Untuk masalah kecil semisal rokok pun manusia masih ribet cari-cari filosofinya. Seperti halnya kopi, yang selalu disandingkan dengan filosofi, rokok juga patut dipikirkan seperti apa falsafah dan ideologinya.
Sama seperti kopi, meski pahit tapi pantas dinikmati. Dalam rokok juga ada beberapa sisi pahit berupa aroma-aroma asap yang tidak sedap. Bagi sebagian orang, benda ini dianggap dapat menimbulkan penyakit. Bisa juga berdampak pada pengeluaran ekonomi dan sebagainya. Tapi di balik itu semua, orang-orang masih banyak yang menikmatinya dengan begitu syahdu dan membahagiakan.
Bagi mereka, mungkin ada kebahagiaan tersendiri yang ada di atas segalanya—yang tidak terdefinisikan oleh rumus-rumus angka ekonomi dan teori-teori kesehatan. Kenikmatan batin tiada tara yang diperoleh dari sebatang rokok. Maka bukan kenapa rokok dan kopi selalu disandingkan—sebab di setiap kepahitan pasti ada rasa manis yang tiada tara.
Woy woy, serius amat bahasanya. Sini sini, ngopi-ngopi sambil rokokan dulu lah. Ok, sebenarnya saya tidak bermaksud nulis tentang filosofinya. Biarkan para perokok saja yang menemukan jalan ninjanya masing-masing. Hanya saja tulisan ini bermaksud memberi alasan-alasan idealisme bagi kegiatan merokok yang saya tekuni sendiri.
Seperti apa kegiatan merokok saya? Emang beda sama yang lain? Sebenarnya nggak beda-beda amat sih. Cuma kalau orang-orang biasanya menghisap rokok instan—yaitu jenis rokok yang biasa dijual di toko-toko baik yang model filter atau yang model kretek. Tuh kayak Surya, Djarum, Dji Sam Soe, LA, Sampoerna, dan lain-lain. Sementara saya biasa menghisap jenis yang tingwe (ngeliting dhewe), atau litingan, atau lintingan, atau apalah namanya di daerah kalian masing-masing.
Fyi—bagi yang belum tahu—rokok litingan itu adalah jenis yang digulung sendiri oleh si perokok. Biasanya memang tidak diwadahi layaknya rokok pada umumnya. Kadang diwadahi tepak macam tupperware, ada yang mewadahinya dengan bekas kaleng Surya, bahkan ada pula yang mewadahihanya dengan kresek. Jadi perokok macam ini penampilannya akan sedikit mencolok. Bukan hanya karena wadahnya yang biasanya besar, tapi ketika merokok juga membutuhkan sejumlah ritual yang sedikit memakan waktu. Mulai dari menakar seberapa banyak tembakau yang akan digunakan, mengambil selembar atau dua lembar paper, lalu menggulungnya dengan penuh sahaja.
Kalian yang belum tahu seberapa besar perjuangan untuk bisa menghasilkan sebatang rokok untuk bisa dihisap dengan cara melinting—tolong jangan rendah-rendahkan kami yang berkerja keras untuk itu. Kalian tinggal buka bungkus kemasan, cari korek, habis itu hufff. Bukan mau mengatakan merokok dengan yang instan membunuh jiwa perjuanganmu, tapi telalu lama dimanjakan dengan yang instan-instan bisa membuat mentalmu lemah, bukan?
Ada berbagai macam alasan yang sudah saya siapkan bila semisal ada orang yang merendahkan atau ngece para perokok model lintingan ini—termasuk di dalamnya juga saya. Namun sebelum itu, biarkan saya menyebutkan beberapa jenis olokan yang biasa diterima ketika orang mengkonsumsi jenis lintingan.
Mulai dari yang paling pertama, aromanya memang lebih menyengat daripada rokok yang instan. Lumrahnya, orang akan langsung menutup hidung bila tidak terbiasa dengan asap rokok macam ini. Dua, sering dianggap rakyat jelata. Logis memang, ketika sesuatu yang murah dikaitkan dengan kemiskinan. Tapi jangan salah, membeli yang murah belum tentu tak mampu—tapi cuman mau menghemat. Berhemat dan tidak mampu beda dikit kan, hehe. Ketiga, ribet. Orang yang suka rokok instan akan menyebut para penikmat lintingan ini suka ribet. Padahal lho sudah ada yang enak tinggal pakai masih saja cari yang ribet. Keempat, bila yang menikmati rokok lintingan ini anak muda, biasanya banyak yang akan bilang, “Masih muda rokoknya lintingan, kesehatanmu lho.” Iya iya makasih perhatiannya. Mau rokok biasa atau yang lintingan sama-sama bahaya kok.
