Hari-hari pertama KKN, kelompok saya sibuk memikirkan proker yang sekiranya nggak cuma membikin plang, sosialisasi yang itu-itu aja, atau ikut serta mengajar SD dan TPQ. Proker-proker semacam itu bagi saya (saat itu), nggak level dilakukan oleh sekelas mahasiswa. Apalagi, sejak pembekalan KKN, pihak kampus mengatakan bahwa proker KKN haruslah berkelanjutan.
Sialnya, anggapan superior itu terpatahkan setelah upaya kelompok KKN saya mengalami kemacetan. Kami mengeluh kepada DPL (dosen pembimbing lapangan) lantaran pelaksanaan proker utopis itu ternyata nggak segampang memikirkannya. Sang dosen pun akhirnya memberi wejangan, bahwa bikin proker itu nggak usah ndakik-ndakik dan banyak-banyak. Cukup satu saja, yang itu bisa berdampak. Soal berkelanjutan atau nggak, itu tergantung dari bagaimana penyusunan proker bisa menyentuh kebutuhan asli warga desa dan bukan kebutuhan yang dibuat-buat.
Bukan, sang dosen bukan membuat kami jadi pesimis atau menyuruh untuk membikin proker yang norak. Sebab dari situ, kami akhirnya sekarang punya proker yang betul-betul menjadi kebutuhan warga dan jauh dari kata norak. Dan dari situ pula, saya menyadari beberapa hal yang seharusnya dipahami mahasiswa agar ketika KKN nanti nggak merasa kecewa dan macet di tengah jalan seperti kelompok saya.
Baca halaman selanjutnya.
Realita di desa itu nggak selalu sama dengan teori bangku kuliah….