Beberapa waktu lalu, saya lagi scrolling santai di X (Twitter), tiba-tiba muncul meme tentang kampus saya sendiri, Universitas Terbuka (UT). Isinya nyindir tajam tapi lucu. Kata-katanya kurang lebih begini: Bukannya perbaiki modul, perbaiki sistem, malah bikin promosi iklan di bioskop. Saya ngakak di awal, tapi makin dibaca kok makin terasa pahit, ya. Soalnya benar juga.
Sebagai mahasiswa Universitas Terbuka, saya bisa bilang dengan yakin kalau kuliah di sini bukan cuma soal rajin belajar. Tetapi juga soal kuat mental. Di kampus lain, masalah mahasiswa mungkin cuma karena tugas yang menumpuk. Di UT, kamu bisa stres gara-gara hal-hal yang bahkan nggak masuk logika—mulai dari modul yang jadul sampai sistem tutorial yang sering ngambek.
Modul tebal, isinya kuno
Jujur, modul Universitas Terbuka tuh tebal banget. Kalau ditumpuk bisa buat ganjel pintu. Tapi masalahnya bukan pada ketebalannya, melainkan isinya. Banyak materi yang kayaknya nggak pernah diperbarui sejak zaman majapahit.
Saya yang sudah mengajar di PAUD saja heran. Kurikulum di sekolah sudah berubah, pendekatan belajarnya sudah modern banget, tapi modul kuliah saya masih menyebut istilah yang bahkan guru senior di tempat kerja saya sudah nggak memakainya. Kayak hidup di dua dunia: satu dunia kerja yang dinamis, satu lagi dunia akademik yang nyangkut di masa lalu.
Banyak teman-teman mahasiswa yang bilang, belajar pakai modul Universitas Terbuka itu kayak belajar sejarah pendidikan, bukan praktik pendidikan itu sendiri. Kadang saya mikir, kalau dosennya baca ulang modul itu, mereka juga mungkin garuk kepala.
Sistem online Universitas Terbuka yang sering down
Universitas Terbuka terkenal sebagai kampus jarak jauh berbasis digital. Tapi ironisnya, sistem onlinenya sering banget “istirahat panjang”. Website tutorial sering down, platform pembelajaran kadang susah diakses, dan forum diskusi kadang sepi kayak kuburan digital.
Padahal mahasiswa disuruh mandiri dan aktif belajar lewat sistem online itu. Tapi gimana mau aktif kalau setiap kali mau login, yang muncul malah tulisan “server error” atau “maintenance in progress”? Lama-lama bukan belajar mandiri, tapi belajar sabar.
Ujung-ujungnya, mahasiswa Universitas Terbuka cuma bisa menebak-nebak isi ujian dari modul yang setengah relevan. Dan ketika hasilnya jeblok, rasa frustasinya berlipat ganda. Bukannya karena malas belajar, tapi karena sistemnya sendiri nggak kooperatif.
Promosi di bioskop memang keren, tapi ironis
Nah, di tengah semua kekacauan itu, tiba-tiba muncul berita baru. Universitas Terbuka promosi di bioskop! Saya sempat bengong. Serius nih? Bukannya perbaiki sistem, malah promosi di Cinepolis?
Dari sisi marketing, saya paham. Langkah ini modern dan berani. Tapi dari sisi mahasiswa, ini terasa ironis. Kayak rumah bocor tapi malah ganti tirai. Keren di luar, tapi dalamnya masih belepotan.
Promosi lewat bioskop itu memang keliatan keren. Universitas Terbuka tampil sebagai kampus modern, kekinian, dan terbuka buat siapa aja. Tapi apa gunanya kalau yang nonton iklan nanti, begitu daftar kuliah, malah ketemu modul purbakala dan web eror? Itu sama saja kayak beli mobil karena iklannya keren, tapi pas dikendarai remnya blong.
Mahasiswa Universitas Terbuka butuh bukti, bukan iklan
Sebenernya, mahasiswa Universitas Terbuka nggak anti-promosi. Tapi yang paling dibutuhkan sekarang bukan citra, melainkan bukti. Kami pengin kampus yang bener-bener bisa diandalkan, bukan cuma tampak keren di layar lebar.
Buat apa UT tayang di bioskop kalau sistem tutorial online-nya masih sering mogok? Buat apa bikin tagline “kampus fleksibel” kalau mahasiswanya justru stres karena harus nyari bahan belajar sendiri tanpa bimbingan jelas?
Anak muda sekarang tuh pinter-pinter. Mereka nggak gampang percaya sama iklan. Sekeren apa pun video promonya, kalau begitu mereka browsing dan ketemu curhatan mahasiswa yang frustasi di TikTok, ya citranya langsung turun lagi.
Antara citra dan realitas UT
UT punya ide besar dan mulia: pendidikan bisa diakses siapa pun, kapan pun, di mana pun. Itu luar biasa. Tapi idealisme sebagus itu butuh pondasi yang kuat. Dan pondasi itu adalah sistem, layanan, serta materi ajar yang relevan.
Saya yakin, kalau Universitas Terbuka memperbaiki dulu sistem internalnya—modulnya diperbarui, websitenya stabil, dosennya responsif—promosi nggak akan perlu gila-gilaan. Karena mahasiswa sendiri bakal jadi promotor terbaik. Orang yang puas pasti akan cerita ke orang lain. Dan itu jauh lebih efektif dari iklan 30 detik di layar bioskop.
Universitas Terbuka itu sudah punya nama besar. Tinggal bagaimana menjaga kualitas agar nama besar itu nggak cuma jadi kenangan. Karena jujur saja, banyak yang mulai kecewa. Dan kalau dibiarkan terus, rasa bangga sebagai mahasiswa UT bisa berubah jadi rasa pasrah.
Sebelum tampil di layar besar, perbaiki dulu yang di layar kecil
Saya menulis ini bukan karena benci sama UT. Justru karena saya sayang. Saya pengin Universitas Terbuka bener-bener jadi kampus kebanggaan, bukan bahan candaan di media sosial.
Promosi boleh, tapi urusan dalam harus beres dulu. Anggaran buat iklan di bioskop mungkin bisa lebih bermanfaat kalau dipakai buat upgrade server, revisi modul, atau melatih dosen supaya lebih adaptif. Kalau semua itu udah beres, promosi nggak cuma kelihatan keren tapi juga punya makna.
Karena di zaman serba digital kayak sekarang, kepercayaan nggak bisa dibeli dengan tayangan sinematik. Ia dibangun dari pengalaman nyata mahasiswa yang merasa didengar dan dilayani dengan baik.
Jadi, buat Universitas Terbuka tercinta, sebelum tampil megah di layar besar, pastikan dulu layar kecil para mahasiswamu nggak nge-lag. Karena dari situlah citra kampus sebenarnya dimulai.
Penulis: Nur Anisa Budi Utami
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