Itulah segenap cercaan yang sering saya peroleh selama mengkonsumsi rokok lintingan. Meski beberapa orang mengucapkannya dengan nada bercanda, tapi sensi dikit di hati pastilah ada bukan!? Sebagian ada yang disikapi dengan ‘masa bodo’ dan beberapa memang memerlukan bantahan rasional. Seperti ketika orang bilang mending rokok yang langsungan aja (instan) daripada ribet masih mau menggulung dan macem-macem. Ok, saya jelaskan saudara.
Bagi saya, merokok pun butuh filosofi. Biar bernilai dan biar kelihatan idealis walau sekedar sok sok-an. Selain itu, macam rokok apa yang dinikmati juga perlu filosofi. Ketahuailah saudara, rokok instan itu adalah rokok kapitalis (menurut saya). Kalian mengerti sistem kapitalisme? Itu lho yang intinya hanya menguntungkan satu orang saja. Ya, hanya memberi keuntungan besar bagi para pemilik modal. Sebut saja bos, donatur, atau pemilik saham suatu perusahaan.
Di balik sebatang rokok instan, ada perputaran roda bisnis yang kong kali kong. Mulai dari petani, pengepul, para karyawan pabriknya, hingga bos dan jatuh ke tangan para pembeli. Di balik perputaran itu, siapa yang paling diuntungkan? Petanikah? Para pekerja pabrikkah? Saya rasa tidak. Mereka hanyalah roda penggerak sistem kapitalisme perdagangan dan pada intinya, semua perputaran barang dagang itu akan kembali pada pemilik modal dan mesin produksi. Dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan pemilik perusahaannya. Orang-orang kecil mentok hanya bisa menggantungkan hidup pada pekerjaannya sebagai karyawan pabrik yang hidup dengan gaji serta kebutuhan yang pas-pasan. Para petani, kebingungan harus bagaimana memutar hasil taninya kalau bukan dijual ke pabrik. Sehingga kehidupan mereka terbatas hanya menanam setelah itu menjual, tak sempat memikirkan inovasi.
Bila terus menerus begini, bagaimana kita mau mengembangkan usaha ekonomi menengah? Birokrasi perdagangan yang berputar-putar tak terlawankan. Hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap biasa saja. Bayangkan, dalam satu batang rokok instan itu, ada sekelumit sistem yang, aduh, perbudakan yang tersistematis dan begitu halus terstruktur. Tidak bekerja pada pabrik? Mau dapat dari mana penghasilan? Maka terpaksalah masyarakat bekerja untuk pabrik.
Selain itu, jenis yang instan diproduksi oleh mesin-mesin canggih. Ya, ciri-ciri produksi yang kapitalis banget lah. Oleh karena itu, di balik semua alasan itu, saya katakan bahwa rokok lintingan adalah rokok perjuangan. Perjuangan meminimalisir kapitalisme dengan membeli langsung produk dari para buruh tani tembakau. Dengan memangkas roda kapitalisme yang sudah diceritakan tadi, setidaknya perjuangan membangun ekonomi menengah ke bawah adalah tindakan yang penuh idealime pergerakan. Membeli tembakau untuk rokok lintingan berarti memangkas roda kapitalisme. Berarti juga sedang memperjuangan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah.
Jangan kira alasan merokok lintingan hanya karena lebih murah dan agar bisa berhemat. Di balik semua itu, ada jiwa-jiwa perlawanan, perjuangan, dan idealisme anti sistem kapitalis. Selain itu, menikmati hasil sendiri akan terasa lebih wow bukan!? Beberapa kawan juga menyebut rokok lintingan sebagai ‘rokok pergerakan’. Bagaimana tidak, sebelum merokok kita masih perlu menggerakkan tangan lebih ekstra daripada merokok yang instan-instan. Bau yang lebih menyengat, rasa yang sudah pasti tidak seenak rokok instan bukanlah sesuatu yang berarti dalam sebuah perjuangan. Perjuangan butuh pengorbanan Bung!—ya anda paham sendiri lah.
Tapi di balik semua itu, kapitalisme bukan berarti tidaklah dibutuhkan dan harus benar-benar dilawan. Bila tiada pabrik rokok, maka akan ke mana para manusia itu menggantungkan pendapatannya. Akan bekerja apa mereka nantinya. Ya begitulah perjuangan. Kadang simalakama terjadi sehingga tak tahu harus berpihak ke mana. Seperti saya yang mengatakan rokok instan itu adalah rokok kapitalis dan sok-sokan bersikap menolak. Tapi ketika saya jenuh memperjuangkan pergerakan dengan cara merokok rokok lintingan, ketika itu pula saya akan membeli rokok instan dan tanpa panjang lebar saya akan menghirup asapnya sembari menghembuskan keluh atas lelahnya sebuah perjuangan. Ah, kapitalisme itu memang godaan.