yang Bisa Dipelajari dari Penulis Novel

Yang Bisa Dipelajari dari Penulis Novel

6 November 2019
Alasan Cowok Rambut Gondrong Males Banget Cukur terminal mojok.co

Gondrong itu Identitas, Bukan Sekedar Gaya-Gayaan

11 Juni 2019
Jurusan Sastra Rusia dan Bagaimana Pakdhe Saya Mengaitkannya pada Komunis terminal mojok.co

Jurusan Sastra Rusia dan Stereotip Komunis yang Melekat di Dalamnya

9 Oktober 2020
Sisi Gelap Penulis Novel Online: Syaratnya Gila-gilaan, Persaingan Makin Ketat

Sisi Gelap Penulis Novel Online: Syaratnya Gila-gilaan, Persaingan Makin Ketat

3 Agustus 2023
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

15 Desember 2025
Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

16 Desember 2025
Air Terjun Tumpak Sewu Lumajang, Tempat Terbaik bagi Saya Menghilangkan Kesedihan

4 Aturan Tak Tertulis agar Liburan di Lumajang Menjadi Bahagia

17 Desember 2025
Orang Jakarta Stop Berpikir Pindah ke Purwokerto, Kota Ini Tidak Cocok untuk Kalian Mojok.co

Orang dari Kota Besar Stop Berpikir Pindah ke Purwokerto, Kota Ini Belum Tentu Cocok untuk Kalian

11 Desember 2025
AeroStreet Black Classic, Sepatu Lokal Harga 100 Ribuan yang Awet Mojok.co

AeroStreet Black Classic, Sepatu Lokal Harga 100 Ribuan yang Awet

11 Desember 2025
Pendakian Pertama di Gunung Sepikul Sukoharjo yang Bikin Kapok: Bertemu Tumpukan Sampah hingga Dikepung Monyet

Pendakian Pertama di Gunung Sepikul Sukoharjo yang Bikin Kapok: Bertemu Tumpukan Sampah hingga Dikepung Monyet

15 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Fedi Nuril Jadi Mantan “Raja Tarkam” dan Tukang Judi Bola di Film Bapakmu Kiper
  • Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang
  • Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal
  • Lulusan IPB Sombong bakal Sukses, Berujung Terhina karena Kerja di Pabrik bareng Teman SMA yang Tak Kuliah
  • Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna
  • Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.