Kemarin, ketika saya tengah membuka Twitter, saya menemukan sebuah cuitan yang seketika menarik perhatian saya. Dalam cuitan yang dibuat oleh sebuah akun menfess tersebut, muncul sebuah pernyataan bernada menyindir mengenai para mahasiswa baru (maba) yang masuk ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Mereka dianggap memilih fakultas tersebut karena cara masuknya yang dianggap gampang dan hanya melakukannya demi mendapatkan almamater pilihan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa mahasiswa FIB akan sulit mencari pekerjaan ketika sudah lulus kelak.
Sebagai mahasiswa FIB semester 7, sesungguhnya saya merasa cukup kesal ketika membaca tweet tersebut pertama kali. Pasalnya, saya melihat bahwa semua opini yang dilontarkan adalah sesuatu yang keliru. Oleh karena itu, melalui artikel ini, saya akan mengajak kalian untuk berhenti memiliki anggapan-anggapan buruk tersebut. Sebab, pada kenyataannya sama sekali tidak seperti itu.
Masuk FIB gampang?
Stigma pertama yang ingin saya bantah adalah anggapan bahwa masuk FIB itu gampang. Banyak yang berpikir bahwa FIB termasuk ke dalam golongan fakultas yang persaingannya tidak begitu ketat dan sedikit peminat. Oleh sebab itu, kemungkinan untuk dapat diterimanya pun menjadi tinggi.
Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Jika mengacu pada pengalaman saya, saya ingat bahwa saat saya mengikuti program SNMPTN 2020 lalu, saya ditolak oleh dua PTN. Tebak prodi apa yang saya pilih? Jawabannya: Sastra Inggris dan Sastra Indonesia—dua jurusan yang termasuk ke dalam lingkup FIB. Kemudian, karena saya masih tidak mau menyerah, saya lalu mengikuti program SBMPTN di tahun yang sama dan dengan memilih jurusan yang sama. Tebak apa hasilnya? Saya kembali ditolak. Barulah pada tes ujian masuk SIMAK UI, saya akhirnya mendapat lampu hijau dan diterima di jurusan Sastra Indonesia. Sebuah perjuangan yang cukup panjang, bukan?
Sebelum kalian berpikir bahwa saya adalah seorang pemuda yang otaknya nggak pinter-pinter amat (baca: goblog), izinkan saya mengatakan satu hal: yang merasakan pengalaman seperti itu bukan cuma saya seorang. Saya sempat berbincang-bincang dengan teman-teman lain yang menariknya, punya pengalaman serupa. Mereka bercerita bahwa meskipun telah mengikuti bimbel sejak SMA dan belajar dengan tekun demi bisa berkuliah di jurusan sastra, tetapi tetap saja mereka harus menempuh perjalanan yang banyak lika-likunya. Ditolak dulu di jalur undangan, lalu ditolak lagi di jalur SBMPTN, hingga akhirnya baru diterima di jalur mandiri.
Dari hal ini, kita dapat belajar bahwa untuk masuk ke FIB ternyata tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. Memang, mungkin persaingannya tidak seketat Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, ataupun fakultas-fakultas “bergengsi” lainnya, tetapi tetap saja, perjuangannya juga tidak semudah itu, Ferguso!
Baca halaman selanjutnya: Sulit mencari pekerjaan…